Dia tidak menyangka akan mendengar hal demikian dari mulut Tias.Sungguh keinginan Tias sangat berbeda dengan keinginan dirinya, ingin sekali Asih menangis kencang karena tidak kuasa untuk menolak keinginan Tias.Namun, dia juga punya kehidupan yang dia impikan hanya bersama kekasihnya, bagaimana jika sudah begini?Haruskah, harapan itu sirna dengan begitu saja? Tapi, Asih merasa tidak memiliki kecocokan dengan Barra, tidak ada sesuatu hal yang bisa membuatnya tertarik dari pria itu.Jadi, bagaimana?Sangat tidak bisa di putuskan dengan mudahnya."Biar, Bunda yang membatu untuk memasangkan.""Bunda, mohon maaf. Tapi, sepertinya ini sangat berlebihan," tolak Asih secara langsung, dia tidak bisa menerima benda tersebut.Tapi, seketika itu raut wajah Tias pun berubah. Tampak jelas kekecewaan yang dia rasakan.Membuat Asih pun jadi tidak enak hati."Tapi, ini harganya pasti sangat mahal, Bunda," tambah Asih lagi."Tidak masalah, ini adalah kalung milik, Bunda. Dulu, Barra yang membelikan
Tok tok tok.Lagi-lagi terdengar suara ketukan pintu.Pintu pun terbuka, ternyata kali ini Tias yang masuk."Asih, Bunda minta maaf. Karena, sempat berpikir kamu dan Barra sudah begitu sebelum menikah. Bunda, sangat merasa bersalah. Maafin, Bunda, ya. Bunda, harap kamu tidak benci sama, Bunda."Asih pun langsung saja bangkit dari tempat tidur, dia pun segera berdiri di depan Tias yang duduk di kursi roda.Dia tahu Tias barusan bukan membencinya, mungkin hanya sedikit kecewa jika tahu anaknya melakukan hal yang begitu jauh.Tapi, nyatanya semua itu tidak benar. Pastinya perasaan Tias jauh lebih baik."Tidak apa, Bunda. Asih cuman kelelahan aja, masuk angin, karena akhir-akhir ini makan nggak teratur.""Kamu, istirahat, ya. Nak, ini obat di berikan oleh Tias tadi pada, Bunda. Dia, sudah pergi menolong tetangga yang sepertinya akan melahirkan.""Dia bidan, ya. Bunda.""Iya, sekarang kamu berbaring di ranjang. Biar Barra yang membantu mu minum obat."Tias pun merasa lebih lega karena suda
"Barra."Barra hanya diam saja, dia tidak perduli sama sekali saat Asih terus saja memanggilnya.Karena, dia sedang tidak ingin berdebat. Itu yang biasanya terjadi jika sudah bersama dengan wanita tersebut."Barra, aku manggil kamu, lho!" Asih yang kesal pun menaikan nada bicaranya, agar Barra bisa menoleh padanya.Tapi justru Barra melihat ke arah jendela, melihat ke arah luar sana dengan begitu serius.Sedetik kemudian Barra pun melihat kamarnya.Seakan pria itu tengah memperhatikan sesuatu dan itu membuat Asih bingung."Kamu ngeliat apaan sih, kok sampai segitunya?" Lagi-lagi Barra tidak menjawab sama sekali, yang ada justru dia pun bergegas keluar dari kamar."Dia kenapa, ya? Aku kok, penasaran? Udah kayak, di kejar setan aja, dasar aneh."Asih pun melihat ke arah jendela, mengikuti apa yang barusan di lihat oleh Barra. Sehingga pria itu menjadi sangat aneh sekali.Kemudian dia melihat Tias yang tengah membakar banyak benda di sana.Tak lama kemudian Asih pun ikut menyusul Barra
Kemudian Asih pun memilih untuk segera masuk ke dalam kamar mandi.Dia pun memilih untuk membersihkan tubuhnya yang sangat tidak nyaman.Benar saja, setelah selesai mandi tubuh pun menjadi lebih segar.Dress milik Tias tampak pas di tubuhnya, apa lagi berat bada mereka hampir sama.Hanya saja Tias menyanggul rambutnya dan Asih membiarkan tergerai dengan begitu saja.Rambutnya yang hitam dan bergelombang itu memang tampak sangat indah sekali.Dia pun mengambil ponselnya, ternyata ada banyak panggilan di sana."Sandi?" Asih pun menghubungi Sandi kembali, tapi tidak satupun panggilannya yang mendapatkan jawaban.Kemudian Asih pun memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan.Belum juga ada balasan, bahkan di baca juga belum."Apa dia marah padaku? Tapi, semalam aku sakit."Kemudian Asih pun menghubungi Nilam, dia mengatakan pada Nilam untuk hari ini tidak bekerja saja.Karena Asih tidak ingin Nia curiga akan dirinya, dan kemana dia pergi, sedangkan Nilam sudah tahu jika dirinya yang sudah
"Kalau kalian romantis begini hati, Bunda rasanya sangat bahagia. Tidak ada lagi rasa khawatir akan hubungan kalian berdua. Baiklah, Bunda yang pergi. Kalian, lanjutkan saja. Bunda, juga dulu pernah muda."Tias pun berpindah duduk di atas kursi rodanya, kemudian pergi dari sana.Bibirnya terus saja tersenyum karena membayangkan bagaimana Barra dan Asih yang ternyata sangat romantis sekali.Lagi pula keduanya pernah mengatakan tak pernah ada hubungan sebelum menikah, jadi rasanya berpacaran setelah menikah adalah sebuah keharusan untuk lebih saling mengenal satu sama lainnya.Sedangkan Asih pun kembali bergerak, hingga akhirnya terlepas dari pelukan Barra.Barra sendiri masih berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri, rasanya sulit di percaya.Karena, dia pikir orang yang dia peluk adalah Bundanya.Tapi apa?Justru Asih yang dia peluk.Ini sangat tidak mungkin."Kamu apaansih, Barra. Kok, main peluk-peluk aja?" kesal Asih sambil menjauhkan dirinya agar berjarak dengan Barra.Sedangkan
Asih pun kini duduk di samping Barra yang tengah mengemudikan mobilnya, dia sangat kesal karena kejadian barusan membuatnya semakin merasa tidak nyaman pada Barra."Barra, kamu seriuskan, nggak nafsu sama aku?"Barra pun melirik Asih sekilas, setelah itu kembali melihat ke depan sana."Barra, aku bertanya. Kenapa kamu tidak bisa menjawab dengan baik, kalau aku bertanya.""Tidak! Kau bukan selera ku!""Bagus, artinya kita sama-sama tidak berselera satu sama lainnya. Tapi, aku harap kau jangan pernah sekali-kali melakukan itu lagi!"Asih pun memberikan sebuah peringatan keras, dia akan lebih hati-hati kedepanya saat bersama dengan Barra."Barra, kamu tidak tertarik pada, Kiara?"Barra sama sekali tidak ingin membahas tentang wanita itu, karena di benaknya sampai detik ini hanya Kanaya saja."Barra, aku ingin kita sekarang menjadi teman. Ayolah, bicara dengan baik pada ku! Kiara itu baik, dia juga menarik, coba dulu. Mana tahu kamu nyaman," kata Asih memberikan sebuah saran.Demi apa Asi
"Barra, aku di toko aja, ya. Kalian yang ke rumah saja. Ayang, aku ngirim chat ini. Dia ada di toko kue," kata Asih dengan penuh semangat.Jantungnya benar-benar tidak karuan jika sudah berbicara tentang Sandi, kekasih hati yang mampu membuatnya menjadi mabuk kebayang."Kamu udah punya pacar?" tanya Kiara.Dia dan Asih baru saja saling mengenal, jadi Kiara tidak tahu tentang Asih."Iya, semoga kalian juga bisa menyusul," celetuk Asih.Percayalah itu bukan hanya sekedar ucapan saja, tapi harapan yang sangat tinggi dari hatinya.Wajah Kiara langsung saja bersemu merah, mendengar apa di katakan oleh Asih.Menurut orang lain mungkin itu hanya sebuah ucapan semata, tapi tidak dengan perasaan Kiara.Lain lagi halnya dengan Barra yang justru terlihat hanya biasa saja.Biasa tanpa tertarik untuk berbicara sama sekali, apa lagi jika hanya untuk pembahasan yang dimiliki."Ya, ampun wajahnya merona banget," seloroh Asih.Dia pun memajukan tubuhnya, dan berbisik pada Kiara, "Aku sudah berusaha, s
Di waktu yang sama, namun tempat yang berbeda.Dion mendatangi kediaman Chandra, entah mengapa dirinya merasa ada yang kurang saat ini.Dia dan Chandra memang bukan dilahirkan dari rahim yang sama, akan tetapi keduanya di besarkan oleh orang yang sama.Sudah diajarkan untuk saling mengasihi satu sama lainya sejak kecil, mungkin saja jika Abraham Winata tidak mengatakan apa-apa sebelum meninggal, Dion tak pernah tahu jika Chandra bukan saudara kandungnya.Namun, Abraham harus mengatakan itu pada Dion. Sebab, dia tidak ingin Dion mengetahui semua itu dengan sendirinya.Kemudian saat ada permasalahan keduanya akan saling membenci, di saat itu pula Abraham mengatakan bahwa keduanya memiliki tempat yang istimewa di hati Abraham.Sehingga sebesar apapun masalah yang akan mereka hadapi nantinya, tidak boleh saling membenci hingga mendarah daging.Jika keduanya saling membenci itu artinya menyakiti Abraham meskipun sudah tak lagi ada di dunia ini.Itulah alasan mengapa Dion hari ini mendatang