Hai hai... Terima kasih sudah setia mengikuti terus perjalanan Aliya. Terima kasih juga untuk dukungan kalian yang tanpa henti yang bikin semangat ini gak mati-mati.. ^,^ Luv u all! ❤️❤️❤️
Namun pemilik mata dengan tatapan sinis itu tidak mengatakan apa-apa. Ia berdiri dari duduknya, mengambil peralatan mengajar dan dengan angkuh berjalan keluar.“Miss, tunggu. Ini belum waktu kelas. Mau kemana? Aku ikut,” cetus Titha.“Ke kantin dulu. Nanti langsung ke kelas. Sumpek dan eneg di sini,” ketus Milah sambil terus melangkah keluar ruang. Titha bergegas mengambil perlengkapan mengajarnya dan langsung menyusul Milah.Dion menoleh ke arah Milah dan Titha pergi. Setelah memastikan mereka berdua benar-benar menjauh, Dion berpindah ke kursi Eka yang bersebelahan dengan kursi Aliya.“Miss… ngga lihat grup W* ya?”“Aku belum download W*. Kenapa memang?” tanya Aliya bingung.Dion lalu menyodorkan ponsel miliknya ke depan wajah Aliya. “Lihat nih. Ini tempat tinggal Miss Aliya, bukan?”Aliya menyipitkan matanya. Hanya butuh beberapa detik saja, ia menyadari bahwa foto
‘Ada hal yang perlu aku bicarakan denganmu,’ ujar suara sang penelepon.Aliya terdiam sejenak. “Baiklah, aku akan tunggu di bawah.”Baru menjejak anak tangga terakhir di pelataran depan gedung, Aliya menangkap sosok Milah dan Titha yang baru menaiki mobil Tony yang dipakai Milah.Milah menjalankan mobil itu dengan sedikit cepat dan sengaja menuju Aliya. Ia menginjak rem tatkala hanya berjarak sekian meter saja dari Aliya.Milah membuka jendela dan mencibir pada Aliya. “Heh, Miss Penipu. Mana jemputanmu? Eh lupa… kamu ngga punya suami untuk menjemputmu kan yaa…”Titha di samping Milah, terkekeh lebar.“Terus ini kenapa berdiri di sini? Kemana motor bututmu itu, Miss?” alis Milah bertaut. “Eh lupa lagi… kayanya udah dijual buat bayar suami sewaannya, yaa?”Titha kali ini tergelak dalam tawa. “Kasian banget!!” Aliya sama sekal
“Kita makan dulu ya?” Elang memecahkan keheningan yang terjadi beberapa saat setelah mobil keluar dari area kantor Aliya. “Sambil ngobrol, kau juga makan malam dulu.”“Motorku masih di kantor,” ujar Aliya dengan mata menatap ke depan. “Aku gak mau kemalaman.”Elang mengangguk penuh pengertian. “Baiklah. Sebentar aku cari tempat yang nyaman untuk berhenti.”Aliya tidak menanggapi. Entah bagaimana perasaannya saat ini. Terlalu menumpuk dalam pikirannya tentang banyak hal. Tentang Bisma, tentang keluarga Bisma dan orangtuanya, tentang pekerjaannya, tentang hutang-hutangnya, tentang semua olok-olok dari rekan kantornya, dan tentang banyak hal lainnya.Tanpa sadar Aliya menghembuskan napas kasar.“Maafkan aku,” Elang berujar pelan.“Maaf kenapa?”“Kau dalam keadaan sulit karena keterlibatanku,” jawab Elang.Aliya tersenyum miris. “T
Dua pasang kaki melangkah beriringan menyusuri lorong ruang. Mereka lalu memasuki ruangan di kanan mereka. Sepasang kaki berseragam coklat lalu berbalik kembali, sementara sepasang kaki milik seorang wanita muda sempat terhenti di ambang pintu dengan mata menatap nyalang pada seorang pria yang tengah duduk dengan tangan yang di borgol ia letakkan di atas meja. Di hadapan pria itu telah duduk pria lainnya yang mengenakan kemeja putih bergaris. Wanita muda itu lalu bergegas menghampiri si pria dan dengan gerakan cepat ia memukul tubuh si pria dengan tas tangannya. “Brengsek kamu, Ton!!” “Nona Milah, tolong tenanglah. Ini di kantor polisi,” suara pria berkemeja putih itu mengingatkan. Dengan napas tersengal menahan amarah yang menggelegak dalam hatinya, wanita muda bernama Milah itu lalu memutar tubuhnya dan mengambil tempat di samping pria berkemeja putih. “Beb, maafkan aku…” ujar pria berseragam oranye yang tadi dipukul oleh Milah. “Dari semua cewek di dunia ini, kamu ngincer per
Sore di ruang guru terasa sangat gerah bagi Milah. Meski dari dua AC yang terpasang di dinding ruang guru itu terhembuskan udara dingin, namun Milah merasakan keringat mulai menetes di pelipisnya.Ia terngiang perdebatan cukup sengit dirinya dan Tony kemarin pagi di ruang bezuk untuk tahanan polres. Pada akhirnya Milah setuju untuk melakukan saran dari Pak Lutfi, pengacara terbaik di kota itu yang disewa keluarga Tony.Awalnya ia menolak mentah-mentah untuk bicara pada Aliya, rival yang paling dibencinya di kantor ini. Namun, Tony telah menawarkannya sebuah rumah dan mobil serta pengalihan usaha keluarga Tony atas nama Milah, jika ia berhasil membujuk Aliya.Pernikahan mereka pun akan segera dilangsungkan dengan mewah, jika Tony bisa dibebaskan. Milah berpikir cukup keras siang itu. Apa yang ditawarkan Tony, memang sangat menarik. Dulu ia mengincar Tony yang memang berasal dari keluarga sukses dan kaya.Terlebih lagi, ia telah menggembar-gemborkan soal di
Hari-hari yang dilalui Aliya setelah terungkap dalang dibalik usaha penculikan dirinya beberapa hari lalu, cukup merepotkan.Rekan-rekan kerja sekantor akhirnya mengetahui bahwa tunangan Milah menjadi tersangka dan dalam proses persidangan. Milah dan Titha sendiri akhirnya mengundurkan diri dari lembaga kursus, tempat selama ini mereka menjadi part-timer.Aliya sempat mendapatkan permintaan maaf dari rekan-rekan full-timer yang sebelumnya memperlakukan Aliya dengan tidak baik.Sementara hubungan Aliya, Elang dan Ridwan semakin akrab. Begitu pula dengan Diani, meskipun baru sebatas komunikasi melalui medsos, antar akun mereka.Malam itu, Aliya berada di ruang tengah dan sedang bertukar komentar dengan Ridwan dan Diani. Tiba-tiba sudut mata Aliya menangkap sekelebat bayangan dari ruang dapur yang tanpa sekat itu.Aliya menoleh ke arah dapur. Namun ia tidak mendapatkan apapun dalam penglihatannya. Ia lalu kembali melihat ke ponselnya
Seluruh otot dalam tubuh Aliya serasa menegang. Ia memegang erat-erat cutterkecil yang ia ambil dari dalam laci lemari pakaiannya, dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang ponsel.Suara pintu pagar terdengar dibuka. Dan sepasang langkah kaki mendekat ke arah pintu. Kamar Aliya yang memang berada di depan, memungkinkan Aliya mendengar semua itu dengan cukup jelas.Drrrrtt…Suara getar dari panggilan masuk, terasa di tangan kiri Aliya. Ia buru-buru mengangkat ponselnya dan bergegas menjawab begitu melihat nama peneleponnya. Sebersit rasa lega terasa di hatinya.“Elang, tadi aku telpon, sepertinya ada orang di…”‘Aku di depan rumahmu, Al,’ potong suara dari seberang telepon yang ternyata Elang itu.Aliya menarik handel pintu kamar dan bergegas menuju pintu depan lalu membukanya. Matanya sempat melirik ke arah dapur beberapa kali.Pintu terbuka, Aliya membuka suara &ldq
Ruang hampa yang tanpa batas. Semua serba hitam dan gelap. Seorang wanita muda mengenakan gaun putih polos berdiri di tengah. Rambut lurus panjang berwarna hitam pekat itu, tidak melebur dengan gelapnya ruang hampa itu. Ia justru tampak berkilau meski dari kejauhan. Wanita itu tampak menolehkan kepala ke beberapa sudut, namun ia tidak mendapati apapun yang ia cari. Kaki jenjang yang menopang tubuh semampai itu bergerak melangkah. Ujung gaun putih yang ia kenakan tampak bergerak seirama dengan ayunan yang lembut dan anggun. Semua tempat seperti sama saja. Wanita itu menghentikan langkahnya. Kini tampak wajahnya yang putih bersih menyiratkan kecemasan. Meski demikian, itu tidak mengurangi kecantikan rupa sang wanita muda itu. Sosok wanita itu dalam ruang hampa yang serba hitam dan gelap tersebut, seolah menjadi pelita yang menerangi sekitarnya. Menebarkan suasana yang menggoda untuk didekati. Namun tidak ada siapapun dan apapun dalam ruang hampa itu. Hingga akhirnya, sang wanita mud