Seluruh otot dalam tubuh Aliya serasa menegang. Ia memegang erat-erat cutter kecil yang ia ambil dari dalam laci lemari pakaiannya, dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang ponsel.
Suara pintu pagar terdengar dibuka. Dan sepasang langkah kaki mendekat ke arah pintu. Kamar Aliya yang memang berada di depan, memungkinkan Aliya mendengar semua itu dengan cukup jelas.
Drrrrtt…
Suara getar dari panggilan masuk, terasa di tangan kiri Aliya. Ia buru-buru mengangkat ponselnya dan bergegas menjawab begitu melihat nama peneleponnya. Sebersit rasa lega terasa di hatinya.
“Elang, tadi aku telpon, sepertinya ada orang di…”
‘Aku di depan rumahmu, Al,’ potong suara dari seberang telepon yang ternyata Elang itu.
Aliya menarik handel pintu kamar dan bergegas menuju pintu depan lalu membukanya. Matanya sempat melirik ke arah dapur beberapa kali.
Pintu terbuka, Aliya membuka suara &ldq
Ruang hampa yang tanpa batas. Semua serba hitam dan gelap. Seorang wanita muda mengenakan gaun putih polos berdiri di tengah. Rambut lurus panjang berwarna hitam pekat itu, tidak melebur dengan gelapnya ruang hampa itu. Ia justru tampak berkilau meski dari kejauhan. Wanita itu tampak menolehkan kepala ke beberapa sudut, namun ia tidak mendapati apapun yang ia cari. Kaki jenjang yang menopang tubuh semampai itu bergerak melangkah. Ujung gaun putih yang ia kenakan tampak bergerak seirama dengan ayunan yang lembut dan anggun. Semua tempat seperti sama saja. Wanita itu menghentikan langkahnya. Kini tampak wajahnya yang putih bersih menyiratkan kecemasan. Meski demikian, itu tidak mengurangi kecantikan rupa sang wanita muda itu. Sosok wanita itu dalam ruang hampa yang serba hitam dan gelap tersebut, seolah menjadi pelita yang menerangi sekitarnya. Menebarkan suasana yang menggoda untuk didekati. Namun tidak ada siapapun dan apapun dalam ruang hampa itu. Hingga akhirnya, sang wanita mud
“Miss Aliya masih di sini? Belum masuk ke kelas, Miss?” suara Eka mengalihkan perhatian Aliya.“Eh, iya.. ini mau masuk, Miss Eka. Miss sudah beres sama Basic 4 nya?”“Yoi, beres. Tinggal satu kelas lagi ntar jam lima sampai jam tujuh. Inter 1,” jawab Eka lalu sambil menghempaskan dirinya di atas kursi. “Miss Aliya ngapain tadi mengendap-endap gitu?”Aliya menggaruk kepalanya. “Gapapa, Miss. Kirain ada kecoak atau tikus di pojokan situ,” sahut Aliya sambil menunjuk ke sudut rak. “Apa? Kecoak??” pekik pelan Eka. Ia mengangkat kedua kakinya ke atas kursi.“Ngga tau, Miss. Baru dugaan aja. Tadi kaya ada suara-suara gitu di pojokan itu…” jawab Aliya sambil nyengir.“Mudah-mudahan aja sih beneran tikus. Aku takut banget sama kecoak, Miss…” Eka bergidik ngeri.“Ya jangan dua-duanya lah. Kesannya kantor kita ini gak pern
Tubuh Aliya yang tadi sempat terjatuh, kini terasa sedikit bergetar dan hembusan angin terasa menerpa dirinya. Tubuh pun terasa agak berat. Dengan mata masih terpejam, ia merasa sebuah lengan merengkuh dirinya. Lengan itu terasa berada di atas dan melingkari kepalanya. Aliya membuka mata perlahan. Ia mendapati seorang pria yang berlutut dengan tangan kiri menutupi kepala Aliya. Aliya melihat leher pria itu yang berjarak hanya beberapa senti dari pandangan matanya. Leher putih dengan jakun yang tampak bergerak. Aliya mencoba mendongakkan kepalanya. Matanya menatap dan lalu terbelalak begitu melihat seraut wajah yang ia kenal itu. “E-Elang??” “Tetap diam, Al,” bisik Elang masih dengan tangan kiri yang melingkari kepala Aliya. “A..apa?” DZIIIIIIIIINNGGG. Suara berdengung itu datang lagi dari kejauhan dan kembali mengarah pada Aliya. Mata Aliya terbuka lebar melihat cahaya merah dengan kecepatan bak meteor jatuh yang menuju ke arah mereka itu. “E..Elang.. I..itu… Awas!!” seru Ali
“You.. what???” Ridwan sampai terlonjak dari duduknya. Ia lalu berdiri dan berjalan dengan menggaruk telinga kanannya. “Saya gak salah dengar kan… bentar…” Ridwan menarik napas.“Pertama, kau sedang membaca buku. Kedua, perasaan mu mengatakan teh Aliya dalam bahaya. Ketiga, bukannya mendatangi ke rumahnya seperti biasa, tapi kau mendatangi mimpinya? Apa itu masuk akal, Gan??” Ridwan berhenti dari berjalan berputar-putar dalam kamar Elang. Matanya menatap Elang meminta penjelasan.“Mau bagaimana lagi? Itu yang terjadi,” Elang mengangkat bahunya.Ridwan menggelengkan kepala berulang-ulang. Kakinya kembali melangkah berputar di dalam kamar Elang yang luas itu. “No way… Ngga mungkin… Kau cuma mimpi doang, Gan. Itu beneran mimpi. Mana ada Agan bisa masuk ke mimpi teh Aliya?”“Terserah mau percaya atau tidak,” kata Elang datar. Ia lalu merebahkan kepalanya di ata
Ridwan, Diani dan Aliya sepakat kopi darat alias bertemu muka. Mereka memilih sebuah kedai yang cukup nyaman di wilayah Ciriung.Aliya dan Diani memiliki jadwal selesai kelas di jam yang sama, sehingga mereka sepakat bersama menuju tempat pertemuan dengan Ridwan.Pembicaraan yang seru bisa langsung terjalin saat Ridwan dan Diani bertemu muka. Aksi saling ledek dan candaan tanpa beban mengalir begitu saja.“Ah, teh Aliya. Waktu di f******k sempet pernah nyetatus soal mimpi aneh. Kalau boleh tahu, mimpi apaan sih?” Ridwan tiba-tiba bertanya.“Mimpi yang mana?” Aliya berkerenyit mengingat-ingat.“Itu kali Miss, yang di ruang kosong itu. Yang pas bangun-bangun Miss ngerasain capek banget,” Diani mengingatkan.“Oh iya.. Mimpi itu aku alami selama tiga malam berturut-turut, Wan. Sama persis. Dan saat terbangun dari mimpi itu, aku merasa lelah sekali…” jelas Aliya. Ia menyeruput jus alpukat di
“Sorry saya jadi cerita sama teh Diani,” Ridwan berkata pelan pada pria muda yang mengenakan kaos turtle neck berwarna biru muda yang duduk di seberang dirinya.Elang, pria itu hanya melirik sekilas lalu kembali menyuap sup yang menjadi makan malamnya.“Tampaknya teh Diani tidak asing dengan hal aneh itu,” sambung Ridwan.“Makan Wan. Jangan dimainin aja makanannya,” ujar Elang pada Ridwan yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk nasi di piringnya.“Oh iya. Saya dapat laporan bahwa Tony akan segera dijatuhi hukuman maksimal,” cetus Ridwan teringat. “Urusan lainnya juga sudah beres. Ngga ada yang akan mau melakukan urusan kotor untuk Tony dan keluarganya lagi, jika mereka ga mau berurusan sama kita.”Elang mengangguk.“Izin usaha keluarga Tony juga telah dicabut, sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dan si Milah, cewek rese itu sekarang kerja jadi SPG di showroom mobil bersama pengikut setianya itu, si Titha.”Elang tetap diam namun menyimak.“Urusan Grimm Group hanya tinggal final mee
Di sebuah mansion di Dusseldorf, Jerman. Dua orang pria paruh baya berpakaian serba hitam tampak berdiri di dekat sebuah meja kerja besar di dalam ruangan yang juga berukuran sangat besar. Kedua tangan dua pria paruh baya itu di silangkan di depan badan mereka. Sementara itu, sebuah kursi kerja besar tampak membelakangi meja kerja itu. “Jadi kalian sempat menemukan jejak energi perempuan itu, namun ada yang melindunginya?” Sebuah suara dalam dan berat terdengar sedikit menggema dalam ruang luas itu. “Ya Tuan,” jawab salah satu pria paruh baya berpakaian serba hitam. Rambut pria ini cukup panjang hingga menutupi kedua telinganya hingga mencapai bahu. “Sekuat apa orang yang melindunginya?” “Kami perkirakan ia berada pada level empat, Tuan,” jawab pria paruh baya satunya. “Apa kalian menemukan jejak orang yang melindungi perempuan itu?” Suara berat itu bertanya lagi. “Sayangnya, tidak Tuan.” Hening sejenak. “Setelah bertahun-tahun kita menunggu kemunculan perempuan itu. Ketika
Aliya berguling gelisah di atas ranjangnya. Beberapa hari telah berlalu, ia mendapati banyak keanehan terjadi pada dirinya.‘Tidak apa, Al. Jika kau merasakan sesuatu yang janggal dan merasakan adanya kehadiran makhluk astral, kemungkinan itu memang ada di sana.’“Apa yang harus aku lakukan? Kok serem sih…” Aliya berjengit. Perkataan Elang melalui telepon sore hari itu membuatnya bergidik.‘Ikuti saja intuisi mu. Bukankah kau memiliki intuisi yang cukup tajam, sejak masa sekolah dulu?’ Elang bertanya dari ujung sana.Aliya terperangah. “Kok kamu tau?” Aliya menarik napasnya. “Aku dulu sering disebut peramal, oleh teman-teman SMA ku. Karena terkadang, apa yang ku katakan, ternyata beneran terjadi.”‘Hmm…’“Kamu ini peramal juga ya Elang? Aku ingat, status-status di FB mu waktu itu, memperingatkanku soal akan hujan. Padahal di prakiraan cuaca, hanya men
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj