Kehidupan rumah tangga Erina dengan Tohir berjalan sangat bahagia. Meskipun sering ditinggal berlayar namun, Erina tipe wanita yang setia dan tidak neko-neko. Sehingga, hubungan mereka harmonis.
Ada yang mengganjal dalam hati Erina, akan hubungan Nadia dengan ibu kandungnya. Setahun lebih sudah berlalu sejak dirinya menjadi ibu sambung namun, Nadia belum juga mau bertemu dengan wanita yang telah melahirkannya.
Ibu Tohir yang juga mertuanya, selalu memberikan doktrin buruk akan sosok Anti. Menjadikan Nadia semakin hilang rasa.
"Kalau kamu dekat dengan Anti, maka, kamu akan dicap buruk, Nad. Mbah sudah berusaha untuk membuat kamu menjadi gadis yang disegani banyak orang. Jadi, jangan hancurkan usaha Mbah, ya? Tolong, Nad, Mbah sayang sama kamu. Mbah tidak ingin kamu terlihat buruk. Yang terbaik adalah menjauh," begitu selalu yang diucapkan Ibu Tohir.
Erina yang memiliki pemikiran berbeda tentu tidak setuju dengan hal ini. Akan tetapi, melawan bukanlah hal t
Suatu sore, istri Tohir butuh obat untuk ia beli di apotik. Dengan mengendarai motor sendiri, dirinya menuju tempat menjual obat yang tidak jauh dari rumahnya. "Mbak, beli salep untuk herpes," ucapnya pada pelayan yang memakai seragam. Sembari menunggu diambilkan, Erina berbalik badan, menatap jalan raya yang ramai. Sesosok perempuan dilihatnya turun dari motor, berjalan dengan agak pincang. Pakaian serba longgar dengan hijab besar menutup badan bagian atas. Ketika pandangan mereka beradu, keduanya sama-sama tertegun dan tidak ada satupun yang menyapa. "Mbak, ini salepnya." Suara pelayan apotek menyadarkan Erina dari keterpanaan melihat sosok Anti. Saat menunggu diambilkan kembalian, Anti sudah berdiri di sampingnya. Agak canggung untuk menyapa. Baik Erina maupun Anti, sama-sama segan untuk menyapa. Erina dengan ketakutannya sementara Anti diliputi rasa malu. "Mbak, beli apa?" tanya Erina basa-basi setelah mendapat kemb
"Mbak, jangan berbicara seperti itu! Aku akan berusaha membujuk Nadia agar mau bertemu dengan Mbak Anti," ujar Erina sembari memegang telapak tangan Anti.Kini, dirinya benar-benar tahu bahwa Anti telah berubah menjadi sosok yang lebih baik."Tidak usah, Rin! Itu hal yang sangat sulit. Kamu akan berdebat dengan banyak orang. Apa yang aku alami adalah buah dari perilakuku di masa lalu. Tidak sepantasnya kamu ikut menanggung ini. Terlebih, ini akan beresiko terhadap hubungan kamu dengan ibu Mas Tohir.""Tapi, Mbak! Bagaimanapun, Mbak Anti adalah wanita yang melahirkan Nadia. Darah lebih kental daripada air.""Bantu saja dengan doa. Agar ibu Mas Tohir luluh. Aku sangat paham sifat beliau. Bukan perkara mudah untuk dapat membuat ibu mertua kamu memaafkanku, Rin. Sudahlah, apa yang terjadi padaku itu sudah menjadi resiko. Anggap saja, balasan atas dosa-dosa yang aku lakukan di masa lalu."Karena hari sudah menjelang Maghrib, mereka berdua kemudian berpi
Hati Anti merasa sakit. Seperti tengah ditelanjangi di khalayak umum. Harga dirinya merasa terinjak-injak oleh kawanan laki-laki tanpa moral yang kini masih tertawa.Ada gemuruh dalam dada yang ingin ia tumpahkan melalui tangisan namun, dirinya sadar berada di tempat umum."Gak usah didengarkan, Mbak!" ucap penjual martabak yang merasa kasihan dengan Anti.Bohong bila Anti bisa berpura-pura tidak mendengar karena, suara bernada melecehkan itu sangat keras mereka katakan.Setelah membayar, Anti bergegas pergi. Sudut matanya sudah panas. Ia usap menggunakan satu telapak tangan yang tidak membawa plastik berisi makanan yang ia beli.Ada rasa sesal yang hadir.'Mengapa harus membeli makanan di tempat ini? Kenapa aku tidak langsung pulang saja tadi?' protes hatinya."Nangis itu, gara-gara Adi sih! Cepat sana tolongin!""Ih, ogah! Kamu aja. Gak level aku!"Suara bernada hinaan pada Anti masih saja mereka lontarkan. Membuat pen
Setelah pembicaraan malam itu, Nadia terlihat lebih pendiam. Seperti ada yang tengah ia pikirkan.Sebelum tidur, seringkali Nadia termenung di atas kasur. Memikirkan tentang permintaan dari wanita yang telah melahirkannya. Satu sisi ingin rasanya berlari dan menemui Anti. Tapi sisi yang lain, gadis remaja itu tidak ingin berdebat dengan neneknya.Di suatu malam, Nadia yang duduk diam menatap laci lemari yang tepat lurus dengan posisinya. Berkali-kali hasrat hati ingin membuka akan tetapi, pikirannya menolak. Akhirnya, dirinya memilih berbaring dengan harapan bisa terlelap.Namun, keinginannya untuk memejamkan mata, tak kunjung bisa terlaksana. Hatinya tetap berontak ingin membuka laci lemari.Dengan kasar, disingkapnya selimut yang menutup rapat tubuh. Dan segera turun dari ranjang, melangkah menuju tempat yang menarik hatinya sejak tadi.Perlahan, tangan putih Nadia menarik gagang laci dan terulur mengambil sebuah bingkai foto yang diletakkan deng
Terdengar helaan napas dari seorang lelaki tua yang duduk di kursi. "Bu, tidak ada salahnya bila Nadia ingin bertemu Anti. Bagaimanapun dia adalah ibu kandung Nadia. Jangan kami terus menerus memberikan pemahaman buruk tentang Anti. Siapa tahu memang, dia sudah berubah. Sudahlah, Bu. Semua sudah berlalu lama. Bila Nadia ingin bertemu ibunya, biarkan saja," ujar bapak Tohir lembut. "Pak! Bapak tidak ingat, bagaimana dulu Anti berbuat hal yang memalukan keluarga kita? Apa Bapak sudah lupa, Tohir menderita, Nadia juga harus pindah sekolah karena malu? Tidak semudah itu memberikan maaf untuk dia, Pak!" "Ya tapi kan, semua sudah berlalu. Belajarlah memaafkan, Bu," "Bapak kalau mau memaafkan silakan! Tidak dengan aku juga Nadia!" Selesai berkata demikian, wanita itu bangkit dan masuk ke rumah bagian belakang. Erina hanya menatap punggung mertua perempuannya dengan hati yang kecewa. * "Mama, apa benar, Ibu sudah berubah
Nadia langsung berlari ke kamarnya begitu sampai di halaman rumah. Kecewa, malu dan sedih bercampur menjadi satu.Wajahnya ia telungkupkan di atas bantal. Tangisnya terdengar sesenggukan. Hati gadis remaja itu tumbuh kembali kebencian yang sebelumnya telah sedikit hilang.Erina yang juga baru pulang dari mengajar merasa heran. Biasanya, anak tirinya selalu bersantai di depan televisi sembari memakan cemilan sepulang sekolah.Setelah meletakkan tas di dalam kamar, istri Tohir berjalan menuju kamar yang depan pintunya berhias tirai dari kerang."Nad!" panggil Erina saat dirinya melihat Nadia tengkurap sambil tergugu.Nadia bergeming. Membuat Erina semakin melangkah mendekat, hingga kini, duduk di samping tubuh yang masih memakai seragam sekolah.Nadia bangkit. Dengan sesenggukan diceritakannya kejadian tadi saat bertemu Anti. Erina seperti tidak percaya dengan apa yang dilihat Nadia."Barangkali, itu orang ya
"Nadia? Aku sangat menyayangi dia, Ras. Tapi, aku juga tidak menutut untuk dia mau mengakui aku ibunya. Aku wanita yang tidak layak disebut sebagai ibu. Biarlah, bila dengan kejadian tadi membuatnya semakin membenciku, aku ikhlas. Aku akan selalu mendoakan dalam diamku. Perasaan dia terhadap aku, itu urusan Allah.""Mbak, tapi Mbak kan tadi hanya korban mulut lelaki itu? Tidak adakah usaha untuk membuat Nadia tidak salah paham?""Sulit! Karena yang dia lihat tadi memang sangat memalukan. Sudahlah, jangan dipikirkan, Ras! Anggap saja sudah takdir aku seperti. Menjalani sisa hidup dengan penuh kesepian. Toh, ini juga akibat dari perbuatan aku sendiri di masa lalu," ujar Anti, dengan tersenyum lagi."Mbak! Jangan bilang gitu! Mbak Anti masih muda kok. Masih ada harapan untuk bisa menikah lagi. Aku yakin, masih ada jodoh buat Mbak Anti," ucap Rasti penuh semangat."Aku tidak berpikir ke sana, Ras! Siapa yang sudi menikahi aku yang sudah tidak sempurna, juga d
"Anti, lepaskan anakku! Jangan main-main sama aku!" ancam Agam terlihat emosi. Rahangnya mengeras."Aku tidak akan menyakitinya, Mas. Ijinkan aku memeluk. Aku hanya ingin memeluk saja. Sebentar, tolong ...." Lagi, Anti menghiba dengan tatapan memelas."Anti ...." Belum selesai Agam berkata, sebuah tangan halus menepuk bahunya."Biarkan, Mas! Lunakkan hatimu! Dia hanya memeluk anak kita saja. Kecuali bila mau membawanya, baru Mas boleh marah," ujar Laila sambil terus mengelus punggung Agam. Berharap Sang Suami dapat sedikit melunak hatinya."Hanya untuk lima menit!" tegas Agam gusar. Tubuhnya sedikit minggir, mencari ruang agar tidak berhadapan dengan wanita yang telah membuat kehilangan harga diri dan harapan di halaman sebuah rumah sakit.Telapak tangan Agam meremas mulutnya, mencoba menetralisir emosi yang menguasai jiwa.Bayangan Anti yang sama sekali tidak mengindahkan keberadaan dirinya dan Bilal kembali hadir setelah sekian lama lenyap