Hai.... Petualangan dan hubungan Aliya dan Elang akan terus berlanjut dan semakin mendalam. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian pada komentar ya... Thank youu... ^,^
“Miss…” Suara Eka memanggil.“Miss Aliya…” Suara Eka lagi. Namun pemilik nama yang dipanggil masih mematung dengan tatapan menerawang entah ke mana.Dion yang duduk di sebelah Eka beringsut menarik kursi nya hingga mendekat ke Aliya. Tangan kanannya ia lambaikan depan muka Aliya. Namun si empunya muka, masih bergeming dengan dagu ditopang kedua tangannya yang terlipat.“Wah gawat. Melamun tingkat akut,” Dion menggeleng-gelengkan kepalanya.“Miss!” seru Dion sedikit kencang sambil menepuk bahu Aliya hingga tersentak.“Ah.. I-iya,” Aliya tergagap kaget. Lalu menolehkan kepala ke arah Dion. “Kenapa Yon?”“Waduh… bener-bener gawat ini.. Miss Aliya are you okay?” tanya Dion dengan nada khawatir.“I’m alright. I’m okay…” jawab Aliya pelan.“Miss Aliya mukanya memerah. Miss ngga lagi demam kan?&
Sebuah kamar yang cukup luas di sebuah villa entah di mana.Aliya yang terikat di atas kursi kayu merasakan sekujur tubuhnya yang lemas dan hampir tak bisa menggerakkan seujung jari pun. Ia juga merasakan hawa panas di dalam dirinya. Matanya terpejam, namun ia berusaha menjaga kesadarannya.Dirinya telah dipaksa minum cairan aneh. Dan cairan itu telah membuat tubuhnya terasa tak nyaman dan sangat ingin disentuh. Lagi. Aliya berusaha menahan dirinya dan menjaga kesadarannya.Betapa sulit.“Bisma memang teman saya,” suara pria itu terngiang. “Lebih tepatnya, teman bisnis. Kesepakatan antara kami berdua adalah dirimu, Nona Aliya.”‘Aku…. dijual Bisma. Pada Rudianto…’ bisik Aliya dalam pikirannya. Ya. Aliya telah diculik oleh orang-orang suruhan Rudianto yang membawanya ke tempat asing ini.Matanya terasa begitu berat, namun suara gaduh membuatnya membuka mata sekejap. Sekelebat bayangan pria bertubuh jangkung dan atletis tampak menendang Rudianto lalu menangkis pukulan pengawalnya.‘Ah…
“Gimana kondisi Teh Aliya, Gan?” Ridwan bertanya dengan nada khawatir sambil melirik ke kamar tempat Aliya dibaringkan oleh Elang. Mereka berada di salah satu villa di daerah Cisarua Bogor, tak jauh dari villa tempat Rudianto menyekap Aliya sebelumnya. Elang tidak membawa Aliya langsung kembali ke rumahnya dan menunggu Aliya tersadar lebih dahulu. “Apa tidak perlu kita bawa ke Rumah Sakit?” tanyanya lagi. “Tidak perlu,” tukas Elang. “Aliya sempat diberi obat, tapi sudah dinetralisir.” “Olehmu sendiri, Gan?” Elang mengangguk, lalu menarik kursi di ruang makan dan menghempaskan bobotnya ke kursi itu. “Oh,” respon Ridwan. Ia tidak lagi penasaran atau ingin bertanya ‘bagaimana kau melakukannya?’, karena ia tahu jawabannya akan masuk dalam jajaran alasan ‘tidak ilmiah dan tidak logis’ yang baru-baru ini menjadi kosakata baru di hidup Ridwan. Ia lalu ikut menarik kursi di sebelah Elang dan duduk di samping kirinya. Ridwan membiarkan mulutnya terkunci, karena melihat tuan muda di dep
Aliya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia bangun terduduk dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Mendapati dirinya berada di lingkungan dan kamar yang asing, dadanya berdebar cepat. Samar namun menjadi kian jelas dan pasti, ia teringat bahwa dirinya dibawa paksa masuk ke dalam mobil hitam. Ia sempat tak sadarkan diri dan ketika matanya terbuka, ia telah diseret paksa dua pria bertubuh tinggi besar, masuk ke dalam sebuah kamar. Ia didudukkan di sebuah kursi kayu dan diikat. Lalu laki-laki tambun itu, laki-laki bernama Rudianto itu, laki-laki yang dikenalkan Bisma padanya… Aliya bangun dan turun dari tempat tidur itu dengan panik. Telinganya lamat-lamat mendengar langkah kaki menuju pintu kamar. Aliya menahan napasnya. Pintu terbuka dan hembusan napas panjang penuh kelegaan terdengar dari Aliya. “Maaf jika membuatmu takut,” suara dalam itu diucapkan lembut, membuat hati Aliya seketika tenang. “Elang, ini di mana? Aku… sebelumnya ada di tempat…” Suara Aliya tercekat. Tubuhnya be
Elang memandang cukup lama pada Aliya. “A-apa ada yang salah? Atau di wajahku ada kotoran?” Aliya bertanya gugup. Ia langsung meletakkan gelas di tangannya ke atas nakas, lalu meraba-raba wajahnya. “Tidak ada yang salah dengan wajahmu,” jawab Elang. ‘Kau hanya sangat cantik,’ imbuh Elang dalam hati. “Lalu mengapa kau melihatku seperti itu?” Elang menarik napas. “Bukan apa-apa. Hanya berpikir, apakah kau akan marah jika aku menempatkan pengawal di sekitarmu?” “Pengawal?” Kedua alis Aliya melangit. “Ti-tidak usah. Jangan. Aku bukan orang penting. Tidak perlu melakukan hal sejauh itu, Elang.” ‘Tapi kau penting bagiku.’ “Jadi kau tahu aku dalam bahaya karena menempatkan pengawal yang mengikutiku?” sambung Aliya. “Not really. Itu baru niatku dan itu pun jika kau tak keberatan.” “Lalu, emm.. bagaimana…” “Aku tahu?” Elang menjeda kalimatnya. “Biarkan aku sedikit mengingatkanmu. Aku memiliki intuisi cukup tajam jika tentangmu. Ingat tentang jas hujan dan kalungmu waktu itu?” tanya
Bangunan megah yang berdiri sangat gagah itu terlihat, begitu pagar tinggi terbuka. Meskipun bangunan tersebut tidak sebesar yang dilihat Aliya di Dramaga, namun tetap saja pemandangan yang tampak oleh kedua matanya secara langsung itu, mampu mengintimadasi dirinya. Aliya menelan ludah dan sedikit meremas ujung blus bermotif bunga yang ia kenakan hari itu. “Kalem Teh, di rumah cuma ada Einhard dan yang bantu-bantu rumah aja. Tidak ada orang-orang menyeramkan,” canda Ridwan yang mengetahui kegugupan Aliya di sampingnya. “Tapi serius, ini ada apa tumben-tumbenan kalian ajak makan siang bareng gini? Sampe jauh-jauh ke BSD segala,” Aliya berkata lalu sedikit mendesah resah. “Kan kalau di Dramaga, Teh Aliya justru canggung karena ada mamanya Einhard di sana kan?” goda Ridwan lagi. Aliya terdiam. Namun dalam hati, ia membenarkan perkataan Ridwan. Di rumah besar itu, bukan, di kediaman yang seperti mansion itu, ia merasa lebih kikuk lagi. Mereka berdua lalu berhenti di depan teras dan R
Elang menatap lurus ke jalan dari balik lingkaran kemudi yang ia pegang dengan satu tangan. Sesekali ia melirik Aliya yang duduk di samping dan tengah memperhatikan jalan.“Kau akan pergi jauh kemana? Berapa lama?”Terngiang kalimat Aliya yang meski diucapkan pelan, nada kaget dan sedih tersalur jelas dalam tiap katanya. Tapi itu bukan satu-satunya yang membuat Elang kini berpikir keras.Telah terkonfirmasi olehnya, bahwa ternyata Aliya juga bisa mendengar pikirannya. Karena itu, sebisa mungkin Elang mengosongkan pikirannya agar tidak terdengar oleh Aliya.“Kita dengarkan sesuatu dari radio ya? Biar tidak membosankan,” tukas Elang memecah keheningan dalam mobil itu. Melihat Aliya mengangguk kecil, ia pun menekan satu hingga dua tombol sampai terdengar lantunan musik sebuah intro lagu yang cukup dikenal.Lagu You’re still the one yang dinyanyikan Shania Twain mengalun lembut.Aliya membenahi posisi duduknya dan sedikit berdehem membersihkan kerongkongannya.“Kau haus?” tanya Elang.“Ti
Tak melihat Elang akan menjawabnya, Ridwan menghela napas berat. Ia paham betul bagaimana ini akan menjadi berat bagi keduanya.Memang terlalu dini jika mengatakan bahwa Aliya telah jatuh hati pada Elang. Baik Elang dan Aliya meski mereka baru bertemu sesaat, namun Ridwan dapat melihat mereka berdua yang seakan ditakdirkan bersama dan saling melengkapi.Belum lagi kenyataan bahwa Elang telah memimpikan Aliya sejak usianya di empat belas tahun. Di mana semua anak lelaki yang memasuki masa pubertasnya mengalami mimpi ‘basah’, Elang hanya bermimpi bertemu Aliya.‘Mereka mungkin saja berjodoh.’Ridwan mengangkat kepalanya lalu mendapati Elang yang tengah memegang ponsel miliknya dan ditempelkan di telinga kanannya. Rupanya beberapa saat tadi saat Ridwan tenggelam dalam pikirannya sendiri, Elang telah melakukan panggilan telepon pada seseorang.“Apa kau juga percaya jika saya katakan bahwa saya bisa mendengar pikir