"Selamat datang. Lho. Mas Rian?" Arga terkejut, setelah melihat siapa yang digandeng Zea datang ke acara tujuh bulanan Aluna."Arga? Oh. Jadi ini acara tujuh bulanan siapa? Kamu udah nikah?" Tanya Rian beruntun. Pasalnya, Zea tidak memberitahukan Rian, jika mereka akan datang ke acara keluarga Mahendra. Rian sudah terbiasa dengan keluarga ini karena hubungan dekat mereka dengan Arumi, mantan tunangannya. Zea terkejut, mendengar Arga menyapa Rian dengan hangat. Niat untuk mendapatkan perhatian Arga, jadi gagal total. Dia memang tidak tau menahu, jika Rian dan Arga saling kenal. "Lho? Udah kenal toh?" ucap Zea.Arga dan Rian menatap Zea, lalu mengangguk bersama-sama. "Kenal Ze. Mas Rian temennya Kak Luna. Sering hang out bareng kita. Aku lho yang bingung. Kamu kenal Mas Rian di mana?" "Mau aku jadiin istri, Ga. Gimana menurut kamu? Cocok gak?" tanya Rian, sambil tangannya menepuk tangan Zea, yang terus menggandengnya sejak tadi. Tentu saja Arga terkejut. Dari Aluna, Arga tau, Aru
Arga menatap Rian yang terlihat gelisah dan tidak nyaman. Zea mengikuti pandangan Arga, lalu mengerti, jika Arga kurang enak dengan Rian. "Ngomong aja Zea. Di sini aja, gak apa-apa. Mereka keluarga aku," kata Arga. Acha yang sedang sibuk menyuapi puding ke mulutnya, menghentikan gerakan tangannya. Lalu, menatap Zea dengan heran. Anaya memang pernah membicarakan seorang gadis, yang ciri-cirinya, sama seperti gadis di hadapannya ini. Namun, Anaya tidak bilang jika gadis ini, adalah gadis yang punya tingkat kesopanan yang kurang dari cukup. Eh. Atau gimana sih bahasanya? 😅Bulan yang sedari tadi ditatap dengan tatapan tajam oleh Zea, tetap bergeming. Wanita itu, sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari wajah Zea. "Ini penting Ga. Come on. Bentar doang kok," rengek Zea. Acha mengetuk meja dengan jarinya, sambil menatap Arga dengan mata melotot. Arga menarik nafas lalu tersenyum, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dalam hati dia merutuki keadaannya sekarang. Menga
Istri Lusuh 115"Aow. Sakit. Lepasin gak?" Sentak Arumi. Edward tidak tinggal diam. Dengan sigap, dia menahan tangan Rian yang mencekal pergelangan tangan Arumi. "Jangan kasar sama perempuan, Bro.""Jangan ikut campur kamu. Siapa sih kamu?""Saya tidak terima yah, calon istri saya, anda perlakukan seperti ini. Saya bisa tuntut anda, dengan pasal kekerasan," Tegas Edward. Seketika cekalan tangan Rian mengendur dari pergelangan tangan Arumi, saat mendengar pernyataan Edward. Lalu, dengan kasar, Arumi menyentak tangannya dari pegangan tangan Rian. Dia mengusap-usap pergelangan tangannya yang sakit. "Calon istri? Anda jangan bercanda yah. Tidak mungkin Arumi mendapatkan calon suami secepat ini. Oh. Atau kamu. sudah selingkuh sama dia, pas lagi sama aku yah? Karena itu, kamu dan keluarga kamu membatalkan pernikahan kita?" Sentak Rian pada Arumi. Keributan kecil mereka, menarik perhatian tamu undangan yang lain. Situasi tegang antara Rian dan Edward, merembet ke orang lain di sekitar
"Kalian minta uang sama Gaby? Jatah buat kuliah Tissa kan, udah aku kasih, Ma. Mbak Tia juga. Ngapain minta-minta uang sama orang. Minta uang sama suaminya sana. Bikin malu aja," Ketus Rian. "Lho. Itu kan udah kewajiban dia sebagai ipar perempuan. Dulu Arumi kan kek gitu, Rian. Kamu kok malah nyalahin Mbak sama Adekmu?" Gusar ibunya Rian. "Kewajiban gimana sih, Ma? Lagian Gaby kan belom jadi istri aku, gimana bisa di punya kewajiban memberikan uang buat keluarga aku, Ma?""Ngeyel aja kamu sama Mama, Rian. Di bilangin juga. Arumi kan kek gitu. Kenapa Gaby gak?""Arumi, Arumi, Arumi. Gak usah sebut-sebut nama dia lagi, Ma." Hampir saja Rian berteriak, jika dia tidak segera sadar, di mana dia sekarang berada. "Kenapa kamu hah? Ada apa sama Arumi? Mama gak mau tau yah Rian, kalo Gaby gak kasih uang jatah Mbak sama Adekmu, putusin dia, terus balikan lagi sama Arumi," "Ma. Arumi udah punya calon suami Ma. Aku baru aja liat acara lamaran mereka," Lirih suara Rian memberitahukan kepada ma
Drt... Drt... Drt...Ibu Sri calling. Ponsel Arumi bergetar dan menampilkan satu nama yang membuat keningnya mengerut. Digesernya tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinganya."Selamat sore Tante.""Selamat sore juga Arumi, apa kabar?" "Aku baik Tante. Tante bagaimana, sehat kan?" tanya Arumi, sambil berjalan menjauhi Anaya. Dia tidak ingin, bundanya itu marah, karena masih berhubungan dengan keluarga Rian. Sri adalah ibunya Rian. "Lho. Kok manggilnya Tante sih? Kan udah biasa manggil Mama, rasanya gimana gitu dipanggil Tante, Rum." Ucap Sri. "Ada perlu apa yah, Tante? Ada yang bisa aku bantu?"Sri terkejut mendengar reaksi Arumi. Biasanya kalau sudah dibaik-baikin, pasti langsung luluh. Udah gitu, minta deh duit. Pasti dikasih. Sekarang kok, gak ngaruh. Wanita tua itu memutar otak memikirkan, bagaimana caranya, supaya Arumi mau memberikan uang bulanan kedua anak perempuan kesayangannya. "Emangnya, telepon kamu, harus punya keperluan dulu yah, Rum? Mama gak butuh bantuan k
"Papa gak ngerti sama sekali. Aku benci sama Papa. Aku benci kalian semua," Teriak Kinan dengan lantang. Gadis itu menjatuhkan dirinya di atas lantai yang dingin. Sedingin hatinya yang hampir mati karena kepahitan yang mengakar.Guruh terus berjalan dengan kepala penuh tanda tanya, apa hanya segitu kekuatan mental anaknya? Padahal, sejak kecil hingga sekarang, Guruh selalu mendampingi Kinan dalam hal apapun. Berharap, kepercayaan dirinya terpupuk dengan baik, hingga dia mampu mengatasi kerasnya dunia. Guruh melupakan satu hal. Sejak istrinya meninggal, Guruh sama dengan Kinan. Pria itu pun terpuruk dalam kekelaman, hingga melupakan kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga yang bukan hanya mencari nafkah jasmani, melainkan juga membawa anggota keluarganya menikmati berkat rohani. Dia lupa pada Tuhan. Lupa memberi contoh kepada Kinan untuk terus beribadah, meskipun dalam keadaan sedih. Guruh melihat Mayang yang duduk di lantai, sambil bersandar membelakangi pagar lantai dua. Ba
"Aku siapin dulu tempat yang nyaman buat Bunda. Besok saja baru Bunda ke sini. Keknya Tuan Arga juga belum balik ke tempat proyek.""Makasih yah, Nak. Maaf Bunda dah repotin kamu," "Apapun yang bisa bikin Bunda bahagia, akan aku lakukan. Itu pun belum cukup, untuk membalas pengorbanan Bunda buat aku,"Nilam rasa satu minggu masih terlalu lama untuk bertemu Calvin. Rasa rindu yang menumpuk berpuluh tahun lamanya, membuat dia ingin segera memeluk cucunya itu. "Apa kamu udah dapet informasi, keberadaan Brian dan istrinya, Nak?" Tanya Nilam."Sudah Bunda. Aku curiga, mereka tidak meninggal, tapi sengaja bersembunyi, sama seperti Bunda. Mereka gak berani keluar karena takut sama istrinya Tuan Rustam. Tapi, Bunda tenang aja. Beliau sudah sakit parah. Mereka sudah tidak tinggal di kediaman Artama. Mereka sudah kembali ke kampung halaman Nyonya Tantri, untuk berobat di sana." Jelas Rama. Sebenarnya, Nilam bukannya takut pada Tantri, dia menghindar hanya karena diancam, anak dan menantunya
"Kita jadi ke puncak Ga?" tanya Zea. "Jadi Zea. Aku dah kontak yang lain. Kamu mau bareng kita atau pake mobil sendiri?" "Bareng kamu aja. Kamu pake mobil sendiri kan?""Iya. Kamu mau ke sini, atau aku yang jemput?""Kami jemput aja. Aku lagi males nyetir. Pegel. Semalem kurang tidur," Ketus Zea. Gadis itu berharap, Arga peka terhadap dirinya. Namun, Arga sama sekali tidak menanyakan keadaannya. Apakah pria itu tidak sadar, jika semalam, dia sudah tak ada lagi di tempat acara berlangsung? Baru kali ini, Zea yang kaya raya dan cantik paripurna dicueki oleh laki-laki. "Oh. Ok. Siap-siap aja. Satu jam lagi kita ke sana. Nih, yang lain udah pada ngumpul." Kata Arga. Zea memutar bola matanya. Memang fiks. Arga ini adalah salah satu pria dengan tingkat kepekaan, di bawah rata-rata. Ini mau ke puncak lho. Bisa kan gak ngajak orang lain. Semobil lagi. Oh, no. Gimana sih? Kan enakan berdua, biar ngobrol apapun, gak sungkan sama orang lain. Dengan malas, Zea turun dari kasur empuknya. M