"Mbak Asih, tadi Nilam nggak salah dengarkan?" tanya Nilam yang kini berada di belakang tubuh Asih.Tubuh Asih pun gemetaran seperti ada yang memberikan sebuah goncangan yang teramat sangat dahsyatnya.Perlahan Asih pun memutar tubuhnya, ternyata Nilam begitu menunggunya untuk menjawab."Kamu bilang apa barusan?" tanya Asih dengan begitu hati-hati."Dengar, kalau, Mas Barra bilang dia itu suami, Mbak --" belum selesai Nilam mengatakan sesuatu yang dia dengar namun mulutnya sudah di bekap dengan cepat.Itu adalah Asih yang melakukannya, karena bersamaan dengan itu Nia pun muncul.Kalau sampai Nilam mengatakan itu, sudah pasti Nia mendengar dengan jelas.Sedangkan dirinya masih berharap bisa bercerai dengan Barra secepat mungkin."Kalian kenapa?" tanya Nia yang bingung."Nggak, papa. Nilam, sedang tidak enak badan," jawab Asih.Nilam pun menggelengkan kepalanya sambil berusaha untuk melepaskan diri, tapi Asih terus menutup mulutnya."Asih, kamu kenapa menutup mulut, Nilam?" Nia malah ka
"Kok, bingung gitu?""Nggak papa, ini cincin mainan aja kok."Sandi pun terdiam sambil menatap cincin tersebut dengan serius.Hingga akhirnya dia pun kembali bertanya pada Asih."Tapi, cincin ini bagus sekali.""Ya, justru itu. Makanya aku pakai, aku suka. Tapi, ini palsu," jelas Asih lagi.Dia berusaha untuk tetap tenang, karena menjawab pertanyaan tersebut sungguh membuatnya merasa tidak nyaman.Di tambah lagi kemungkinan-kemungkinan yang akan di ketahui oleh Sandi.Tidak, Sandi tak boleh tahu jika dirinya sudah menikah dengan Barra.Sial sekali, hanya menyebut nama itu saja sudah membuat mood Asih menjadi rusak seketika."Asih?""Iya."Asih pun menatap pramusaji yang sudah membawa makanan, dan dia baru menyadarinya."Ayo makan, kamu itu, kenapa jadi seperti orang bingung.""Hehe," Asih pun tersenyum dengan terpaksa, demi membuat Sandi tak lagi banyak bertanya.Setelah selesai makan keduanya pun kembali masuk ke dalam mobil.Asih akan diantar pulang oleh Sandi, dan keduanya pun samp
Benar saja saat ini Barra sedang berada di dapur."Barra," dengan cepat Asih pun menghampirinya.Membuat Barra pun terdiam sambil melihat wanita yang memanggilnya.Sedangkan Kiara hanya berdiri di jarak yang cukup jauh, dia sepertinya tidak memiliki keberanian untuk berbicara langsung dengan Barra."Kiara, sini deh. Aku kenalin, sama dia," Asih pun menggerakkan tangannya, kemudian Kiara pun mulai berjalan dengan perlahan.Rasanya sangat tidak enak, karena jantungnya malah berdegup kencang."Barra, kenalan sama, Kiara," Asih pun meninju lengan bagian atas Barra.Karena kesal pada pria itu yang hanya diam saja tanpa melakukan apapun.Sedangkan Barra malah melihat lengannya, tanpa berbicara sama sekali."Barra!" seru Asih."Hay," sapa Kiara dengan ramahnya.Barra hanya diam saja tanpa menjawab sama sekali.Bukannya Kiara yang kesal, tetapi justru Asih yang geram dengan pria itu."Barra, senyumnya mana? Kamu itu bisa senyum nggak, sih!" gerutu Asih.Kemudian dia pun menatap Kiara dengan p
"Jangan terlalu benci, takutnya nanti jadi berbalik jadi cinta," ujar Nia yang muncul tiba-tiba.Membuat Asih pun tersadar bahwa ada orang lain selain dirinya."Kamu udah lama di sini?""Nggak juga, tapi aku lihat waktu kamu terjatuh tadi dan Barra mengulurkan tangannya untuk membantu mu. Aku, peringatkan. Benci itu awalnya, sampai akhirnya nanti kamu akan merasa kosong sehari tidak melihat dia. Di sanalah cinta pun muncul," jelas Nia dengan panjang lebar."Ogah! Amit-amit jabang bayi!" Nia pun tersenyum kemudian dia pun memilih untuk pergi dengan begitu saja."Enak aja suka sama dia, enggak banget sih? Kecuali udah nggak ada manusia di dunia ini. Itu pun masih butuh banyak pertimbangan!"Kali ini Asih benar-benar masuk ke dalam kamarnya.Namun, saat itu dia pun kembali terkejut dengan kehadiran Barra."Kamu ngapain ke kamar, aku?" Asih kembali mengancing kemejanya, dia padahal ingin melepaskan dari tubuhnya.Kemudian mandi dan berganti dengan pakaian yang cukup ringan dan membuat tu
Dia tidak menyangka akan mendengar hal demikian dari mulut Tias.Sungguh keinginan Tias sangat berbeda dengan keinginan dirinya, ingin sekali Asih menangis kencang karena tidak kuasa untuk menolak keinginan Tias.Namun, dia juga punya kehidupan yang dia impikan hanya bersama kekasihnya, bagaimana jika sudah begini?Haruskah, harapan itu sirna dengan begitu saja? Tapi, Asih merasa tidak memiliki kecocokan dengan Barra, tidak ada sesuatu hal yang bisa membuatnya tertarik dari pria itu.Jadi, bagaimana?Sangat tidak bisa di putuskan dengan mudahnya."Biar, Bunda yang membatu untuk memasangkan.""Bunda, mohon maaf. Tapi, sepertinya ini sangat berlebihan," tolak Asih secara langsung, dia tidak bisa menerima benda tersebut.Tapi, seketika itu raut wajah Tias pun berubah. Tampak jelas kekecewaan yang dia rasakan.Membuat Asih pun jadi tidak enak hati."Tapi, ini harganya pasti sangat mahal, Bunda," tambah Asih lagi."Tidak masalah, ini adalah kalung milik, Bunda. Dulu, Barra yang membelikan
Tok tok tok.Lagi-lagi terdengar suara ketukan pintu.Pintu pun terbuka, ternyata kali ini Tias yang masuk."Asih, Bunda minta maaf. Karena, sempat berpikir kamu dan Barra sudah begitu sebelum menikah. Bunda, sangat merasa bersalah. Maafin, Bunda, ya. Bunda, harap kamu tidak benci sama, Bunda."Asih pun langsung saja bangkit dari tempat tidur, dia pun segera berdiri di depan Tias yang duduk di kursi roda.Dia tahu Tias barusan bukan membencinya, mungkin hanya sedikit kecewa jika tahu anaknya melakukan hal yang begitu jauh.Tapi, nyatanya semua itu tidak benar. Pastinya perasaan Tias jauh lebih baik."Tidak apa, Bunda. Asih cuman kelelahan aja, masuk angin, karena akhir-akhir ini makan nggak teratur.""Kamu, istirahat, ya. Nak, ini obat di berikan oleh Tias tadi pada, Bunda. Dia, sudah pergi menolong tetangga yang sepertinya akan melahirkan.""Dia bidan, ya. Bunda.""Iya, sekarang kamu berbaring di ranjang. Biar Barra yang membantu mu minum obat."Tias pun merasa lebih lega karena suda
"Barra."Barra hanya diam saja, dia tidak perduli sama sekali saat Asih terus saja memanggilnya.Karena, dia sedang tidak ingin berdebat. Itu yang biasanya terjadi jika sudah bersama dengan wanita tersebut."Barra, aku manggil kamu, lho!" Asih yang kesal pun menaikan nada bicaranya, agar Barra bisa menoleh padanya.Tapi justru Barra melihat ke arah jendela, melihat ke arah luar sana dengan begitu serius.Sedetik kemudian Barra pun melihat kamarnya.Seakan pria itu tengah memperhatikan sesuatu dan itu membuat Asih bingung."Kamu ngeliat apaan sih, kok sampai segitunya?" Lagi-lagi Barra tidak menjawab sama sekali, yang ada justru dia pun bergegas keluar dari kamar."Dia kenapa, ya? Aku kok, penasaran? Udah kayak, di kejar setan aja, dasar aneh."Asih pun melihat ke arah jendela, mengikuti apa yang barusan di lihat oleh Barra. Sehingga pria itu menjadi sangat aneh sekali.Kemudian dia melihat Tias yang tengah membakar banyak benda di sana.Tak lama kemudian Asih pun ikut menyusul Barra
Kemudian Asih pun memilih untuk segera masuk ke dalam kamar mandi.Dia pun memilih untuk membersihkan tubuhnya yang sangat tidak nyaman.Benar saja, setelah selesai mandi tubuh pun menjadi lebih segar.Dress milik Tias tampak pas di tubuhnya, apa lagi berat bada mereka hampir sama.Hanya saja Tias menyanggul rambutnya dan Asih membiarkan tergerai dengan begitu saja.Rambutnya yang hitam dan bergelombang itu memang tampak sangat indah sekali.Dia pun mengambil ponselnya, ternyata ada banyak panggilan di sana."Sandi?" Asih pun menghubungi Sandi kembali, tapi tidak satupun panggilannya yang mendapatkan jawaban.Kemudian Asih pun memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan.Belum juga ada balasan, bahkan di baca juga belum."Apa dia marah padaku? Tapi, semalam aku sakit."Kemudian Asih pun menghubungi Nilam, dia mengatakan pada Nilam untuk hari ini tidak bekerja saja.Karena Asih tidak ingin Nia curiga akan dirinya, dan kemana dia pergi, sedangkan Nilam sudah tahu jika dirinya yang sudah
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan