Bab 132"Kak Acha ..." Anak-anak berteriak memanggil Acha, yang baru saja turun dari mobil. Mereka berbondong berlari menyambut Acha, berebut meraih tangannya dan bersalaman. Acha tersenyum lebar melihat teman-teman kecilnya, yang selalu antusias bila bertemu dengannya. Ada saja kelakuan mereka. Ada yang minta gendong, ada yang nagih jajan, ada juga yang bergelayut manja di tangan Acha. "Wah. Udah pada seger. Semuanya dah mandi yah?" Tanya Acha, sambil mencium pipi anak dalam gendongannya. "Udah Kak ..." jawab mereka serentak. Acha memberikan tas jinjingnya kepada Bulan, lalu berlari bermain bola dengan anak-anak. Dari kejauhan, Anaya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Acha memang seperti itu. Kalau sudah asik dengan anak-anak panti, kadang lupa belum menyapa pemilik panti. Bukan hanya sekali dua kali, tapi Acha memang sering melupakan Anaya dan Rissa, jika sudah bertemu dengan teman-teman kecilnya. Tawa riang, dan jeritan, terkadang keluar dari mulut anak-anak itu, kadang me
"Nek. Apa yang bikin Nenek setia menunggu Kakek? Padahal, aku pikir, dengan apa yang Nenek miliki, pria mana yang gak mau sama Nenek?" tanya Arga pada Nilam, saat mereka sedang duduk memandangi indahnya laut, dari atas kapal penyebrangan. Nilam menarik nafas, sambil mengedarkan pandangan jauh ke depan. Kembali mengumpulkan ingatan masa lalu, yang tidak akan pernah dia lupakan sampai kapan pun. "Yang kamu liat sekarang, gak sama seperti apa yang dilihat orang dulu, Nak. Saking susahnya Nenek, pernah ada yang nawarin untuk jadi psk. Nenek gak punya apa-apa, Ga. Nenek hanya punya cinta untuk Kakekmu. Itu yang bikin Nenek kuat bertahan. Nenek pegang erat janji Kakekmu, saat pertama kali bertemu Nenek di desa dulu. Kalau, Kakekmu itu, akan datang menyelamatkan Nenek dari kesulitan apapun,"Nilam diam sejenak. Arga pun hanya bisa mengangguk-angguk kecil, sambil memandang wajah Nilam. Sudah sepuh begini, tapi guratan kecantikan tetap jelas di wajahnya. Bagaimana mudanya dulu yah? tanya Arg
Rudi mengerang kesakitan. Sumpah demi apapun, Rudi benar-benar ingin mati saja, tubuhnya sudah tidak mampu lagi, menahan semua pukulan dan siksaan dari orang-orang ini. Dia merangkak di kaki si pria ceking, sambil menangis. "Saya tidak tau hubungan kalian dengan Ayu, tapi tolong, jangan pukuli saya lagi. Saya tobat. Saya janji, tidak akan mengganggu hidupnya, atau apapun itu. Tolong sampaikan maaf saya kepadanya. Tolong lepaskan saya," Pria ceking itu tersenyum mengejek. Tidak ada sedikit pun rasa belas kasihan di wajahnya kepada Rudi. Meskipun, pria itu, sudah merangkak dan mencium kakinya. "Cuih ... Penderitaanmu belum seberapa dengan perbuatannya pada Nyonya Ayu. Selama belasan tahun, kau menyiksanya dengan sangat kejam. Kau menekan batinya, dengan tidur dengan wanita lain, sedangkan Nyonya kami, harus banting tulang menafkahi empat orang anakmu. Kau menipu dirinya tentang penghasilanmu. Kau menyiksa fisiknya, jika kau tidak berkenan dengan ucapannya. Kau seperti sampah yang bau
Acha menyambut uluran tangan anak gadis Mira dengan sumringah. Gadis itu melompat-lompat saking senangnya bisa bertemu dengan Acha. "Duh. Dil. Kan udah Momi bilang, jaga sikap Nak," kata Mira. "Gak apa-apa Tante. Ayok sini. Duduk deket aku yah," Acha menarik tangan Dilla, suoaya duduk dengannya. Gadis manis itu namoak sangat senang. Dinna, gadis yang satu lagi, nampak menggeser layar ponsel, lalu menekan aplikasi instagr*m. "Kak. Aku live di igku bisa gak?" tanyanya antusias.Mira menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah kedua anak gadisnya itu. "Anak-anak. Gak sopan ah. Kita mau makan lho. Kasihan Kak Achanya. Kasihan makanannya juga. Nanti kalo udah selesai makan, baru tuh, foto-foto sampe pegel," lerai Mira, yang melihat kehebohan anak-anaknya. Sontak semua terkekeh. "Aku masih lama kok di sini. Hari ini, special buat dateng ke sini aja. Jadi, abis makan, kita bisa foto-foto sambil live," Acha membujuk kedua kakak beradik itu. Mereka berdua menyambut perkataan Acha denga
"Pala aku pusing liat berita gosip sana sini, Cha. Klarifikasi dong, biar gak ngelunjak ntu artis. Dia ngebantah juga enggak, kamunya gak ngomong-ngomong. Sono noh, malah dia diundang ke podcast-podcast. Numpang tenar doang tuh anak," cerocos Mirna, saat sampai di rumah Acha. Gadis itu hanya bergeming. Menatap Mirna sesaat, lalu menunduk, melanjutkan mengetik novel di laptopnya. Wajahnya yang datar menanggapi perkataan Mirna, menandakan, bahwa Acha sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan jika situasinya sudah seperti ini, maka, Mirna tidak akan berani untuk melanjutkan omelannya. Acha menatap barisan kata di laptopnya, sambil berpikir tentang perkataan Mirna. Dia memang sudah harus tegas. Namun, jika sekarang dia langsung muncul untuk klarifikasi, maka, sudah dipastikan, pihak yang menyebarkan, malah akan mendapatkan keuntungan. Tapi, baik juga kan beramal untuk kesuksesan orang lain? Acha tersenyum tipis, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dunia hiburan ini memang aneh. "A
"Maaf yah Cha. Mobil Gilang nih, mogok. Dah lama yah nunggunya," tanya Bulan. Acha berbalik dan melihat Bulan dan pria yang di panggil Gilang oleh Bulan. Lama Acha menatap pria itu. Wajahnya, seperti tidak asing bagi Acha. Gadis itu memaksa ingatannya mengelana mencari tau apakah dia kenal dengan pria ini atau tidak. "Ehm. Bos. Kenalin ini Gilang Prakasa. Hacker yang gantiin Mefta, karena dia gak bisa dateng. Kalo soal kualitas. Gilang dan Mefta ada di posisi teratas di bataliyon. Pasti hasilnya gak akan mengecewakan," tutur Mirna. Gilang tersenyum. Dengan perlahan, tangannya bergerak terulur kepada Acha. Dengan tatapan penuh arti dan pindar mata yang berkaca-kaca. "Gilang Prakasa," suara pria itu bergetar menyebutkan namanya. Acha bergeming. Membiarkan tangan kekar itu teratung di udara. Matanya fokus kepada wajah Gilang. Seketika, air mata Acha mengalir, paksaannya pada memorinya, membuahkan hasil. Gilang Prakasa. Sahabat masa kecil, yang mengikat Acha dengan janji akan kemba
Seolah tau diri, Mirna dan Bulan beranjak meninggalkan Gilang dan Acha, yang masih tetap bergeming, dengan kaku dan sunyi. Situasi macam apa ini? Mereka seperti sepasang kekasih yang terpisah lama, tanpa ada kejelasan hubungan di antara mereka. Tidak ada kata putus, atau berlanjut. Semuanya mengambang. Gerakan langkah Bulan dan Mirna, seketika menyadarkan Acha dengan situasinya sekarang. Dengan cepat dia menguasai dirinya. Jemari putih dan lentik itu, mengusap bulir beling yang masih betah berjatuhan, tanpa ada yang bisa melarang. Memang benar. Jika hati memerintah, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut perintah itu. "Maaf. Saya terbawa suasana. Selamat datang. Bagaimana kabar kamu?" suara serak Acha, terpaksa keluar dari mulutnya, karena situasi yang memaksa. Jika ingin mengikuti keinginannya, lebih baik, dia tidak bersuara sama sekali. Pun, jika dia diminta memilih, dia akan pergi dari hadapan pria ini, masuk ke dalam kamar, lalu menangis hingga puas. Lho? Seorang A
Panti asuhan Cinta Bunda sedang mengadakan syukuran. Tenda berjejer di pekarangan bangunan yang luas dan rapi. Setelah pembacaan doa dan pengajian, hampir sebagian besar warga yang diundang, terlihat sedang mencicipi hidangan, sambil bercengkrama dengan gembira. Mereka bersukacita merayakan kepulangan Rustam, suami dari pemilik panti yakni Bunda Nilam. Kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat beberapa orang usil bertanya. "Emang, hilang ke mana si Kakek?" Namun, tidak ada satupun yang berprasangka buruk. Semuanya gembira dan bahagia. Karena Panti asuhan yang luar biasa ini, akan memiliki penopang yang luar biasa. Rustam dan Nilam juga bahagia. Di masa tua mereka, Allah memberikan ijin untuk bersatu kembali. Sungguh kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang penuh kesedihan, perjuangan, pengorbanan darah dan air mata. Kesetiaan yang diberikan Nilam pada berlian dalam perhiasan cinta mereka. Wanita itu mampu bertahan, karena percaya pada kekuatan cinta yang mengikat dirinya d
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa
Bapak-bapak itu kaget, demikian juga dengan Nugi. Pemuda itu memang sudah sangat sering mendengar cerita Rissa tentang betapa beraninya anak-anak Anaya. Namun, untuk melihatnya secara langsung sungguh sangat berbeda rasanya. "Woi ... Anjir Lo. Siapa sih?" Teriak si bapak, sambil meringis kesakitan memegang sikutnya yang terbentur tembok lorong. Wajah bengisnya menatap Acha dengan pandangan membunuh. Refleks kedua anak yang ditindas itu, berlari berlindung di balik tubuh Acha. "Jangan kasar sama anak kecil, Pak. Nanti anda bisa kualat lho," jawab Acha santai. Tangan kanannnya mendorong lembut tubuh gemetar dua anal kecil itu, untuk berlindung dengan baik di balik tubuhnya yang ramping. "Wuahaha ... Gua ini Bapak mereka. Bagaimana bisa Gua kualat? Malah mereka yang gak berbakti dengan bener yang bakalan kualat. Lagian, siapa sih Lo? Ikut campur aja urusan orang. Siniin gak anaknya?" Tariak pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Acha. Kelakuan Acha yang santai menghadapinya, membuat
"Hah? Kembar?" teriakan Acha juga tidak kalah kencang. Mereka semua saling berpelukan erat. Entah apa yang sedang terjadi? Semua ini di luar prediksi mereka. Namun yang terpenting sekarang, Aluna dan bayinya selamat, dan kebahagiaan memenuhi seantero rumah sakit. Beberapa lama kemudian, Rissa dan Mira tiba di rumah sakit. Mereka turut bergabung dengan Anaya, merasakan sukacita yang luar biasa. "Cha. Kita bertiga mau borong donat kentang yang lagi viral itu. Tempatnya agak jauh dari sini. Kamu gak kemana-mana kan? Kita pake mobil yah?" ijin Mirna. "Borong donat? Buat apaan?" tanya Acha. "Buat traktir semua pegawai rumah sakit ini lah. Tanda sukacita," jawab Mirna dengan gayanya yang lucu. "Wiih. Pegawai di sini banyak Mirna. Ada ribuan malah. Tokonya punya gak stok sebanyak itu? Entar yang laen gak kebagian, trus ngambek, kan kasihan," "Cabangnya banyak Cha. Tak borong semua. Pasti cukuplah. Soal harga, tenang aja, ada gadis sultan rasa emak-emak, yang punya banyak
"Sayang. Mas tau kamu kuatir sama Acha. Ngenalin anak temen itu juga gak salah. Tapi, kalo Acha udah bilang gak mau dijodohin, berarti, emang dia gak suka. Hargai keputusan dia yah," Anaya menarik nafas panjang, sambil mengangguk dalam dekapan tangan Hendrawan. "Aku janji, Mas. Acha emang sekeras itu yah? Aku kuatir, saat liat Arga jatuh cinta sama Cita. Aku bisa liat dari sorot matanya saat menatap gadis itu. Kalo Arga udah jatuh cinta, lalu Acha kapan? Mas tau kan. Arga itu. gerakannya sat, set, gak mau lama-lama. Bentar lagi, pasti minta ijin buat melamar," Hendrawan cekikan, lalu mencium kening istrinya dengan sayang. Wanitanya ini, sangat teliti, saat memperhatikan anak-anaknya. "Gak apa-apa sayang. Acha pasti akan segera bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, mari kita doain, supaya, laki-laki itu punya mental yang kuat. Tau kan gimana anak kita yang satu itu?" Hendrawan melepaskan pelukannya, saat dering ponsel Anaya memekik dari atas nakas. "Angkat dulu Sayang," Ta
Panti asuhan Cinta Bunda sedang mengadakan syukuran. Tenda berjejer di pekarangan bangunan yang luas dan rapi. Setelah pembacaan doa dan pengajian, hampir sebagian besar warga yang diundang, terlihat sedang mencicipi hidangan, sambil bercengkrama dengan gembira. Mereka bersukacita merayakan kepulangan Rustam, suami dari pemilik panti yakni Bunda Nilam. Kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat beberapa orang usil bertanya. "Emang, hilang ke mana si Kakek?" Namun, tidak ada satupun yang berprasangka buruk. Semuanya gembira dan bahagia. Karena Panti asuhan yang luar biasa ini, akan memiliki penopang yang luar biasa. Rustam dan Nilam juga bahagia. Di masa tua mereka, Allah memberikan ijin untuk bersatu kembali. Sungguh kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang penuh kesedihan, perjuangan, pengorbanan darah dan air mata. Kesetiaan yang diberikan Nilam pada berlian dalam perhiasan cinta mereka. Wanita itu mampu bertahan, karena percaya pada kekuatan cinta yang mengikat dirinya d
Seolah tau diri, Mirna dan Bulan beranjak meninggalkan Gilang dan Acha, yang masih tetap bergeming, dengan kaku dan sunyi. Situasi macam apa ini? Mereka seperti sepasang kekasih yang terpisah lama, tanpa ada kejelasan hubungan di antara mereka. Tidak ada kata putus, atau berlanjut. Semuanya mengambang. Gerakan langkah Bulan dan Mirna, seketika menyadarkan Acha dengan situasinya sekarang. Dengan cepat dia menguasai dirinya. Jemari putih dan lentik itu, mengusap bulir beling yang masih betah berjatuhan, tanpa ada yang bisa melarang. Memang benar. Jika hati memerintah, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut perintah itu. "Maaf. Saya terbawa suasana. Selamat datang. Bagaimana kabar kamu?" suara serak Acha, terpaksa keluar dari mulutnya, karena situasi yang memaksa. Jika ingin mengikuti keinginannya, lebih baik, dia tidak bersuara sama sekali. Pun, jika dia diminta memilih, dia akan pergi dari hadapan pria ini, masuk ke dalam kamar, lalu menangis hingga puas. Lho? Seorang A