"Aku siapin dulu tempat yang nyaman buat Bunda. Besok saja baru Bunda ke sini. Keknya Tuan Arga juga belum balik ke tempat proyek.""Makasih yah, Nak. Maaf Bunda dah repotin kamu," "Apapun yang bisa bikin Bunda bahagia, akan aku lakukan. Itu pun belum cukup, untuk membalas pengorbanan Bunda buat aku,"Nilam rasa satu minggu masih terlalu lama untuk bertemu Calvin. Rasa rindu yang menumpuk berpuluh tahun lamanya, membuat dia ingin segera memeluk cucunya itu. "Apa kamu udah dapet informasi, keberadaan Brian dan istrinya, Nak?" Tanya Nilam."Sudah Bunda. Aku curiga, mereka tidak meninggal, tapi sengaja bersembunyi, sama seperti Bunda. Mereka gak berani keluar karena takut sama istrinya Tuan Rustam. Tapi, Bunda tenang aja. Beliau sudah sakit parah. Mereka sudah tidak tinggal di kediaman Artama. Mereka sudah kembali ke kampung halaman Nyonya Tantri, untuk berobat di sana." Jelas Rama. Sebenarnya, Nilam bukannya takut pada Tantri, dia menghindar hanya karena diancam, anak dan menantunya
"Kita jadi ke puncak Ga?" tanya Zea. "Jadi Zea. Aku dah kontak yang lain. Kamu mau bareng kita atau pake mobil sendiri?" "Bareng kamu aja. Kamu pake mobil sendiri kan?""Iya. Kamu mau ke sini, atau aku yang jemput?""Kami jemput aja. Aku lagi males nyetir. Pegel. Semalem kurang tidur," Ketus Zea. Gadis itu berharap, Arga peka terhadap dirinya. Namun, Arga sama sekali tidak menanyakan keadaannya. Apakah pria itu tidak sadar, jika semalam, dia sudah tak ada lagi di tempat acara berlangsung? Baru kali ini, Zea yang kaya raya dan cantik paripurna dicueki oleh laki-laki. "Oh. Ok. Siap-siap aja. Satu jam lagi kita ke sana. Nih, yang lain udah pada ngumpul." Kata Arga. Zea memutar bola matanya. Memang fiks. Arga ini adalah salah satu pria dengan tingkat kepekaan, di bawah rata-rata. Ini mau ke puncak lho. Bisa kan gak ngajak orang lain. Semobil lagi. Oh, no. Gimana sih? Kan enakan berdua, biar ngobrol apapun, gak sungkan sama orang lain. Dengan malas, Zea turun dari kasur empuknya. M
"Ayok balik aja. Udah mau sore juga. Pesen pizza sama burger, terus, makan di mobil," tegas Zea. Gadis itu berteriak agak kencang, dari belakang tubuh Bella, membuat Bella berjingkrak kaget. Astaga. Apakah sejak tadi, gadis manja ini, ada di belakangnya? tanya Bella dalam hati. Ada ketakutan jelas tergambar di raut wajah Bella. Dan hal itu membuat Zea senang. Senyum yang sejak tadi hilang dari wajah cantiknya, kembali lagi. "Ayok. Kalo keburu, cafe bisa buka jam malam," Sahut yang lain. "Gak usah. Istirahat aja. Capek tau," kata Arga. "Kamu balik sendiri Bel?" tanya Arga, saat melihat Bella yang mematung, sedangkan teman-teman yang lain, sudah naik ke dalam mobil. "Mobilnya full tuh. Ikut aku aja, Ga. Aku cuman sama temen aku satu orang," bujuk Bella. Dia senang, karena masih ada kesempatan untuk menjebak Arga. Zea yang mendengar percakapan mereka, dengan cepat turun dari mobil. Lalu menarik tangan Arga, dengan melepaskan tatapan membunuh pada Bella. Tubuh Arga didorong Zea ma
"Wah. Ada acara apa Kak? Masaknya banyak banget. Harum lagi. Kok aku gak asing yah sama bau masakan ini. Ini kek bau rendangnya Cita. Buatan Bunda Nilam. Pemilik Panti Asuhan di tempat proyek," Cerocos Arga panjang lebar. Aluna yang sedang asik makan asinan buah pepaya, menghentikan kegiatannya, lalu berbalik menatap Arga yang baru tiba dari puncak. "Iya dong. Orangnya langsung dateng masakin buat Kakak," Santai Aluna bicara. Giliran Arga yang terkejut. Tangannya yang hendak mencomot asinan milik Aluna, berhenti seketika. "Maksud Kakak, Bunda Nilam? Bunda Nilam yang masakin? Beeh," Cibir Arga pada Aluna. Sontak saja tangan Aluna menepuk keras lengan adiknya, saking kuatnya tepukan Aluna, membuat Arga meringis kesakitan."Gak percaya sama omongan orang tua, ni anak. Kalo beneran Bunda Nilam yang masak sendiri, kamu harus mau masakin seblak buat Kakak." Ucap Aluna. "Lagi hamil gak boleh makan yang pedes-pedes,""Kata siapa?""Kata aku dong.""Bilang aja gak mau masakin,""Buktiin
"Mampir ke toko kue Cha. Kurang puding ini. Tadi gak sempet bikin. Kaka juga lupa sama resepnya. Hehe..." Aluna terkekeh di ujung telepon. Dia menelpon Acha, meminta gadis itu untuk mampir ke toko kue mereka, buat mengambil puding cake yang disukai Rustam. Rombongan para gadis itu, mampir ke toko kue Anaya."Gak usah turun. Aku bentar doang."Acha keluar dari mobil, lalu berlari kecil masuk ke dalam toko. Ada beberapa pelanggan yang selesai membayar di kasir, dan yang lain sedang antri. "Kak Mun. Aku minta puding pesanan Kak Luna. Dah jadi kan Kak?" tanya Acha pada salah seorang karyawan toko. "Udah Dek. Bentar, Kak Muna ambilin," Sahut karyawan itu. Acha masih berdiri di depan etalase, sambil membalas pesan Aluna, juga Anaya. Gadis itu berdiri membelakangi dua orang pelanggan yang duduk berbalik ke arah taman indoor toko tersebut. Sejenak, Acha mendengar percakapan mereka. Karena merasa mengenal suara pria yang sedang duduk itu, Acha pun memasang pendengaran dengan baik. "Bap
"Masa sih? Jadi, Bunda yang salah liat kali yah?""Gak gitu juga sih, Bun. Nanti aja liat ke depannya kek gimana. Sekarang masuk dulu. Ayok. Acaranya udah mau mulai," Arga mengalihkan percakapan. Sungguh, saat ini jantungnya tidak berhenti berdegup. Entah apa penyebabnya. Yang Arga tau, jantungnya akan seperti itu, jika berhadapan dengan Cita. Jangankan berhadapan, mengingat wajahnya saja, jantungnya seperti mau copot. Arga menggandeng Anaya. Membawa wanita yang sangat dia cintai itu, masuk ke dalam rumah. Sedangkan Anaya terus saja menggoda Arga, menatapnya dengan senyuman jahil.Cita dan Titi disambut pelukan hangat Nilam. Feeling Nilam memang tidak pernah salah. Arga dan Cita memang harus dipertemukan, supaya mereka bisa memastikan perasaan masing-masing. Arga mengantar Anaya bertemu Nilam. Seperti sudah punya ikatan yang lama, dua wanita itupun terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. "Terima kasih, Nyonya Anaya. Anda memang pantas untuk menjadi inspirasi untuk para wanita
Tok. Tok. Tok. "Mas. Buka pintunya. Makan dulu yuk," Teriak Sari di depan pintu kamar Surya, yang belakangan ini, sering tertutup rapat. Entah sudah berapa kali, Sari mengetuk pintu kamar Surya. Namun kakaknya itu, tidak membukakan pintu. Menyahut pun tidak. "Mas. Mas Surya..." teriak Sari. Rasa panik, seketika menyerang dirinya. Tak berapa lama kemudian, Sari berlari mencari kunci cadangan kamar Surya. Entah di mana kunci itu diletakan. Sementara Saru sibuk mencari kunci cadangan kamar Surya, Melisa tiba-tiba muncul, bersama Erhan. "Tante lagi ngapain?" tanya Melisa. "Eh... Copot. Copot... Melisa... Masuk rumah itu salam dulu. Main nyelonong aja. Bikin kaget Tante, kamu tuh," Ketus Sari. Melisa terkekeh. "Tante yang terlalu serius, ngotak-ngatik laci. Aku dah salam berkali-kali, kok. Coba tanya sama Mas Erhan," kata Melisa. "Oh. Ada Erhan toh. Maaf yah, Nak. Tante gak liat kamu. Itu lho. Papamu. Dah Tante panggil-panggil dari tadi, gak nyahut. Pintunya di kunci dari dalam.
"Kanker otak? Bercanda itu yang biasa aja, Erhan. Jangan ngomong sembarangan. Pamali!" sungut Talita dengan wajah ditekuk. "Beneran Ma. Ngapain juga aku bohong? Papa emang beneran kena kanker otak. Aku sama Melisa, baru aja dari dokter q menangani Papa." Tegas Erhan. Talita bergeming. Bagaimana ini? Lalu Hilda. Apa yang akan terjadi dengannya?"Yah udah. Transfer uang bulanan buat Mama. Mama lagi butuh. Sekarang yah Erhan. Mama turut prihatin dengan keadaan Papamu. Tapi, Mama juga harus peduli dengan diri Mama sendiri. Nenek sekarang sakit-sakitan. Cuma Mama harapan beliau. Tolong yah Erhan," Talita memelas. Ibunya di rumah mereka yang di kampung, memang butuh biaya untuk berobat. Karena beliau tidak mau di rawat di rumah sakit, Talita harus memanggil dokter ke rumah. Dan itu butuh biaya yang tidak sedikit. Kemana lagi Melisa akan mencari uang, selain dari menantu kaya rayanya ini? Erhan mengangguk perlahan. Melisa sudah sedikit tenang. Wanita itu menyadari satu hal dengan seger