Ridwan, Diani dan Aliya sepakat kopi darat alias bertemu muka. Mereka memilih sebuah kedai yang cukup nyaman di wilayah Ciriung.
Aliya dan Diani memiliki jadwal selesai kelas di jam yang sama, sehingga mereka sepakat bersama menuju tempat pertemuan dengan Ridwan.
Pembicaraan yang seru bisa langsung terjalin saat Ridwan dan Diani bertemu muka. Aksi saling ledek dan candaan tanpa beban mengalir begitu saja.
“Ah, teh Aliya. Waktu di f******k sempet pernah nyetatus soal mimpi aneh. Kalau boleh tahu, mimpi apaan sih?” Ridwan tiba-tiba bertanya.
“Mimpi yang mana?” Aliya berkerenyit mengingat-ingat.
“Itu kali Miss, yang di ruang kosong itu. Yang pas bangun-bangun Miss ngerasain capek banget,” Diani mengingatkan.
“Oh iya.. Mimpi itu aku alami selama tiga malam berturut-turut, Wan. Sama persis. Dan saat terbangun dari mimpi itu, aku merasa lelah sekali…” jelas Aliya. Ia menyeruput jus alpukat di
“Sorry saya jadi cerita sama teh Diani,” Ridwan berkata pelan pada pria muda yang mengenakan kaos turtle neck berwarna biru muda yang duduk di seberang dirinya.Elang, pria itu hanya melirik sekilas lalu kembali menyuap sup yang menjadi makan malamnya.“Tampaknya teh Diani tidak asing dengan hal aneh itu,” sambung Ridwan.“Makan Wan. Jangan dimainin aja makanannya,” ujar Elang pada Ridwan yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk nasi di piringnya.“Oh iya. Saya dapat laporan bahwa Tony akan segera dijatuhi hukuman maksimal,” cetus Ridwan teringat. “Urusan lainnya juga sudah beres. Ngga ada yang akan mau melakukan urusan kotor untuk Tony dan keluarganya lagi, jika mereka ga mau berurusan sama kita.”Elang mengangguk.“Izin usaha keluarga Tony juga telah dicabut, sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dan si Milah, cewek rese itu sekarang kerja jadi SPG di showroom mobil bersama pengikut setianya itu, si Titha.”Elang tetap diam namun menyimak.“Urusan Grimm Group hanya tinggal final mee
Di sebuah mansion di Dusseldorf, Jerman. Dua orang pria paruh baya berpakaian serba hitam tampak berdiri di dekat sebuah meja kerja besar di dalam ruangan yang juga berukuran sangat besar. Kedua tangan dua pria paruh baya itu di silangkan di depan badan mereka. Sementara itu, sebuah kursi kerja besar tampak membelakangi meja kerja itu. “Jadi kalian sempat menemukan jejak energi perempuan itu, namun ada yang melindunginya?” Sebuah suara dalam dan berat terdengar sedikit menggema dalam ruang luas itu. “Ya Tuan,” jawab salah satu pria paruh baya berpakaian serba hitam. Rambut pria ini cukup panjang hingga menutupi kedua telinganya hingga mencapai bahu. “Sekuat apa orang yang melindunginya?” “Kami perkirakan ia berada pada level empat, Tuan,” jawab pria paruh baya satunya. “Apa kalian menemukan jejak orang yang melindungi perempuan itu?” Suara berat itu bertanya lagi. “Sayangnya, tidak Tuan.” Hening sejenak. “Setelah bertahun-tahun kita menunggu kemunculan perempuan itu. Ketika
Aliya berguling gelisah di atas ranjangnya. Beberapa hari telah berlalu, ia mendapati banyak keanehan terjadi pada dirinya.‘Tidak apa, Al. Jika kau merasakan sesuatu yang janggal dan merasakan adanya kehadiran makhluk astral, kemungkinan itu memang ada di sana.’“Apa yang harus aku lakukan? Kok serem sih…” Aliya berjengit. Perkataan Elang melalui telepon sore hari itu membuatnya bergidik.‘Ikuti saja intuisi mu. Bukankah kau memiliki intuisi yang cukup tajam, sejak masa sekolah dulu?’ Elang bertanya dari ujung sana.Aliya terperangah. “Kok kamu tau?” Aliya menarik napasnya. “Aku dulu sering disebut peramal, oleh teman-teman SMA ku. Karena terkadang, apa yang ku katakan, ternyata beneran terjadi.”‘Hmm…’“Kamu ini peramal juga ya Elang? Aku ingat, status-status di FB mu waktu itu, memperingatkanku soal akan hujan. Padahal di prakiraan cuaca, hanya men
Semburat merah mulai tampak di langit Cibinong sore itu. Aliya dan Diani berdiri di teras depan lobby kantor mereka.“Kalau ngga ngalamin sendiri, rasanya tidak percaya aku lakukan itu…” gumam Aliya pelan. Diani di sebelahnya tanpa menengok, menimpali.“Well, ada saja sih sesuatu yang sesungguhnya bisa kita lakukan tapi kita baru tahu kita bisa melakukannya.”Siang tadi, saat ruang kosong dan hanya Diani yang menemani Aliya, Aliya melakukan apa yang kemarin sempat ia sanggupi. Ia mengikuti semua arahan Elang. Meskipun awalnya sempat gugup, namun akhirnya ia selesai melakukannya.“Keren. Dah kaya exorcist aja, Miss,” Diani terkekeh.“Exorcist apaan. Aku cuma ajak ngomong doang terus minta mereka pindah ke belakang jangan ganggu ruang guru…” Aliya menghela napas. “Ga tau juga itu berhasil atau ngga nya.”Diani tersenyum. “Kalau lihat reaksi temen-temen lain, sampai
“Kenapa kamu diam? Bicara,” titah pak Sutarna pada menantu di hadapannya. Aliya hari itu mendatangi rumah mertuanya, karena dipanggil oleh Pak Sutarna. Ia duduk dengan kaki dilipat ke belakang di ruang yang cukup luas yang sering dipakai untuk kumpul keluarga. Pak Sutarna dan bu Neneng duduk di hadapan Aliya. “Jadi gimana? Bisa kan masukin Agam di kantormu? Jadi apa saja lah,” tegas pak Sutarna pada Aliya. “Maaf Pak. Tapi kantor itu kan bukan milik Aliya. Aliya tidak bisa begitu saja memasukkan Agam ke sana,” tolak Aliya halus. “Lalu buat apa kamu kerja di sana kalau untuk membantu keluarga saja tidak bisa? Cih!” pak Sutarna mendecih. Ia menghisap rokok yang sedari tadi dijepit di sela jarinya, dengan gusar. “Pak…” “Bapak gak mau tau, sebagai bagian dari keluarga, kamu harus bantu Agam. Paham?” Pak Sutarna menekankan kalimatnya. Aliya menggeleng. “Tolong dengarkan dulu Aliya, Pak. Aliya datang kesini sekalian untuk memberitahukan pada Bapak dan juga Ibu,” Aliya menjeda kalimatn
“Dad tidak akan melakukan itu,” jawab Elang datar. ‘Kenapa kau pikir aku tidak akan melakukannya? Hanya hal kecil untuk menyingkirkan perempuan itu, Einhard.’ “Karena Dad butuh pewaris untuk semua milik Dad. Dan saya adalah satu-satunya penerusmu yang eligible saat ini. So, Dad butuh dan tidak bisa kehilangan saya. Nicht wahr, Dad?” (Bukankah begitu, Dad?) ‘Kamu pikir saya tidak bisa mencari penggantimu?’ “Leider kannst du nicht, Dad.” (Sayangnya kamu tidak bisa, Dad) Elang menjawab tenang. “Kau selalu mengagungkan darah keluarga kita sebagai pemegang tampuk tertinggi. Kau tidak akan pernah biarkan Keluarga Mosley mengolok-olokmu dan memberikan mereka kesempatan untuk mengambil alih apa yang telah kau capai selama ini. Apa itu bisa dilakukan oleh orang lain yang tidak ada hubungan darah denganmu, Dad?” Suara di seberang telepon terdiam sesaat, sebelum akhirnya terbahak dalam tawa. ‘Kau sudah berani mengancamku? Ayahmu sendiri, Einhard? Anak pintar!’ serunya di sela tawa. Ridw
Pria yang dipanggil Elang itu menarik kursi di kanan Aliya lalu duduk dengan tenang. “Coba aku lihat pipimu, Al,” ujar Elang lalu memiringkan kepalanya sedikit melihat pipi kiri Aliya.Tangan kanan Elang terjulur ke arah pipi Aliya dengan menggenggam saputangan yang tampak sedikit basah. “Maaf. Tahan sebentar,” kata Elang lagi lalu menempelkan saputangan itu ke pipi kiri Aliya.“Ah!” Aliya meringis menahan rasa perih di pipinya. Saputangan itu menempel di pipi dan menghantarkan rasa dingin.Aliya melirik Elang dengan sudut matanya.Elang tampak fokus memperhatikan pipi Aliya yang tengah tertutup oleh saputangan di tangan Elang. Kelopak mata Elang tampak redup sementara kedua bola mata coklat gelap itu terlihat menatap lekat.Tak lama, Aliya dapat merasakan rasa dingin dari saputangan itu seolah menghantarkan rasa hangat yang nyaman dan meresap ke tiap pori-pori kulit di pipinya.Begitu
Elang menghela napas dengan kepala tetap menunduk. Bagaimana ia bisa mengungkapkan semuanya dengan benar-benar jujur, jika hanya akan membuat Aliya ketakutan seperti tadi?“Aku minta maaf, Al…”“Minta maaf untuk apa?” suara Aliya terdengar lebih stabil kali ini. Ia telah berhasil menetralisir rasa kaget dan tak percayanya atas pengakuan Elang sebelumnya.“Telah membuatmu kaget dan mungkin sedikit.. takut?”“Takut? Ahahaha… ti-tidak…” elak Aliya dengan melambaikan sebelah tangannya.Namun tatkala mendapati Elang yang menatap dirinya penuh arti, Aliya dengan gugup menyeruput es jeruknya kembali.“Kau mau minum es jeruk? Aku pesankan yah?” ujar Aliya menutup kegugupannya.Elang menggeleng. “Pipimu sudah tidak terasa sakit lagi, kan?” tanyanya.“Hem? Ini? Oh iya… sudah tidak perih lagi. Terima kasih. Tapi.. dari mana kau tahu p