"Kalo ada apa-apa di jalan, jangan sungkan kasih kabar Ibu, Nduk. Nanti Ibu minta tolong sama Nugi, bantuin kalian. Bisakan Nak?" tanya Rissa pada Nugi. Sambil memastikan respon Nugi, Rissa menoleh menatap sopirnya itu. Yang ditanya, hanya pasrah mengangguk."Ok Ibu. Kalo begitu, kita permisi yah." ujar Acha. "Duluan yah, Mas," Ucap Mirna sambil menatap Nugi. Mobil meluncur dengan mulus membelah jalanan kota yang padat dengan kendaraan. Acha yang sedari tadi diam, kembali menjadi bahan perhatian teman-temannya. "Itu tadi siapa Cha?" tanya Bulan. "Sopirnya Ibu Rissa yang baru, Lan. Nanti ingetin aku, buat kasih tau Bunda yah," jawab Acha. "Wih ... Sopir seganteng itu? Masa?" seru Anita. "Iya. Aku juga terkaget-kaget. Guanteng banget, Cha,""Ish ... Lebay kamu tuh,"Mirna terkekeh geli. "Kamu ganti gaun di mana Cha? Kita sewa kamar hotel mau?" tanya Mirna. "Gak usah, Mir. Aku ganti gaun di mobil aja,""Kenapa tadi gak ganti di panti aja? Aku juga, bisa-bisanya otak aku eror,""
"Dengarkan saya baik-baik. Jangan singkirkan pria itu dengan cara yang keji. Berikan sedikit saja pelajaran padanya, lalu tinggalkan dia di pinggiran hutan. Kita lihat, apakah dia mampu untuk bertahan dengan luka di sekujur tubuhnya," ucap Ayu dengan bengis. Seorang pria gondrong dengan tubuh ceking dan raut wajah datar, berdiri di depan Ayu dengan sikap tegap dan kepala yang tertunduk. "Baik Nyonya. Ada lagi yang ingin Nyonya sampaikan?" tanya pria itu. "Berikan dia satu gelas minuman kemasan, dan satu bungkus roti," "Laksanakan Nyonya. Kalau begitu, saya permisi," Ucap pria itu. Di depan rumah, di jalan raya itu, terparkir sebuah motor dengan kotak penuh sayuran di atasnya. Si pria ceking, menstater motor, lalu pergi tanpa menoleh. "Bang ... Bang ... Sayur Bang ..." teriak beberapa ibu, yang duduk di teras rumah tetangga Ayu. "Elah dalaah ... Si Abang sayur belagu amat. Di setop emak-emak kok malah gak berhenti. Herman saya tuh. Datang bawa sayur ke rumah Mbak Ayu doang. Kita
Bab 131"Cha. Dah liat berita blom?" Ubay bertanya kepada Acha, sambil berusaha mensejajarkan langkahnya dengan gadis tinggi langsing itu. Acha sedang terburu-buru, karena ingin bertemu dengan produser. "Berita apa, Bay?" Tanya Acha, tanpa menghentikan langkah kakinya, dan tanpa menatap lawan bicaranya. Ubay menarik nafas kesal."Brenti dulu kek Cha. Jalan kamu itu lho, kok cepet banget. Gak kesusul aku lho," sungut Ubay. "Gak bisa, Bay. Aku ditelepon pagi-pagi sama Pak Rangga. Katanya, ada yang harus diomongi, dan penting banget. Kalo gak juga, aku gak buru-buru kek gini," kata Acha. Acha sengaja melebarkan dan mempercepat langkah kakinya. Yang pertama memang untuk karena ingin segera bertemu Pak Rangga. Yang kedua karena sengaja ingin menghindari Ubay. "Beritanya tentang kita berdua. Captionnya juga bikin aku kaget Cha. Masa mereka bilang kita berdua couple?" Kata Ubay. "Oh yah? Masa sih? Mereka yang bilang apa kamu yang bilang? Bukannya berita itu dari kamu, Bay?" Tanya Acha
Bab 132"Kak Acha ..." Anak-anak berteriak memanggil Acha, yang baru saja turun dari mobil. Mereka berbondong berlari menyambut Acha, berebut meraih tangannya dan bersalaman. Acha tersenyum lebar melihat teman-teman kecilnya, yang selalu antusias bila bertemu dengannya. Ada saja kelakuan mereka. Ada yang minta gendong, ada yang nagih jajan, ada juga yang bergelayut manja di tangan Acha. "Wah. Udah pada seger. Semuanya dah mandi yah?" Tanya Acha, sambil mencium pipi anak dalam gendongannya. "Udah Kak ..." jawab mereka serentak. Acha memberikan tas jinjingnya kepada Bulan, lalu berlari bermain bola dengan anak-anak. Dari kejauhan, Anaya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Acha memang seperti itu. Kalau sudah asik dengan anak-anak panti, kadang lupa belum menyapa pemilik panti. Bukan hanya sekali dua kali, tapi Acha memang sering melupakan Anaya dan Rissa, jika sudah bertemu dengan teman-teman kecilnya. Tawa riang, dan jeritan, terkadang keluar dari mulut anak-anak itu, kadang me
"Nek. Apa yang bikin Nenek setia menunggu Kakek? Padahal, aku pikir, dengan apa yang Nenek miliki, pria mana yang gak mau sama Nenek?" tanya Arga pada Nilam, saat mereka sedang duduk memandangi indahnya laut, dari atas kapal penyebrangan. Nilam menarik nafas, sambil mengedarkan pandangan jauh ke depan. Kembali mengumpulkan ingatan masa lalu, yang tidak akan pernah dia lupakan sampai kapan pun. "Yang kamu liat sekarang, gak sama seperti apa yang dilihat orang dulu, Nak. Saking susahnya Nenek, pernah ada yang nawarin untuk jadi psk. Nenek gak punya apa-apa, Ga. Nenek hanya punya cinta untuk Kakekmu. Itu yang bikin Nenek kuat bertahan. Nenek pegang erat janji Kakekmu, saat pertama kali bertemu Nenek di desa dulu. Kalau, Kakekmu itu, akan datang menyelamatkan Nenek dari kesulitan apapun,"Nilam diam sejenak. Arga pun hanya bisa mengangguk-angguk kecil, sambil memandang wajah Nilam. Sudah sepuh begini, tapi guratan kecantikan tetap jelas di wajahnya. Bagaimana mudanya dulu yah? tanya Arg
Rudi mengerang kesakitan. Sumpah demi apapun, Rudi benar-benar ingin mati saja, tubuhnya sudah tidak mampu lagi, menahan semua pukulan dan siksaan dari orang-orang ini. Dia merangkak di kaki si pria ceking, sambil menangis. "Saya tidak tau hubungan kalian dengan Ayu, tapi tolong, jangan pukuli saya lagi. Saya tobat. Saya janji, tidak akan mengganggu hidupnya, atau apapun itu. Tolong sampaikan maaf saya kepadanya. Tolong lepaskan saya," Pria ceking itu tersenyum mengejek. Tidak ada sedikit pun rasa belas kasihan di wajahnya kepada Rudi. Meskipun, pria itu, sudah merangkak dan mencium kakinya. "Cuih ... Penderitaanmu belum seberapa dengan perbuatannya pada Nyonya Ayu. Selama belasan tahun, kau menyiksanya dengan sangat kejam. Kau menekan batinya, dengan tidur dengan wanita lain, sedangkan Nyonya kami, harus banting tulang menafkahi empat orang anakmu. Kau menipu dirinya tentang penghasilanmu. Kau menyiksa fisiknya, jika kau tidak berkenan dengan ucapannya. Kau seperti sampah yang bau
Acha menyambut uluran tangan anak gadis Mira dengan sumringah. Gadis itu melompat-lompat saking senangnya bisa bertemu dengan Acha. "Duh. Dil. Kan udah Momi bilang, jaga sikap Nak," kata Mira. "Gak apa-apa Tante. Ayok sini. Duduk deket aku yah," Acha menarik tangan Dilla, suoaya duduk dengannya. Gadis manis itu namoak sangat senang. Dinna, gadis yang satu lagi, nampak menggeser layar ponsel, lalu menekan aplikasi instagr*m. "Kak. Aku live di igku bisa gak?" tanyanya antusias.Mira menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah kedua anak gadisnya itu. "Anak-anak. Gak sopan ah. Kita mau makan lho. Kasihan Kak Achanya. Kasihan makanannya juga. Nanti kalo udah selesai makan, baru tuh, foto-foto sampe pegel," lerai Mira, yang melihat kehebohan anak-anaknya. Sontak semua terkekeh. "Aku masih lama kok di sini. Hari ini, special buat dateng ke sini aja. Jadi, abis makan, kita bisa foto-foto sambil live," Acha membujuk kedua kakak beradik itu. Mereka berdua menyambut perkataan Acha denga
"Pala aku pusing liat berita gosip sana sini, Cha. Klarifikasi dong, biar gak ngelunjak ntu artis. Dia ngebantah juga enggak, kamunya gak ngomong-ngomong. Sono noh, malah dia diundang ke podcast-podcast. Numpang tenar doang tuh anak," cerocos Mirna, saat sampai di rumah Acha. Gadis itu hanya bergeming. Menatap Mirna sesaat, lalu menunduk, melanjutkan mengetik novel di laptopnya. Wajahnya yang datar menanggapi perkataan Mirna, menandakan, bahwa Acha sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan jika situasinya sudah seperti ini, maka, Mirna tidak akan berani untuk melanjutkan omelannya. Acha menatap barisan kata di laptopnya, sambil berpikir tentang perkataan Mirna. Dia memang sudah harus tegas. Namun, jika sekarang dia langsung muncul untuk klarifikasi, maka, sudah dipastikan, pihak yang menyebarkan, malah akan mendapatkan keuntungan. Tapi, baik juga kan beramal untuk kesuksesan orang lain? Acha tersenyum tipis, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dunia hiburan ini memang aneh. "A