Benar saja saat ini Barra sedang berada di dapur."Barra," dengan cepat Asih pun menghampirinya.Membuat Barra pun terdiam sambil melihat wanita yang memanggilnya.Sedangkan Kiara hanya berdiri di jarak yang cukup jauh, dia sepertinya tidak memiliki keberanian untuk berbicara langsung dengan Barra."Kiara, sini deh. Aku kenalin, sama dia," Asih pun menggerakkan tangannya, kemudian Kiara pun mulai berjalan dengan perlahan.Rasanya sangat tidak enak, karena jantungnya malah berdegup kencang."Barra, kenalan sama, Kiara," Asih pun meninju lengan bagian atas Barra.Karena kesal pada pria itu yang hanya diam saja tanpa melakukan apapun.Sedangkan Barra malah melihat lengannya, tanpa berbicara sama sekali."Barra!" seru Asih."Hay," sapa Kiara dengan ramahnya.Barra hanya diam saja tanpa menjawab sama sekali.Bukannya Kiara yang kesal, tetapi justru Asih yang geram dengan pria itu."Barra, senyumnya mana? Kamu itu bisa senyum nggak, sih!" gerutu Asih.Kemudian dia pun menatap Kiara dengan p
"Jangan terlalu benci, takutnya nanti jadi berbalik jadi cinta," ujar Nia yang muncul tiba-tiba.Membuat Asih pun tersadar bahwa ada orang lain selain dirinya."Kamu udah lama di sini?""Nggak juga, tapi aku lihat waktu kamu terjatuh tadi dan Barra mengulurkan tangannya untuk membantu mu. Aku, peringatkan. Benci itu awalnya, sampai akhirnya nanti kamu akan merasa kosong sehari tidak melihat dia. Di sanalah cinta pun muncul," jelas Nia dengan panjang lebar."Ogah! Amit-amit jabang bayi!" Nia pun tersenyum kemudian dia pun memilih untuk pergi dengan begitu saja."Enak aja suka sama dia, enggak banget sih? Kecuali udah nggak ada manusia di dunia ini. Itu pun masih butuh banyak pertimbangan!"Kali ini Asih benar-benar masuk ke dalam kamarnya.Namun, saat itu dia pun kembali terkejut dengan kehadiran Barra."Kamu ngapain ke kamar, aku?" Asih kembali mengancing kemejanya, dia padahal ingin melepaskan dari tubuhnya.Kemudian mandi dan berganti dengan pakaian yang cukup ringan dan membuat tu
Dia tidak menyangka akan mendengar hal demikian dari mulut Tias.Sungguh keinginan Tias sangat berbeda dengan keinginan dirinya, ingin sekali Asih menangis kencang karena tidak kuasa untuk menolak keinginan Tias.Namun, dia juga punya kehidupan yang dia impikan hanya bersama kekasihnya, bagaimana jika sudah begini?Haruskah, harapan itu sirna dengan begitu saja? Tapi, Asih merasa tidak memiliki kecocokan dengan Barra, tidak ada sesuatu hal yang bisa membuatnya tertarik dari pria itu.Jadi, bagaimana?Sangat tidak bisa di putuskan dengan mudahnya."Biar, Bunda yang membatu untuk memasangkan.""Bunda, mohon maaf. Tapi, sepertinya ini sangat berlebihan," tolak Asih secara langsung, dia tidak bisa menerima benda tersebut.Tapi, seketika itu raut wajah Tias pun berubah. Tampak jelas kekecewaan yang dia rasakan.Membuat Asih pun jadi tidak enak hati."Tapi, ini harganya pasti sangat mahal, Bunda," tambah Asih lagi."Tidak masalah, ini adalah kalung milik, Bunda. Dulu, Barra yang membelikan
Tok tok tok.Lagi-lagi terdengar suara ketukan pintu.Pintu pun terbuka, ternyata kali ini Tias yang masuk."Asih, Bunda minta maaf. Karena, sempat berpikir kamu dan Barra sudah begitu sebelum menikah. Bunda, sangat merasa bersalah. Maafin, Bunda, ya. Bunda, harap kamu tidak benci sama, Bunda."Asih pun langsung saja bangkit dari tempat tidur, dia pun segera berdiri di depan Tias yang duduk di kursi roda.Dia tahu Tias barusan bukan membencinya, mungkin hanya sedikit kecewa jika tahu anaknya melakukan hal yang begitu jauh.Tapi, nyatanya semua itu tidak benar. Pastinya perasaan Tias jauh lebih baik."Tidak apa, Bunda. Asih cuman kelelahan aja, masuk angin, karena akhir-akhir ini makan nggak teratur.""Kamu, istirahat, ya. Nak, ini obat di berikan oleh Tias tadi pada, Bunda. Dia, sudah pergi menolong tetangga yang sepertinya akan melahirkan.""Dia bidan, ya. Bunda.""Iya, sekarang kamu berbaring di ranjang. Biar Barra yang membantu mu minum obat."Tias pun merasa lebih lega karena suda
"Barra."Barra hanya diam saja, dia tidak perduli sama sekali saat Asih terus saja memanggilnya.Karena, dia sedang tidak ingin berdebat. Itu yang biasanya terjadi jika sudah bersama dengan wanita tersebut."Barra, aku manggil kamu, lho!" Asih yang kesal pun menaikan nada bicaranya, agar Barra bisa menoleh padanya.Tapi justru Barra melihat ke arah jendela, melihat ke arah luar sana dengan begitu serius.Sedetik kemudian Barra pun melihat kamarnya.Seakan pria itu tengah memperhatikan sesuatu dan itu membuat Asih bingung."Kamu ngeliat apaan sih, kok sampai segitunya?" Lagi-lagi Barra tidak menjawab sama sekali, yang ada justru dia pun bergegas keluar dari kamar."Dia kenapa, ya? Aku kok, penasaran? Udah kayak, di kejar setan aja, dasar aneh."Asih pun melihat ke arah jendela, mengikuti apa yang barusan di lihat oleh Barra. Sehingga pria itu menjadi sangat aneh sekali.Kemudian dia melihat Tias yang tengah membakar banyak benda di sana.Tak lama kemudian Asih pun ikut menyusul Barra
Kemudian Asih pun memilih untuk segera masuk ke dalam kamar mandi.Dia pun memilih untuk membersihkan tubuhnya yang sangat tidak nyaman.Benar saja, setelah selesai mandi tubuh pun menjadi lebih segar.Dress milik Tias tampak pas di tubuhnya, apa lagi berat bada mereka hampir sama.Hanya saja Tias menyanggul rambutnya dan Asih membiarkan tergerai dengan begitu saja.Rambutnya yang hitam dan bergelombang itu memang tampak sangat indah sekali.Dia pun mengambil ponselnya, ternyata ada banyak panggilan di sana."Sandi?" Asih pun menghubungi Sandi kembali, tapi tidak satupun panggilannya yang mendapatkan jawaban.Kemudian Asih pun memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan.Belum juga ada balasan, bahkan di baca juga belum."Apa dia marah padaku? Tapi, semalam aku sakit."Kemudian Asih pun menghubungi Nilam, dia mengatakan pada Nilam untuk hari ini tidak bekerja saja.Karena Asih tidak ingin Nia curiga akan dirinya, dan kemana dia pergi, sedangkan Nilam sudah tahu jika dirinya yang sudah
"Kalau kalian romantis begini hati, Bunda rasanya sangat bahagia. Tidak ada lagi rasa khawatir akan hubungan kalian berdua. Baiklah, Bunda yang pergi. Kalian, lanjutkan saja. Bunda, juga dulu pernah muda."Tias pun berpindah duduk di atas kursi rodanya, kemudian pergi dari sana.Bibirnya terus saja tersenyum karena membayangkan bagaimana Barra dan Asih yang ternyata sangat romantis sekali.Lagi pula keduanya pernah mengatakan tak pernah ada hubungan sebelum menikah, jadi rasanya berpacaran setelah menikah adalah sebuah keharusan untuk lebih saling mengenal satu sama lainnya.Sedangkan Asih pun kembali bergerak, hingga akhirnya terlepas dari pelukan Barra.Barra sendiri masih berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri, rasanya sulit di percaya.Karena, dia pikir orang yang dia peluk adalah Bundanya.Tapi apa?Justru Asih yang dia peluk.Ini sangat tidak mungkin."Kamu apaansih, Barra. Kok, main peluk-peluk aja?" kesal Asih sambil menjauhkan dirinya agar berjarak dengan Barra.Sedangkan
Asih pun kini duduk di samping Barra yang tengah mengemudikan mobilnya, dia sangat kesal karena kejadian barusan membuatnya semakin merasa tidak nyaman pada Barra."Barra, kamu seriuskan, nggak nafsu sama aku?"Barra pun melirik Asih sekilas, setelah itu kembali melihat ke depan sana."Barra, aku bertanya. Kenapa kamu tidak bisa menjawab dengan baik, kalau aku bertanya.""Tidak! Kau bukan selera ku!""Bagus, artinya kita sama-sama tidak berselera satu sama lainnya. Tapi, aku harap kau jangan pernah sekali-kali melakukan itu lagi!"Asih pun memberikan sebuah peringatan keras, dia akan lebih hati-hati kedepanya saat bersama dengan Barra."Barra, kamu tidak tertarik pada, Kiara?"Barra sama sekali tidak ingin membahas tentang wanita itu, karena di benaknya sampai detik ini hanya Kanaya saja."Barra, aku ingin kita sekarang menjadi teman. Ayolah, bicara dengan baik pada ku! Kiara itu baik, dia juga menarik, coba dulu. Mana tahu kamu nyaman," kata Asih memberikan sebuah saran.Demi apa Asi