Aliya mengerjapkan mata beberapa kali. Ia bangun terduduk dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Mendapati dirinya berada di lingkungan dan kamar yang asing, dadanya berdebar cepat. Samar namun menjadi kian jelas dan pasti, ia teringat bahwa dirinya dibawa paksa masuk ke dalam mobil hitam. Ia sempat tak sadarkan diri dan ketika matanya terbuka, ia telah diseret paksa dua pria bertubuh tinggi besar, masuk ke dalam sebuah kamar. Ia didudukkan di sebuah kursi kayu dan diikat. Lalu laki-laki tambun itu, laki-laki bernama Rudianto itu, laki-laki yang dikenalkan Bisma padanya… Aliya bangun dan turun dari tempat tidur itu dengan panik. Telinganya lamat-lamat mendengar langkah kaki menuju pintu kamar. Aliya menahan napasnya. Pintu terbuka dan hembusan napas panjang penuh kelegaan terdengar dari Aliya. “Maaf jika membuatmu takut,” suara dalam itu diucapkan lembut, membuat hati Aliya seketika tenang. “Elang, ini di mana? Aku… sebelumnya ada di tempat…” Suara Aliya tercekat. Tubuhnya be
Elang memandang cukup lama pada Aliya. “A-apa ada yang salah? Atau di wajahku ada kotoran?” Aliya bertanya gugup. Ia langsung meletakkan gelas di tangannya ke atas nakas, lalu meraba-raba wajahnya. “Tidak ada yang salah dengan wajahmu,” jawab Elang. ‘Kau hanya sangat cantik,’ imbuh Elang dalam hati. “Lalu mengapa kau melihatku seperti itu?” Elang menarik napas. “Bukan apa-apa. Hanya berpikir, apakah kau akan marah jika aku menempatkan pengawal di sekitarmu?” “Pengawal?” Kedua alis Aliya melangit. “Ti-tidak usah. Jangan. Aku bukan orang penting. Tidak perlu melakukan hal sejauh itu, Elang.” ‘Tapi kau penting bagiku.’ “Jadi kau tahu aku dalam bahaya karena menempatkan pengawal yang mengikutiku?” sambung Aliya. “Not really. Itu baru niatku dan itu pun jika kau tak keberatan.” “Lalu, emm.. bagaimana…” “Aku tahu?” Elang menjeda kalimatnya. “Biarkan aku sedikit mengingatkanmu. Aku memiliki intuisi cukup tajam jika tentangmu. Ingat tentang jas hujan dan kalungmu waktu itu?” tanya
Bangunan megah yang berdiri sangat gagah itu terlihat, begitu pagar tinggi terbuka. Meskipun bangunan tersebut tidak sebesar yang dilihat Aliya di Dramaga, namun tetap saja pemandangan yang tampak oleh kedua matanya secara langsung itu, mampu mengintimadasi dirinya. Aliya menelan ludah dan sedikit meremas ujung blus bermotif bunga yang ia kenakan hari itu. “Kalem Teh, di rumah cuma ada Einhard dan yang bantu-bantu rumah aja. Tidak ada orang-orang menyeramkan,” canda Ridwan yang mengetahui kegugupan Aliya di sampingnya. “Tapi serius, ini ada apa tumben-tumbenan kalian ajak makan siang bareng gini? Sampe jauh-jauh ke BSD segala,” Aliya berkata lalu sedikit mendesah resah. “Kan kalau di Dramaga, Teh Aliya justru canggung karena ada mamanya Einhard di sana kan?” goda Ridwan lagi. Aliya terdiam. Namun dalam hati, ia membenarkan perkataan Ridwan. Di rumah besar itu, bukan, di kediaman yang seperti mansion itu, ia merasa lebih kikuk lagi. Mereka berdua lalu berhenti di depan teras dan R
Elang menatap lurus ke jalan dari balik lingkaran kemudi yang ia pegang dengan satu tangan. Sesekali ia melirik Aliya yang duduk di samping dan tengah memperhatikan jalan.“Kau akan pergi jauh kemana? Berapa lama?”Terngiang kalimat Aliya yang meski diucapkan pelan, nada kaget dan sedih tersalur jelas dalam tiap katanya. Tapi itu bukan satu-satunya yang membuat Elang kini berpikir keras.Telah terkonfirmasi olehnya, bahwa ternyata Aliya juga bisa mendengar pikirannya. Karena itu, sebisa mungkin Elang mengosongkan pikirannya agar tidak terdengar oleh Aliya.“Kita dengarkan sesuatu dari radio ya? Biar tidak membosankan,” tukas Elang memecah keheningan dalam mobil itu. Melihat Aliya mengangguk kecil, ia pun menekan satu hingga dua tombol sampai terdengar lantunan musik sebuah intro lagu yang cukup dikenal.Lagu You’re still the one yang dinyanyikan Shania Twain mengalun lembut.Aliya membenahi posisi duduknya dan sedikit berdehem membersihkan kerongkongannya.“Kau haus?” tanya Elang.“Ti
Tak melihat Elang akan menjawabnya, Ridwan menghela napas berat. Ia paham betul bagaimana ini akan menjadi berat bagi keduanya.Memang terlalu dini jika mengatakan bahwa Aliya telah jatuh hati pada Elang. Baik Elang dan Aliya meski mereka baru bertemu sesaat, namun Ridwan dapat melihat mereka berdua yang seakan ditakdirkan bersama dan saling melengkapi.Belum lagi kenyataan bahwa Elang telah memimpikan Aliya sejak usianya di empat belas tahun. Di mana semua anak lelaki yang memasuki masa pubertasnya mengalami mimpi ‘basah’, Elang hanya bermimpi bertemu Aliya.‘Mereka mungkin saja berjodoh.’Ridwan mengangkat kepalanya lalu mendapati Elang yang tengah memegang ponsel miliknya dan ditempelkan di telinga kanannya. Rupanya beberapa saat tadi saat Ridwan tenggelam dalam pikirannya sendiri, Elang telah melakukan panggilan telepon pada seseorang.“Apa kau juga percaya jika saya katakan bahwa saya bisa mendengar pikir
Nuansa coklat tua menyambut di hadapanAliya. Dinding abu muda dengan paduan putih menjadi latar kitchen setcoklat itu.Pantri.Ya, Aliyaberada di pantry, dekat dengan ruang makan.Desain yang sederhana untuk pantri berukuran luas ini. Tempat penyimpan bahan makanan kering dan kemasan ditempatkan di lemari bagian atas.Sementaraperalatan dan perabotan memasak disimpan di lemari dan laci bagian bawah. Sudut dinding pantri dibuat rak untuk menempatkan toples makanan kering.Rak yang bersusun empat dengan ambalan dari kaca setebal 10 mm. Satu buah lampu halogen sebagai penerangan, menambah cantik tampilan pantri ini secara keseluruhan.Meja kerja dari bahan granit dan tepat di bawah lemari penyimpanan atas, terbentang jendela datar dan memanjang.Aliyabisa melihat dengan leluasa taman cantik Zen garden,yang merupakan salah satu konsep taman yang konon sering diterapkan di Asia
DadaAliyaserasa berhenti berdetak. Matanya kinimelihat seraut wajah dengan rahang tegas, kini menghadapdirinyajuga.Alis cukup tebal menaungi kedua mata jernihnyayang bermanik coklat tua. Hidung mancung, terpahat serasi diatas bibir tipis yang terbentuk indah.Sedikit jambang tebal di sisi kanan kiri telinganya, mempertegas garis aristokrat pria itu.Dan entah mengapa, bisa Aliya pastikan, jika pria itu tersenyum akan tampak segaris lesung di pipi kirinya.Mahakarya Tuhan.Dan Aliyadi hadapannya begitu dekat. Amazing.Charming.Belasan kata pujian melintas cepat dalam benakAliya. Tapi bukan karena itu ia merasacemas.Melihatnya, berada di dekatnya, terasa damaidan familiar. Tapiiasungguh tidak mengerti, mengapa justru setelah melihat raut wajah pria itu, dadanyaterasa sesak.Rasa perih menjalar seperti me
“Miss, punya overview Intermediate dua?” Aliyabertanya pada Nilam yang tengah asyik menggunting potongan gambar.“Perasaan kemarin Miss dah minta deh,” jawab Nilamtapi sambil mencari yang tadi diminta Aliya. “Dimana ya..”“Ada ga?”“Bentar,” sahut Nilam. Ia lalu menepuk jidatnya, “wah lupa aku! Overview sih aku simpan di rumah semua, Miss.”Aliyatersenyum kecil. “Dasar ya, kalo udah ibu-ibu, memang bawaannya lupa melulu.”“Ih, Miss Aliyasendiri? Baru juga kemarin di kopiin, kok sudah menghilang? Wah, curiga di pake ngelap meja nih,” gerutuNilam bercanda.“Tau nih. Aku simpan dimana ya? Perasaan di laci ini, tapi kok gak ada.” Aliyalalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Sebenernya banyak juga nih, yang pada ngilang… Haduh, aneh sekali!”“Apa nih yang aneh?” s