"Wah. Ada acara apa Kak? Masaknya banyak banget. Harum lagi. Kok aku gak asing yah sama bau masakan ini. Ini kek bau rendangnya Cita. Buatan Bunda Nilam. Pemilik Panti Asuhan di tempat proyek," Cerocos Arga panjang lebar. Aluna yang sedang asik makan asinan buah pepaya, menghentikan kegiatannya, lalu berbalik menatap Arga yang baru tiba dari puncak. "Iya dong. Orangnya langsung dateng masakin buat Kakak," Santai Aluna bicara. Giliran Arga yang terkejut. Tangannya yang hendak mencomot asinan milik Aluna, berhenti seketika. "Maksud Kakak, Bunda Nilam? Bunda Nilam yang masakin? Beeh," Cibir Arga pada Aluna. Sontak saja tangan Aluna menepuk keras lengan adiknya, saking kuatnya tepukan Aluna, membuat Arga meringis kesakitan."Gak percaya sama omongan orang tua, ni anak. Kalo beneran Bunda Nilam yang masak sendiri, kamu harus mau masakin seblak buat Kakak." Ucap Aluna. "Lagi hamil gak boleh makan yang pedes-pedes,""Kata siapa?""Kata aku dong.""Bilang aja gak mau masakin,""Buktiin
"Mampir ke toko kue Cha. Kurang puding ini. Tadi gak sempet bikin. Kaka juga lupa sama resepnya. Hehe..." Aluna terkekeh di ujung telepon. Dia menelpon Acha, meminta gadis itu untuk mampir ke toko kue mereka, buat mengambil puding cake yang disukai Rustam. Rombongan para gadis itu, mampir ke toko kue Anaya."Gak usah turun. Aku bentar doang."Acha keluar dari mobil, lalu berlari kecil masuk ke dalam toko. Ada beberapa pelanggan yang selesai membayar di kasir, dan yang lain sedang antri. "Kak Mun. Aku minta puding pesanan Kak Luna. Dah jadi kan Kak?" tanya Acha pada salah seorang karyawan toko. "Udah Dek. Bentar, Kak Muna ambilin," Sahut karyawan itu. Acha masih berdiri di depan etalase, sambil membalas pesan Aluna, juga Anaya. Gadis itu berdiri membelakangi dua orang pelanggan yang duduk berbalik ke arah taman indoor toko tersebut. Sejenak, Acha mendengar percakapan mereka. Karena merasa mengenal suara pria yang sedang duduk itu, Acha pun memasang pendengaran dengan baik. "Bap
"Masa sih? Jadi, Bunda yang salah liat kali yah?""Gak gitu juga sih, Bun. Nanti aja liat ke depannya kek gimana. Sekarang masuk dulu. Ayok. Acaranya udah mau mulai," Arga mengalihkan percakapan. Sungguh, saat ini jantungnya tidak berhenti berdegup. Entah apa penyebabnya. Yang Arga tau, jantungnya akan seperti itu, jika berhadapan dengan Cita. Jangankan berhadapan, mengingat wajahnya saja, jantungnya seperti mau copot. Arga menggandeng Anaya. Membawa wanita yang sangat dia cintai itu, masuk ke dalam rumah. Sedangkan Anaya terus saja menggoda Arga, menatapnya dengan senyuman jahil.Cita dan Titi disambut pelukan hangat Nilam. Feeling Nilam memang tidak pernah salah. Arga dan Cita memang harus dipertemukan, supaya mereka bisa memastikan perasaan masing-masing. Arga mengantar Anaya bertemu Nilam. Seperti sudah punya ikatan yang lama, dua wanita itupun terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. "Terima kasih, Nyonya Anaya. Anda memang pantas untuk menjadi inspirasi untuk para wanita
Tok. Tok. Tok. "Mas. Buka pintunya. Makan dulu yuk," Teriak Sari di depan pintu kamar Surya, yang belakangan ini, sering tertutup rapat. Entah sudah berapa kali, Sari mengetuk pintu kamar Surya. Namun kakaknya itu, tidak membukakan pintu. Menyahut pun tidak. "Mas. Mas Surya..." teriak Sari. Rasa panik, seketika menyerang dirinya. Tak berapa lama kemudian, Sari berlari mencari kunci cadangan kamar Surya. Entah di mana kunci itu diletakan. Sementara Saru sibuk mencari kunci cadangan kamar Surya, Melisa tiba-tiba muncul, bersama Erhan. "Tante lagi ngapain?" tanya Melisa. "Eh... Copot. Copot... Melisa... Masuk rumah itu salam dulu. Main nyelonong aja. Bikin kaget Tante, kamu tuh," Ketus Sari. Melisa terkekeh. "Tante yang terlalu serius, ngotak-ngatik laci. Aku dah salam berkali-kali, kok. Coba tanya sama Mas Erhan," kata Melisa. "Oh. Ada Erhan toh. Maaf yah, Nak. Tante gak liat kamu. Itu lho. Papamu. Dah Tante panggil-panggil dari tadi, gak nyahut. Pintunya di kunci dari dalam.
"Kanker otak? Bercanda itu yang biasa aja, Erhan. Jangan ngomong sembarangan. Pamali!" sungut Talita dengan wajah ditekuk. "Beneran Ma. Ngapain juga aku bohong? Papa emang beneran kena kanker otak. Aku sama Melisa, baru aja dari dokter q menangani Papa." Tegas Erhan. Talita bergeming. Bagaimana ini? Lalu Hilda. Apa yang akan terjadi dengannya?"Yah udah. Transfer uang bulanan buat Mama. Mama lagi butuh. Sekarang yah Erhan. Mama turut prihatin dengan keadaan Papamu. Tapi, Mama juga harus peduli dengan diri Mama sendiri. Nenek sekarang sakit-sakitan. Cuma Mama harapan beliau. Tolong yah Erhan," Talita memelas. Ibunya di rumah mereka yang di kampung, memang butuh biaya untuk berobat. Karena beliau tidak mau di rawat di rumah sakit, Talita harus memanggil dokter ke rumah. Dan itu butuh biaya yang tidak sedikit. Kemana lagi Melisa akan mencari uang, selain dari menantu kaya rayanya ini? Erhan mengangguk perlahan. Melisa sudah sedikit tenang. Wanita itu menyadari satu hal dengan seger
Istri Lusuhku 127Dalam ruangan mewah, nuansa estetik, bercat putih gading. Dua insan yang baru saja bertemu, hanya terdiam dalam lamunan. Rustam. Pria itu tak hentinya menaikan ucapan syukur kepada Tuhan, karena doanya yang terkabul. Dia bisa bertemu dengan belahan jiwanya, sebelum ajal menjemputnya. Matanya terus mencuri pandang kepada Nilam, yang duduk menatap hamparan tanah lapang hijau, yang sisinya dipenuhi bunga mawar putih, yang sedang mekar-mekarnya. Bukan saja matanya yang merasa nyaman, tapi hatinya kini, sedang mekar seperti kelopak mawar putih itu. Melewati ribuan tantangan, akhirnya, dia bisa kembali melihat keturunan dari keturunannya, hidup dengan bahagia dan selamat. "Lams... Sebenarnya, apa yang terjadi?" Rustam membuka percakapan. Nilam tersenyum, saat mendengar panggilan Rustam pada dirinya. Lams adalah singkatan dari, Nilam Sayang. "Apa Mas akan percaya dengan kata-kata ku? Bukankan selama kita bersama dulu, Mas kurang percaya padaku yah?" Ujar Nilam.Rustam
Istri Lusuhku 128"Kamu kenal sama cowok tadi, Cha?" tanya Mirna. Acha bergeming. Gadis itu tampak menatap lurus ke depan, dengan pandangan kosong. Jemarinya bergerak cepat, mengetuk-ngetuk lututnya. Mirna sangat hafal dengan gerakan Acha. Ini terjadi, jika gadis itu sedang menahan emosi. Jika Acha ada dalam posisi seperti ini, dan ada yang salah bicara, maka sudah di pastikan, leher orang itu akan patah oleh tendangan kaki Acha. "Cha ..." Acha menoleh dengan sedikit raut gusar di wajahnya. "Hm ...""Kamu kenapa, Cha?" Anita ikutan nimbrung. "Gak apa-apa. Ada yang kenal sama cowok yang nyamperin kita tadi?" tanya Acha. Bulan menatap Mirna, begitu juga sebaliknya. "Aku pikir, kamu yang kenal sama dia, Cha. Makanya, tadi aku nanya ke kamu," kata Mirna. Masih dengan posisi pandangan lurus ke depan, Acha menjawab dengan ketus. "Gak. Lan. Tolong. Jangan biarin pria itu deket-deket aku, jaga dia tetap berada di jarak dua meter dari aku. Boleh kan Lan?"Bulan mengangguk. Akhirnya.
"Kalo ada apa-apa di jalan, jangan sungkan kasih kabar Ibu, Nduk. Nanti Ibu minta tolong sama Nugi, bantuin kalian. Bisakan Nak?" tanya Rissa pada Nugi. Sambil memastikan respon Nugi, Rissa menoleh menatap sopirnya itu. Yang ditanya, hanya pasrah mengangguk."Ok Ibu. Kalo begitu, kita permisi yah." ujar Acha. "Duluan yah, Mas," Ucap Mirna sambil menatap Nugi. Mobil meluncur dengan mulus membelah jalanan kota yang padat dengan kendaraan. Acha yang sedari tadi diam, kembali menjadi bahan perhatian teman-temannya. "Itu tadi siapa Cha?" tanya Bulan. "Sopirnya Ibu Rissa yang baru, Lan. Nanti ingetin aku, buat kasih tau Bunda yah," jawab Acha. "Wih ... Sopir seganteng itu? Masa?" seru Anita. "Iya. Aku juga terkaget-kaget. Guanteng banget, Cha,""Ish ... Lebay kamu tuh,"Mirna terkekeh geli. "Kamu ganti gaun di mana Cha? Kita sewa kamar hotel mau?" tanya Mirna. "Gak usah, Mir. Aku ganti gaun di mobil aja,""Kenapa tadi gak ganti di panti aja? Aku juga, bisa-bisanya otak aku eror,""