“Miss…” Suara Eka memanggil.
“Miss Aliya…” Suara Eka lagi. Namun pemilik nama yang dipanggil masih mematung dengan tatapan menerawang entah ke mana.
Dion yang duduk di sebelah Eka beringsut menarik kursi nya hingga mendekat ke Aliya. Tangan kanannya ia lambaikan depan muka Aliya. Namun si empunya muka, masih bergeming dengan dagu ditopang kedua tangannya yang terlipat.
“Wah gawat. Melamun tingkat akut,” Dion menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Miss!” seru Dion sedikit kencang sambil menepuk bahu Aliya hingga tersentak.
“Ah.. I-iya,” Aliya tergagap kaget. Lalu menolehkan kepala ke arah Dion. “Kenapa Yon?”
“Waduh… bener-bener gawat ini.. Miss Aliya are you okay?” tanya Dion dengan nada khawatir.
“I’m alright. I’m okay…” jawab Aliya pelan.
“Miss Aliya mukanya memerah. Miss ngga lagi demam kan?&
Sebuah kamar yang cukup luas di sebuah villa entah di mana.Aliya yang terikat di atas kursi kayu merasakan sekujur tubuhnya yang lemas dan hampir tak bisa menggerakkan seujung jari pun. Ia juga merasakan hawa panas di dalam dirinya. Matanya terpejam, namun ia berusaha menjaga kesadarannya.Dirinya telah dipaksa minum cairan aneh. Dan cairan itu telah membuat tubuhnya terasa tak nyaman dan sangat ingin disentuh. Lagi. Aliya berusaha menahan dirinya dan menjaga kesadarannya.Betapa sulit.“Bisma memang teman saya,” suara pria itu terngiang. “Lebih tepatnya, teman bisnis. Kesepakatan antara kami berdua adalah dirimu, Nona Aliya.”‘Aku…. dijual Bisma. Pada Rudianto…’ bisik Aliya dalam pikirannya. Ya. Aliya telah diculik oleh orang-orang suruhan Rudianto yang membawanya ke tempat asing ini.Matanya terasa begitu berat, namun suara gaduh membuatnya membuka mata sekejap. Sekelebat bayangan pria bertubuh jangkung dan atletis tampak menendang Rudianto lalu menangkis pukulan pengawalnya.‘Ah…
“Gimana kondisi Teh Aliya, Gan?” Ridwan bertanya dengan nada khawatir sambil melirik ke kamar tempat Aliya dibaringkan oleh Elang. Mereka berada di salah satu villa di daerah Cisarua Bogor, tak jauh dari villa tempat Rudianto menyekap Aliya sebelumnya. Elang tidak membawa Aliya langsung kembali ke rumahnya dan menunggu Aliya tersadar lebih dahulu. “Apa tidak perlu kita bawa ke Rumah Sakit?” tanyanya lagi. “Tidak perlu,” tukas Elang. “Aliya sempat diberi obat, tapi sudah dinetralisir.” “Olehmu sendiri, Gan?” Elang mengangguk, lalu menarik kursi di ruang makan dan menghempaskan bobotnya ke kursi itu. “Oh,” respon Ridwan. Ia tidak lagi penasaran atau ingin bertanya ‘bagaimana kau melakukannya?’, karena ia tahu jawabannya akan masuk dalam jajaran alasan ‘tidak ilmiah dan tidak logis’ yang baru-baru ini menjadi kosakata baru di hidup Ridwan. Ia lalu ikut menarik kursi di sebelah Elang dan duduk di samping kirinya. Ridwan membiarkan mulutnya terkunci, karena melihat tuan muda di dep
Aliya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia bangun terduduk dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Mendapati dirinya berada di lingkungan dan kamar yang asing, dadanya berdebar cepat. Samar namun menjadi kian jelas dan pasti, ia teringat bahwa dirinya dibawa paksa masuk ke dalam mobil hitam. Ia sempat tak sadarkan diri dan ketika matanya terbuka, ia telah diseret paksa dua pria bertubuh tinggi besar, masuk ke dalam sebuah kamar. Ia didudukkan di sebuah kursi kayu dan diikat. Lalu laki-laki tambun itu, laki-laki bernama Rudianto itu, laki-laki yang dikenalkan Bisma padanya… Aliya bangun dan turun dari tempat tidur itu dengan panik. Telinganya lamat-lamat mendengar langkah kaki menuju pintu kamar. Aliya menahan napasnya. Pintu terbuka dan hembusan napas panjang penuh kelegaan terdengar dari Aliya. “Maaf jika membuatmu takut,” suara dalam itu diucapkan lembut, membuat hati Aliya seketika tenang. “Elang, ini di mana? Aku… sebelumnya ada di tempat…” Suara Aliya tercekat. Tubuhnya be
Elang memandang cukup lama pada Aliya. “A-apa ada yang salah? Atau di wajahku ada kotoran?” Aliya bertanya gugup. Ia langsung meletakkan gelas di tangannya ke atas nakas, lalu meraba-raba wajahnya. “Tidak ada yang salah dengan wajahmu,” jawab Elang. ‘Kau hanya sangat cantik,’ imbuh Elang dalam hati. “Lalu mengapa kau melihatku seperti itu?” Elang menarik napas. “Bukan apa-apa. Hanya berpikir, apakah kau akan marah jika aku menempatkan pengawal di sekitarmu?” “Pengawal?” Kedua alis Aliya melangit. “Ti-tidak usah. Jangan. Aku bukan orang penting. Tidak perlu melakukan hal sejauh itu, Elang.” ‘Tapi kau penting bagiku.’ “Jadi kau tahu aku dalam bahaya karena menempatkan pengawal yang mengikutiku?” sambung Aliya. “Not really. Itu baru niatku dan itu pun jika kau tak keberatan.” “Lalu, emm.. bagaimana…” “Aku tahu?” Elang menjeda kalimatnya. “Biarkan aku sedikit mengingatkanmu. Aku memiliki intuisi cukup tajam jika tentangmu. Ingat tentang jas hujan dan kalungmu waktu itu?” tanya
Bangunan megah yang berdiri sangat gagah itu terlihat, begitu pagar tinggi terbuka. Meskipun bangunan tersebut tidak sebesar yang dilihat Aliya di Dramaga, namun tetap saja pemandangan yang tampak oleh kedua matanya secara langsung itu, mampu mengintimadasi dirinya. Aliya menelan ludah dan sedikit meremas ujung blus bermotif bunga yang ia kenakan hari itu. “Kalem Teh, di rumah cuma ada Einhard dan yang bantu-bantu rumah aja. Tidak ada orang-orang menyeramkan,” canda Ridwan yang mengetahui kegugupan Aliya di sampingnya. “Tapi serius, ini ada apa tumben-tumbenan kalian ajak makan siang bareng gini? Sampe jauh-jauh ke BSD segala,” Aliya berkata lalu sedikit mendesah resah. “Kan kalau di Dramaga, Teh Aliya justru canggung karena ada mamanya Einhard di sana kan?” goda Ridwan lagi. Aliya terdiam. Namun dalam hati, ia membenarkan perkataan Ridwan. Di rumah besar itu, bukan, di kediaman yang seperti mansion itu, ia merasa lebih kikuk lagi. Mereka berdua lalu berhenti di depan teras dan R
Elang menatap lurus ke jalan dari balik lingkaran kemudi yang ia pegang dengan satu tangan. Sesekali ia melirik Aliya yang duduk di samping dan tengah memperhatikan jalan.“Kau akan pergi jauh kemana? Berapa lama?”Terngiang kalimat Aliya yang meski diucapkan pelan, nada kaget dan sedih tersalur jelas dalam tiap katanya. Tapi itu bukan satu-satunya yang membuat Elang kini berpikir keras.Telah terkonfirmasi olehnya, bahwa ternyata Aliya juga bisa mendengar pikirannya. Karena itu, sebisa mungkin Elang mengosongkan pikirannya agar tidak terdengar oleh Aliya.“Kita dengarkan sesuatu dari radio ya? Biar tidak membosankan,” tukas Elang memecah keheningan dalam mobil itu. Melihat Aliya mengangguk kecil, ia pun menekan satu hingga dua tombol sampai terdengar lantunan musik sebuah intro lagu yang cukup dikenal.Lagu You’re still the one yang dinyanyikan Shania Twain mengalun lembut.Aliya membenahi posisi duduknya dan sedikit berdehem membersihkan kerongkongannya.“Kau haus?” tanya Elang.“Ti
Tak melihat Elang akan menjawabnya, Ridwan menghela napas berat. Ia paham betul bagaimana ini akan menjadi berat bagi keduanya.Memang terlalu dini jika mengatakan bahwa Aliya telah jatuh hati pada Elang. Baik Elang dan Aliya meski mereka baru bertemu sesaat, namun Ridwan dapat melihat mereka berdua yang seakan ditakdirkan bersama dan saling melengkapi.Belum lagi kenyataan bahwa Elang telah memimpikan Aliya sejak usianya di empat belas tahun. Di mana semua anak lelaki yang memasuki masa pubertasnya mengalami mimpi ‘basah’, Elang hanya bermimpi bertemu Aliya.‘Mereka mungkin saja berjodoh.’Ridwan mengangkat kepalanya lalu mendapati Elang yang tengah memegang ponsel miliknya dan ditempelkan di telinga kanannya. Rupanya beberapa saat tadi saat Ridwan tenggelam dalam pikirannya sendiri, Elang telah melakukan panggilan telepon pada seseorang.“Apa kau juga percaya jika saya katakan bahwa saya bisa mendengar pikir
Nuansa coklat tua menyambut di hadapanAliya. Dinding abu muda dengan paduan putih menjadi latar kitchen setcoklat itu.Pantri.Ya, Aliyaberada di pantry, dekat dengan ruang makan.Desain yang sederhana untuk pantri berukuran luas ini. Tempat penyimpan bahan makanan kering dan kemasan ditempatkan di lemari bagian atas.Sementaraperalatan dan perabotan memasak disimpan di lemari dan laci bagian bawah. Sudut dinding pantri dibuat rak untuk menempatkan toples makanan kering.Rak yang bersusun empat dengan ambalan dari kaca setebal 10 mm. Satu buah lampu halogen sebagai penerangan, menambah cantik tampilan pantri ini secara keseluruhan.Meja kerja dari bahan granit dan tepat di bawah lemari penyimpanan atas, terbentang jendela datar dan memanjang.Aliyabisa melihat dengan leluasa taman cantik Zen garden,yang merupakan salah satu konsep taman yang konon sering diterapkan di Asia
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj