Aliya berguling gelisah di atas ranjangnya. Beberapa hari telah berlalu, ia mendapati banyak keanehan terjadi pada dirinya.‘Tidak apa, Al. Jika kau merasakan sesuatu yang janggal dan merasakan adanya kehadiran makhluk astral, kemungkinan itu memang ada di sana.’“Apa yang harus aku lakukan? Kok serem sih…” Aliya berjengit. Perkataan Elang melalui telepon sore hari itu membuatnya bergidik.‘Ikuti saja intuisi mu. Bukankah kau memiliki intuisi yang cukup tajam, sejak masa sekolah dulu?’ Elang bertanya dari ujung sana.Aliya terperangah. “Kok kamu tau?” Aliya menarik napasnya. “Aku dulu sering disebut peramal, oleh teman-teman SMA ku. Karena terkadang, apa yang ku katakan, ternyata beneran terjadi.”‘Hmm…’“Kamu ini peramal juga ya Elang? Aku ingat, status-status di FB mu waktu itu, memperingatkanku soal akan hujan. Padahal di prakiraan cuaca, hanya men
Semburat merah mulai tampak di langit Cibinong sore itu. Aliya dan Diani berdiri di teras depan lobby kantor mereka.“Kalau ngga ngalamin sendiri, rasanya tidak percaya aku lakukan itu…” gumam Aliya pelan. Diani di sebelahnya tanpa menengok, menimpali.“Well, ada saja sih sesuatu yang sesungguhnya bisa kita lakukan tapi kita baru tahu kita bisa melakukannya.”Siang tadi, saat ruang kosong dan hanya Diani yang menemani Aliya, Aliya melakukan apa yang kemarin sempat ia sanggupi. Ia mengikuti semua arahan Elang. Meskipun awalnya sempat gugup, namun akhirnya ia selesai melakukannya.“Keren. Dah kaya exorcist aja, Miss,” Diani terkekeh.“Exorcist apaan. Aku cuma ajak ngomong doang terus minta mereka pindah ke belakang jangan ganggu ruang guru…” Aliya menghela napas. “Ga tau juga itu berhasil atau ngga nya.”Diani tersenyum. “Kalau lihat reaksi temen-temen lain, sampai
“Kenapa kamu diam? Bicara,” titah pak Sutarna pada menantu di hadapannya. Aliya hari itu mendatangi rumah mertuanya, karena dipanggil oleh Pak Sutarna. Ia duduk dengan kaki dilipat ke belakang di ruang yang cukup luas yang sering dipakai untuk kumpul keluarga. Pak Sutarna dan bu Neneng duduk di hadapan Aliya. “Jadi gimana? Bisa kan masukin Agam di kantormu? Jadi apa saja lah,” tegas pak Sutarna pada Aliya. “Maaf Pak. Tapi kantor itu kan bukan milik Aliya. Aliya tidak bisa begitu saja memasukkan Agam ke sana,” tolak Aliya halus. “Lalu buat apa kamu kerja di sana kalau untuk membantu keluarga saja tidak bisa? Cih!” pak Sutarna mendecih. Ia menghisap rokok yang sedari tadi dijepit di sela jarinya, dengan gusar. “Pak…” “Bapak gak mau tau, sebagai bagian dari keluarga, kamu harus bantu Agam. Paham?” Pak Sutarna menekankan kalimatnya. Aliya menggeleng. “Tolong dengarkan dulu Aliya, Pak. Aliya datang kesini sekalian untuk memberitahukan pada Bapak dan juga Ibu,” Aliya menjeda kalimatn
“Dad tidak akan melakukan itu,” jawab Elang datar. ‘Kenapa kau pikir aku tidak akan melakukannya? Hanya hal kecil untuk menyingkirkan perempuan itu, Einhard.’ “Karena Dad butuh pewaris untuk semua milik Dad. Dan saya adalah satu-satunya penerusmu yang eligible saat ini. So, Dad butuh dan tidak bisa kehilangan saya. Nicht wahr, Dad?” (Bukankah begitu, Dad?) ‘Kamu pikir saya tidak bisa mencari penggantimu?’ “Leider kannst du nicht, Dad.” (Sayangnya kamu tidak bisa, Dad) Elang menjawab tenang. “Kau selalu mengagungkan darah keluarga kita sebagai pemegang tampuk tertinggi. Kau tidak akan pernah biarkan Keluarga Mosley mengolok-olokmu dan memberikan mereka kesempatan untuk mengambil alih apa yang telah kau capai selama ini. Apa itu bisa dilakukan oleh orang lain yang tidak ada hubungan darah denganmu, Dad?” Suara di seberang telepon terdiam sesaat, sebelum akhirnya terbahak dalam tawa. ‘Kau sudah berani mengancamku? Ayahmu sendiri, Einhard? Anak pintar!’ serunya di sela tawa. Ridw
Pria yang dipanggil Elang itu menarik kursi di kanan Aliya lalu duduk dengan tenang. “Coba aku lihat pipimu, Al,” ujar Elang lalu memiringkan kepalanya sedikit melihat pipi kiri Aliya.Tangan kanan Elang terjulur ke arah pipi Aliya dengan menggenggam saputangan yang tampak sedikit basah. “Maaf. Tahan sebentar,” kata Elang lagi lalu menempelkan saputangan itu ke pipi kiri Aliya.“Ah!” Aliya meringis menahan rasa perih di pipinya. Saputangan itu menempel di pipi dan menghantarkan rasa dingin.Aliya melirik Elang dengan sudut matanya.Elang tampak fokus memperhatikan pipi Aliya yang tengah tertutup oleh saputangan di tangan Elang. Kelopak mata Elang tampak redup sementara kedua bola mata coklat gelap itu terlihat menatap lekat.Tak lama, Aliya dapat merasakan rasa dingin dari saputangan itu seolah menghantarkan rasa hangat yang nyaman dan meresap ke tiap pori-pori kulit di pipinya.Begitu
Elang menghela napas dengan kepala tetap menunduk. Bagaimana ia bisa mengungkapkan semuanya dengan benar-benar jujur, jika hanya akan membuat Aliya ketakutan seperti tadi?“Aku minta maaf, Al…”“Minta maaf untuk apa?” suara Aliya terdengar lebih stabil kali ini. Ia telah berhasil menetralisir rasa kaget dan tak percayanya atas pengakuan Elang sebelumnya.“Telah membuatmu kaget dan mungkin sedikit.. takut?”“Takut? Ahahaha… ti-tidak…” elak Aliya dengan melambaikan sebelah tangannya.Namun tatkala mendapati Elang yang menatap dirinya penuh arti, Aliya dengan gugup menyeruput es jeruknya kembali.“Kau mau minum es jeruk? Aku pesankan yah?” ujar Aliya menutup kegugupannya.Elang menggeleng. “Pipimu sudah tidak terasa sakit lagi, kan?” tanyanya.“Hem? Ini? Oh iya… sudah tidak perih lagi. Terima kasih. Tapi.. dari mana kau tahu p
“Papa di sini?” Aliya bertanya dengan kedua alis berkerut. Namun sosok di samping kanannya tidak menanggapi sama sekali.Aliya memindai dengan seksama sosok tersebut. Itu benar papanya.Seorang pria di usia awal lima puluhan, dengan garis rahang yang tegas dan jambang yang cukup tebal serta kumis dan janggut yang melingkari area bawah wajahnya. Alis tebal dan hidung mancung khas itu, memang milik papanya.Pandangan sosok yang Aliya kenali sebagai papanya itu tengah menatap lurus ke depan. Aliya pun lalu mengikuti arah pandangan papanya. Kali kedua, ia terhenyak.Di seberang mereka, telah duduk bersila seorang pria lainnya. Pria muda yang juga ia kenali dan sering menolongnya beberapa waktu ini.Elang.Fitur wajah sempurna miliknya terpampang jelas di pandangan Aliya. Ia duduk bersila dengan tenang. Setelan koko putih membalut tubuh tegap dan atletisnya begitu pas dan menawan dilihat.Hidung mancung di atas bibir tipis yang
* * *Aliya meraup air langsung dari bak dan membasuh mukanya berkali-kali. Berkali-kali pula Aliya merutuki dirinya dengan bergumam kesal.“Apa-apaan!” Tangannya kembali meraup air dalam bak. Wajahnya tampak memerah.“Apa bener kata Milah, aku ini kesepian? Iyaaa aku memang biasa sendiri. Memang kadang merasa kesepian, tapi ngga gitu juga sampe harus mimpi nikah sama cowok lain!!” Aliya bermonolog.“Mana cowok itu Elang, lagi! Aaaah!” Kedua telapak tangan Aliya bertumpu pada tepian bak. Ia bangun dari tidurnya tadi dan sempat tertegun bingung di atas ranjang miliknya beberapa saat. Begitu tersadar, ia buru-buru berlari ke kamar mandi dan membasuh mukanya.Tak pernah terpikirkan ia akan mimpi menikah dengan Elang.Apakah segitu parahnya tingkat kesepian Aliya, sampai berfantasi di bawah sadarnya, lalu mewujud menjadi sebuah mimpi, bahwa ia menjadi istri Elang?Dan kenapa harus Elang?‘Ya. Kenapa harus Elang?’ bisik Aliya dalam hati. Ia menarik napas dan menghembus lambat. Kakinya mela