Dear Para Pembaca... Terima kasih atas dukungan kalian dengan terus melanjutkan membaca karya ini. Tetap dukung saya, ya.. ^,^
“Dad tidak akan melakukan itu,” jawab Elang datar. ‘Kenapa kau pikir aku tidak akan melakukannya? Hanya hal kecil untuk menyingkirkan perempuan itu, Einhard.’ “Karena Dad butuh pewaris untuk semua milik Dad. Dan saya adalah satu-satunya penerusmu yang eligible saat ini. So, Dad butuh dan tidak bisa kehilangan saya. Nicht wahr, Dad?” (Bukankah begitu, Dad?) ‘Kamu pikir saya tidak bisa mencari penggantimu?’ “Leider kannst du nicht, Dad.” (Sayangnya kamu tidak bisa, Dad) Elang menjawab tenang. “Kau selalu mengagungkan darah keluarga kita sebagai pemegang tampuk tertinggi. Kau tidak akan pernah biarkan Keluarga Mosley mengolok-olokmu dan memberikan mereka kesempatan untuk mengambil alih apa yang telah kau capai selama ini. Apa itu bisa dilakukan oleh orang lain yang tidak ada hubungan darah denganmu, Dad?” Suara di seberang telepon terdiam sesaat, sebelum akhirnya terbahak dalam tawa. ‘Kau sudah berani mengancamku? Ayahmu sendiri, Einhard? Anak pintar!’ serunya di sela tawa. Ridw
Pria yang dipanggil Elang itu menarik kursi di kanan Aliya lalu duduk dengan tenang. “Coba aku lihat pipimu, Al,” ujar Elang lalu memiringkan kepalanya sedikit melihat pipi kiri Aliya.Tangan kanan Elang terjulur ke arah pipi Aliya dengan menggenggam saputangan yang tampak sedikit basah. “Maaf. Tahan sebentar,” kata Elang lagi lalu menempelkan saputangan itu ke pipi kiri Aliya.“Ah!” Aliya meringis menahan rasa perih di pipinya. Saputangan itu menempel di pipi dan menghantarkan rasa dingin.Aliya melirik Elang dengan sudut matanya.Elang tampak fokus memperhatikan pipi Aliya yang tengah tertutup oleh saputangan di tangan Elang. Kelopak mata Elang tampak redup sementara kedua bola mata coklat gelap itu terlihat menatap lekat.Tak lama, Aliya dapat merasakan rasa dingin dari saputangan itu seolah menghantarkan rasa hangat yang nyaman dan meresap ke tiap pori-pori kulit di pipinya.Begitu
Elang menghela napas dengan kepala tetap menunduk. Bagaimana ia bisa mengungkapkan semuanya dengan benar-benar jujur, jika hanya akan membuat Aliya ketakutan seperti tadi?“Aku minta maaf, Al…”“Minta maaf untuk apa?” suara Aliya terdengar lebih stabil kali ini. Ia telah berhasil menetralisir rasa kaget dan tak percayanya atas pengakuan Elang sebelumnya.“Telah membuatmu kaget dan mungkin sedikit.. takut?”“Takut? Ahahaha… ti-tidak…” elak Aliya dengan melambaikan sebelah tangannya.Namun tatkala mendapati Elang yang menatap dirinya penuh arti, Aliya dengan gugup menyeruput es jeruknya kembali.“Kau mau minum es jeruk? Aku pesankan yah?” ujar Aliya menutup kegugupannya.Elang menggeleng. “Pipimu sudah tidak terasa sakit lagi, kan?” tanyanya.“Hem? Ini? Oh iya… sudah tidak perih lagi. Terima kasih. Tapi.. dari mana kau tahu p
“Papa di sini?” Aliya bertanya dengan kedua alis berkerut. Namun sosok di samping kanannya tidak menanggapi sama sekali.Aliya memindai dengan seksama sosok tersebut. Itu benar papanya.Seorang pria di usia awal lima puluhan, dengan garis rahang yang tegas dan jambang yang cukup tebal serta kumis dan janggut yang melingkari area bawah wajahnya. Alis tebal dan hidung mancung khas itu, memang milik papanya.Pandangan sosok yang Aliya kenali sebagai papanya itu tengah menatap lurus ke depan. Aliya pun lalu mengikuti arah pandangan papanya. Kali kedua, ia terhenyak.Di seberang mereka, telah duduk bersila seorang pria lainnya. Pria muda yang juga ia kenali dan sering menolongnya beberapa waktu ini.Elang.Fitur wajah sempurna miliknya terpampang jelas di pandangan Aliya. Ia duduk bersila dengan tenang. Setelan koko putih membalut tubuh tegap dan atletisnya begitu pas dan menawan dilihat.Hidung mancung di atas bibir tipis yang
* * *Aliya meraup air langsung dari bak dan membasuh mukanya berkali-kali. Berkali-kali pula Aliya merutuki dirinya dengan bergumam kesal.“Apa-apaan!” Tangannya kembali meraup air dalam bak. Wajahnya tampak memerah.“Apa bener kata Milah, aku ini kesepian? Iyaaa aku memang biasa sendiri. Memang kadang merasa kesepian, tapi ngga gitu juga sampe harus mimpi nikah sama cowok lain!!” Aliya bermonolog.“Mana cowok itu Elang, lagi! Aaaah!” Kedua telapak tangan Aliya bertumpu pada tepian bak. Ia bangun dari tidurnya tadi dan sempat tertegun bingung di atas ranjang miliknya beberapa saat. Begitu tersadar, ia buru-buru berlari ke kamar mandi dan membasuh mukanya.Tak pernah terpikirkan ia akan mimpi menikah dengan Elang.Apakah segitu parahnya tingkat kesepian Aliya, sampai berfantasi di bawah sadarnya, lalu mewujud menjadi sebuah mimpi, bahwa ia menjadi istri Elang?Dan kenapa harus Elang?‘Ya. Kenapa harus Elang?’ bisik Aliya dalam hati. Ia menarik napas dan menghembus lambat. Kakinya mela
Saat ini Aliya dan Bisma duduk berhadapan. Tamu Bisma tadi, telah berpamitan dan keluar dari rumah kontrakan mereka, lima belas menit lalu. “Aku sudah mengatakan pada bapak dan ibu, bahwa aku ingin pisah darimu,” Aliya pertama membuka suara dan memecah keheningan antara mereka berdua. Di luar dugaan Aliya, Bisma tampak tenang dan tak terpengaruh oleh perkataan Aliya itu. Ia menyeruput sisa kopi yang dibuatkan Aliya saat masih ada Rudianto tadi. “Lalu? Apa itu mempengaruhi atau merubah sesuatu? Tidak kan?” seringai Bisma. “Mereka tentu saja lebih mengikuti keinginanku dan mempercayaiku dari pada kamu, Aliya.” Aliya diam tak menjawab. Ia hanya menatap menahan geram pada Bisma di depannya. “Kamu segitu kesalnya karena belum aku sentuh, heh?” kalimat tanya itu terlontar datar dari Bisma. “Kita bisa melakukannya sekarang,” imbuhnya lagi. Aliya membulatkan kedua matanya. “Kau mabuk atau memang tidak paham, a? Kau telah menjatuhkan talak terhadapku!” “Kau mau kita rujuk?” Bisma menyeri
Suara panggilan masuk itu dijawab Elang pada deringan ketiga di sore hari itu. “Dad,” Elang menyapa dengan suara rendah. ‘Jadi, bagaimana keputusanmu, Son? Apa kau sudah memiliki penawaran menarik untuk ayahmu ini?’ Suara kekehan ringan terdengar. Elang menarik napas sepersekian detik. “Dad, saya akan ke Jerman dan mulai mendalami semua lini bisnis-mu. Tapi..” ‘Tapi?’ “Saya perlu satu minggu to settle every thing down di sini, Dad. Tanpa interfere dari Dad. Not even single thing. Bagaimana, Dad?” ‘Dua hari.’ Elang bergeming tanpa perubahan ekspresi di wajahnya. “Lima hari.” ‘Tiga hari. Tidak lebih. Atau ayah lebih suka bermain-main sebentar dengan mainanmu itu.’ “Fine. Tiga hari. Stay away from all of my businesses dan saya akan ada di Dusseldorf tiga hari setelah besok,” tandas Elang datar dan tegas. ‘Ok, deal. Silahkan selesaikan urusanmu. Ayah tunggu kamu di sini dalam tiga hari, Einhard.’ Sambungan telepon terputus. Elang menghempaskan dirinya di atas sofa dengan mata t
Malam sebelumnya. Ruang hampa dan hitam pekat. Aliya termangu. Bibirnya yang terkatup kemudian bergerak dan menggumamkan beberapa kalimat. “Mimpi aneh lagi.. Ruang ini lagi…” Ia berdiri dengan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang itu. Meski ia tahu, apa yang dilihatnya akan sama saja, namun matanya tetap memindai sekelilingnya. Entahlah. Mungkin ia hanya ingin memastikan, bahwa ruang itu adalah ruang yang sama atau mungkin ia hanya waspada, terhadap lubang aneh yang mungkin bisa membawa dirinya ke tempat yang berbahaya itu lagi. Aliya melangkahkan kakinya ke sembarang arah. Dan seperti yang ia sempat pikirkan sebelumnya, terdapat lubang aneh itu lagi di kejauhan sana. Namun kali ini lubang itu tidak memendarkan warna oranye. Warna yang terpancar dari dalam lubang itu adalah kuning kemerahan. Meski hampir mirip dengan warna lubang sebelumnya, namun hati Aliya yakin bahwa lubang tersebut berbeda dari lubang yang pernah hampir mencelakai dirinya. Meski ia memperingatk