"Nasib, malang apa ini?"Asih pun segera mengunci pintu kamar, dia tidak mau jika saja Barra kembali masuk ke dalam kamar kemudian benar-benar melakukan apa yang dikatakannya barusan.Sedetik kemudian tubuh Asih pun terasa lebih berat, lututnya bergetar dan terasa lemas.Seketika itu langsung terduduk di lantai, rasanya untuk menopang tubuhnya pun sudah tidak mampu.Tidak mungkin ini terjadi.Tapi, memang begitu adanya.Lantas bagaimana lagi?Asih pun kembali menatap layar ponselnya, kemudian tanpa sengaja membuka akun sosial media.Tampak wajah Sandi di sana, ada banyak komentar yang memenuhi.Asih pun ikut menuliskan sebuah komentar dengan maksud melampiaskan kekesalannya.--Sok keren!--Dalam beberapa detik kemudian Asih pun mendapatkan pesan dari Sandi.Tampaknya pria itu memilih untuk membalas ucapan Asih secara pribadi, dari pada harus saling berbalas di halaman komentar media sosial milik Sandi sendiri.[Tidak masalah, asalkan tidak suka selingkuh!] Sandi."Dia bilang, aku seli
"Bu, di luar ada Nona Kiara, katanya dia mau ketemu sama Ibu," kata seorang Art yang memberitahu kehadiran seseorang."Kiara, guru les, Dila?""Iya, Bu.""Suruh saja langsung ke sini.""Baik, Bu.""Mami, kok belajarnya pagi-pagi. Lagian, sekarang masih libur sekolah!" protes Dila."Sayang, kamu harus belajar. Supaya besarnya jadi orang pinter," jawab Nia."Dila, nggak mau jadi orang pinter!" "Kenapa?" tanya Nia yang menatap Dila dengan serius."Kan, nanti banyak yang datang." jawab Dila sambil menerima suapan demi suapan dari Asih."Datang, gimana?" Nia malah makin bingung dibuat oleh anaknya tersebut.Entah apa yang dimaksud oleh anak itu, sehingga berbicara dengan demikian."Kan, orang pintar itu banyak kedatangan orang-orang jahat. Orang pintar, juga bisa nyantet, katanya temen, Dila di sekolah, Mami," jelas Dila dengan polosnya."Ya, ampun," Nia malah memijat kepalanya mendengar apa yang dikatakan oleh Dila.Rasanya anak itu memang sedikit aneh, tapi ada juga lucunya."Ahahahhaha
Asih kelihatan begitu bersemangat untuk bertemu dengan Sandi, dengan cepat dia memarkirkan sepeda motornya dan bergegas masuk ke dalam toko kue."Hay, Mbak Asih," sapa seorang karyawati bernama Nilam."Hay, Nilam. Sandi, udah dari sini, belum?" tanya Asih yang begitu bersemangat."Belum, Mbak. Lagian tokonya juga baru di buka," jawab Nilam."Baiklah, semangat bekerja, ya," Asih pun segera memeriksa apakah sudah banyak kue yang tersedia, berikut juga dengan bahan-bahan untuk membuat kue di bagian belakang.Bibirnya terus saja tersenyum, dia yang sangat bahagia karena sudah membayangkan akan bertemu dengan pria idamannya."Mbak Asih, ada, Mbak Nia di depan," kata Nilam yang menyusulnya ke dapur."Nia? Serius? Perasaan tadi dia di rumah," kata Asih yang bingung.Tapi dia pun segera keluar dan melihat Nia di sana."Aku kira kamu nggak ke toko, kalau iya kenapa nggak bilang tadi?" "Aku lupa bilang, kalau di kantor, Mas Dion ada acara. Jadi, kuenya harus diantar ke sana sekarang juga. Gima
"Mbak Asih, tadi Nilam nggak salah dengarkan?" tanya Nilam yang kini berada di belakang tubuh Asih.Tubuh Asih pun gemetaran seperti ada yang memberikan sebuah goncangan yang teramat sangat dahsyatnya.Perlahan Asih pun memutar tubuhnya, ternyata Nilam begitu menunggunya untuk menjawab."Kamu bilang apa barusan?" tanya Asih dengan begitu hati-hati."Dengar, kalau, Mas Barra bilang dia itu suami, Mbak --" belum selesai Nilam mengatakan sesuatu yang dia dengar namun mulutnya sudah di bekap dengan cepat.Itu adalah Asih yang melakukannya, karena bersamaan dengan itu Nia pun muncul.Kalau sampai Nilam mengatakan itu, sudah pasti Nia mendengar dengan jelas.Sedangkan dirinya masih berharap bisa bercerai dengan Barra secepat mungkin."Kalian kenapa?" tanya Nia yang bingung."Nggak, papa. Nilam, sedang tidak enak badan," jawab Asih.Nilam pun menggelengkan kepalanya sambil berusaha untuk melepaskan diri, tapi Asih terus menutup mulutnya."Asih, kamu kenapa menutup mulut, Nilam?" Nia malah ka
"Kok, bingung gitu?""Nggak papa, ini cincin mainan aja kok."Sandi pun terdiam sambil menatap cincin tersebut dengan serius.Hingga akhirnya dia pun kembali bertanya pada Asih."Tapi, cincin ini bagus sekali.""Ya, justru itu. Makanya aku pakai, aku suka. Tapi, ini palsu," jelas Asih lagi.Dia berusaha untuk tetap tenang, karena menjawab pertanyaan tersebut sungguh membuatnya merasa tidak nyaman.Di tambah lagi kemungkinan-kemungkinan yang akan di ketahui oleh Sandi.Tidak, Sandi tak boleh tahu jika dirinya sudah menikah dengan Barra.Sial sekali, hanya menyebut nama itu saja sudah membuat mood Asih menjadi rusak seketika."Asih?""Iya."Asih pun menatap pramusaji yang sudah membawa makanan, dan dia baru menyadarinya."Ayo makan, kamu itu, kenapa jadi seperti orang bingung.""Hehe," Asih pun tersenyum dengan terpaksa, demi membuat Sandi tak lagi banyak bertanya.Setelah selesai makan keduanya pun kembali masuk ke dalam mobil.Asih akan diantar pulang oleh Sandi, dan keduanya pun samp
Benar saja saat ini Barra sedang berada di dapur."Barra," dengan cepat Asih pun menghampirinya.Membuat Barra pun terdiam sambil melihat wanita yang memanggilnya.Sedangkan Kiara hanya berdiri di jarak yang cukup jauh, dia sepertinya tidak memiliki keberanian untuk berbicara langsung dengan Barra."Kiara, sini deh. Aku kenalin, sama dia," Asih pun menggerakkan tangannya, kemudian Kiara pun mulai berjalan dengan perlahan.Rasanya sangat tidak enak, karena jantungnya malah berdegup kencang."Barra, kenalan sama, Kiara," Asih pun meninju lengan bagian atas Barra.Karena kesal pada pria itu yang hanya diam saja tanpa melakukan apapun.Sedangkan Barra malah melihat lengannya, tanpa berbicara sama sekali."Barra!" seru Asih."Hay," sapa Kiara dengan ramahnya.Barra hanya diam saja tanpa menjawab sama sekali.Bukannya Kiara yang kesal, tetapi justru Asih yang geram dengan pria itu."Barra, senyumnya mana? Kamu itu bisa senyum nggak, sih!" gerutu Asih.Kemudian dia pun menatap Kiara dengan p
"Jangan terlalu benci, takutnya nanti jadi berbalik jadi cinta," ujar Nia yang muncul tiba-tiba.Membuat Asih pun tersadar bahwa ada orang lain selain dirinya."Kamu udah lama di sini?""Nggak juga, tapi aku lihat waktu kamu terjatuh tadi dan Barra mengulurkan tangannya untuk membantu mu. Aku, peringatkan. Benci itu awalnya, sampai akhirnya nanti kamu akan merasa kosong sehari tidak melihat dia. Di sanalah cinta pun muncul," jelas Nia dengan panjang lebar."Ogah! Amit-amit jabang bayi!" Nia pun tersenyum kemudian dia pun memilih untuk pergi dengan begitu saja."Enak aja suka sama dia, enggak banget sih? Kecuali udah nggak ada manusia di dunia ini. Itu pun masih butuh banyak pertimbangan!"Kali ini Asih benar-benar masuk ke dalam kamarnya.Namun, saat itu dia pun kembali terkejut dengan kehadiran Barra."Kamu ngapain ke kamar, aku?" Asih kembali mengancing kemejanya, dia padahal ingin melepaskan dari tubuhnya.Kemudian mandi dan berganti dengan pakaian yang cukup ringan dan membuat tu
Dia tidak menyangka akan mendengar hal demikian dari mulut Tias.Sungguh keinginan Tias sangat berbeda dengan keinginan dirinya, ingin sekali Asih menangis kencang karena tidak kuasa untuk menolak keinginan Tias.Namun, dia juga punya kehidupan yang dia impikan hanya bersama kekasihnya, bagaimana jika sudah begini?Haruskah, harapan itu sirna dengan begitu saja? Tapi, Asih merasa tidak memiliki kecocokan dengan Barra, tidak ada sesuatu hal yang bisa membuatnya tertarik dari pria itu.Jadi, bagaimana?Sangat tidak bisa di putuskan dengan mudahnya."Biar, Bunda yang membatu untuk memasangkan.""Bunda, mohon maaf. Tapi, sepertinya ini sangat berlebihan," tolak Asih secara langsung, dia tidak bisa menerima benda tersebut.Tapi, seketika itu raut wajah Tias pun berubah. Tampak jelas kekecewaan yang dia rasakan.Membuat Asih pun jadi tidak enak hati."Tapi, ini harganya pasti sangat mahal, Bunda," tambah Asih lagi."Tidak masalah, ini adalah kalung milik, Bunda. Dulu, Barra yang membelikan