"Kanker otak? Bercanda itu yang biasa aja, Erhan. Jangan ngomong sembarangan. Pamali!" sungut Talita dengan wajah ditekuk. "Beneran Ma. Ngapain juga aku bohong? Papa emang beneran kena kanker otak. Aku sama Melisa, baru aja dari dokter q menangani Papa." Tegas Erhan. Talita bergeming. Bagaimana ini? Lalu Hilda. Apa yang akan terjadi dengannya?"Yah udah. Transfer uang bulanan buat Mama. Mama lagi butuh. Sekarang yah Erhan. Mama turut prihatin dengan keadaan Papamu. Tapi, Mama juga harus peduli dengan diri Mama sendiri. Nenek sekarang sakit-sakitan. Cuma Mama harapan beliau. Tolong yah Erhan," Talita memelas. Ibunya di rumah mereka yang di kampung, memang butuh biaya untuk berobat. Karena beliau tidak mau di rawat di rumah sakit, Talita harus memanggil dokter ke rumah. Dan itu butuh biaya yang tidak sedikit. Kemana lagi Melisa akan mencari uang, selain dari menantu kaya rayanya ini? Erhan mengangguk perlahan. Melisa sudah sedikit tenang. Wanita itu menyadari satu hal dengan seger
Istri Lusuhku 127Dalam ruangan mewah, nuansa estetik, bercat putih gading. Dua insan yang baru saja bertemu, hanya terdiam dalam lamunan. Rustam. Pria itu tak hentinya menaikan ucapan syukur kepada Tuhan, karena doanya yang terkabul. Dia bisa bertemu dengan belahan jiwanya, sebelum ajal menjemputnya. Matanya terus mencuri pandang kepada Nilam, yang duduk menatap hamparan tanah lapang hijau, yang sisinya dipenuhi bunga mawar putih, yang sedang mekar-mekarnya. Bukan saja matanya yang merasa nyaman, tapi hatinya kini, sedang mekar seperti kelopak mawar putih itu. Melewati ribuan tantangan, akhirnya, dia bisa kembali melihat keturunan dari keturunannya, hidup dengan bahagia dan selamat. "Lams... Sebenarnya, apa yang terjadi?" Rustam membuka percakapan. Nilam tersenyum, saat mendengar panggilan Rustam pada dirinya. Lams adalah singkatan dari, Nilam Sayang. "Apa Mas akan percaya dengan kata-kata ku? Bukankan selama kita bersama dulu, Mas kurang percaya padaku yah?" Ujar Nilam.Rustam
Istri Lusuhku 128"Kamu kenal sama cowok tadi, Cha?" tanya Mirna. Acha bergeming. Gadis itu tampak menatap lurus ke depan, dengan pandangan kosong. Jemarinya bergerak cepat, mengetuk-ngetuk lututnya. Mirna sangat hafal dengan gerakan Acha. Ini terjadi, jika gadis itu sedang menahan emosi. Jika Acha ada dalam posisi seperti ini, dan ada yang salah bicara, maka sudah di pastikan, leher orang itu akan patah oleh tendangan kaki Acha. "Cha ..." Acha menoleh dengan sedikit raut gusar di wajahnya. "Hm ...""Kamu kenapa, Cha?" Anita ikutan nimbrung. "Gak apa-apa. Ada yang kenal sama cowok yang nyamperin kita tadi?" tanya Acha. Bulan menatap Mirna, begitu juga sebaliknya. "Aku pikir, kamu yang kenal sama dia, Cha. Makanya, tadi aku nanya ke kamu," kata Mirna. Masih dengan posisi pandangan lurus ke depan, Acha menjawab dengan ketus. "Gak. Lan. Tolong. Jangan biarin pria itu deket-deket aku, jaga dia tetap berada di jarak dua meter dari aku. Boleh kan Lan?"Bulan mengangguk. Akhirnya.
"Kalo ada apa-apa di jalan, jangan sungkan kasih kabar Ibu, Nduk. Nanti Ibu minta tolong sama Nugi, bantuin kalian. Bisakan Nak?" tanya Rissa pada Nugi. Sambil memastikan respon Nugi, Rissa menoleh menatap sopirnya itu. Yang ditanya, hanya pasrah mengangguk."Ok Ibu. Kalo begitu, kita permisi yah." ujar Acha. "Duluan yah, Mas," Ucap Mirna sambil menatap Nugi. Mobil meluncur dengan mulus membelah jalanan kota yang padat dengan kendaraan. Acha yang sedari tadi diam, kembali menjadi bahan perhatian teman-temannya. "Itu tadi siapa Cha?" tanya Bulan. "Sopirnya Ibu Rissa yang baru, Lan. Nanti ingetin aku, buat kasih tau Bunda yah," jawab Acha. "Wih ... Sopir seganteng itu? Masa?" seru Anita. "Iya. Aku juga terkaget-kaget. Guanteng banget, Cha,""Ish ... Lebay kamu tuh,"Mirna terkekeh geli. "Kamu ganti gaun di mana Cha? Kita sewa kamar hotel mau?" tanya Mirna. "Gak usah, Mir. Aku ganti gaun di mobil aja,""Kenapa tadi gak ganti di panti aja? Aku juga, bisa-bisanya otak aku eror,""
"Dengarkan saya baik-baik. Jangan singkirkan pria itu dengan cara yang keji. Berikan sedikit saja pelajaran padanya, lalu tinggalkan dia di pinggiran hutan. Kita lihat, apakah dia mampu untuk bertahan dengan luka di sekujur tubuhnya," ucap Ayu dengan bengis. Seorang pria gondrong dengan tubuh ceking dan raut wajah datar, berdiri di depan Ayu dengan sikap tegap dan kepala yang tertunduk. "Baik Nyonya. Ada lagi yang ingin Nyonya sampaikan?" tanya pria itu. "Berikan dia satu gelas minuman kemasan, dan satu bungkus roti," "Laksanakan Nyonya. Kalau begitu, saya permisi," Ucap pria itu. Di depan rumah, di jalan raya itu, terparkir sebuah motor dengan kotak penuh sayuran di atasnya. Si pria ceking, menstater motor, lalu pergi tanpa menoleh. "Bang ... Bang ... Sayur Bang ..." teriak beberapa ibu, yang duduk di teras rumah tetangga Ayu. "Elah dalaah ... Si Abang sayur belagu amat. Di setop emak-emak kok malah gak berhenti. Herman saya tuh. Datang bawa sayur ke rumah Mbak Ayu doang. Kita
Bab 131"Cha. Dah liat berita blom?" Ubay bertanya kepada Acha, sambil berusaha mensejajarkan langkahnya dengan gadis tinggi langsing itu. Acha sedang terburu-buru, karena ingin bertemu dengan produser. "Berita apa, Bay?" Tanya Acha, tanpa menghentikan langkah kakinya, dan tanpa menatap lawan bicaranya. Ubay menarik nafas kesal."Brenti dulu kek Cha. Jalan kamu itu lho, kok cepet banget. Gak kesusul aku lho," sungut Ubay. "Gak bisa, Bay. Aku ditelepon pagi-pagi sama Pak Rangga. Katanya, ada yang harus diomongi, dan penting banget. Kalo gak juga, aku gak buru-buru kek gini," kata Acha. Acha sengaja melebarkan dan mempercepat langkah kakinya. Yang pertama memang untuk karena ingin segera bertemu Pak Rangga. Yang kedua karena sengaja ingin menghindari Ubay. "Beritanya tentang kita berdua. Captionnya juga bikin aku kaget Cha. Masa mereka bilang kita berdua couple?" Kata Ubay. "Oh yah? Masa sih? Mereka yang bilang apa kamu yang bilang? Bukannya berita itu dari kamu, Bay?" Tanya Acha
Bab 132"Kak Acha ..." Anak-anak berteriak memanggil Acha, yang baru saja turun dari mobil. Mereka berbondong berlari menyambut Acha, berebut meraih tangannya dan bersalaman. Acha tersenyum lebar melihat teman-teman kecilnya, yang selalu antusias bila bertemu dengannya. Ada saja kelakuan mereka. Ada yang minta gendong, ada yang nagih jajan, ada juga yang bergelayut manja di tangan Acha. "Wah. Udah pada seger. Semuanya dah mandi yah?" Tanya Acha, sambil mencium pipi anak dalam gendongannya. "Udah Kak ..." jawab mereka serentak. Acha memberikan tas jinjingnya kepada Bulan, lalu berlari bermain bola dengan anak-anak. Dari kejauhan, Anaya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Acha memang seperti itu. Kalau sudah asik dengan anak-anak panti, kadang lupa belum menyapa pemilik panti. Bukan hanya sekali dua kali, tapi Acha memang sering melupakan Anaya dan Rissa, jika sudah bertemu dengan teman-teman kecilnya. Tawa riang, dan jeritan, terkadang keluar dari mulut anak-anak itu, kadang me
"Nek. Apa yang bikin Nenek setia menunggu Kakek? Padahal, aku pikir, dengan apa yang Nenek miliki, pria mana yang gak mau sama Nenek?" tanya Arga pada Nilam, saat mereka sedang duduk memandangi indahnya laut, dari atas kapal penyebrangan. Nilam menarik nafas, sambil mengedarkan pandangan jauh ke depan. Kembali mengumpulkan ingatan masa lalu, yang tidak akan pernah dia lupakan sampai kapan pun. "Yang kamu liat sekarang, gak sama seperti apa yang dilihat orang dulu, Nak. Saking susahnya Nenek, pernah ada yang nawarin untuk jadi psk. Nenek gak punya apa-apa, Ga. Nenek hanya punya cinta untuk Kakekmu. Itu yang bikin Nenek kuat bertahan. Nenek pegang erat janji Kakekmu, saat pertama kali bertemu Nenek di desa dulu. Kalau, Kakekmu itu, akan datang menyelamatkan Nenek dari kesulitan apapun,"Nilam diam sejenak. Arga pun hanya bisa mengangguk-angguk kecil, sambil memandang wajah Nilam. Sudah sepuh begini, tapi guratan kecantikan tetap jelas di wajahnya. Bagaimana mudanya dulu yah? tanya Arg