Hari-hari yang dilalui Aliya setelah terungkap dalang dibalik usaha penculikan dirinya beberapa hari lalu, cukup merepotkan.
Rekan-rekan kerja sekantor akhirnya mengetahui bahwa tunangan Milah menjadi tersangka dan dalam proses persidangan. Milah dan Titha sendiri akhirnya mengundurkan diri dari lembaga kursus, tempat selama ini mereka menjadi part-timer.
Aliya sempat mendapatkan permintaan maaf dari rekan-rekan full-timer yang sebelumnya memperlakukan Aliya dengan tidak baik.
Sementara hubungan Aliya, Elang dan Ridwan semakin akrab. Begitu pula dengan Diani, meskipun baru sebatas komunikasi melalui medsos, antar akun mereka.
Malam itu, Aliya berada di ruang tengah dan sedang bertukar komentar dengan Ridwan dan Diani. Tiba-tiba sudut mata Aliya menangkap sekelebat bayangan dari ruang dapur yang tanpa sekat itu.
Aliya menoleh ke arah dapur. Namun ia tidak mendapatkan apapun dalam penglihatannya. Ia lalu kembali melihat ke ponselnya
Seluruh otot dalam tubuh Aliya serasa menegang. Ia memegang erat-erat cutterkecil yang ia ambil dari dalam laci lemari pakaiannya, dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang ponsel.Suara pintu pagar terdengar dibuka. Dan sepasang langkah kaki mendekat ke arah pintu. Kamar Aliya yang memang berada di depan, memungkinkan Aliya mendengar semua itu dengan cukup jelas.Drrrrtt…Suara getar dari panggilan masuk, terasa di tangan kiri Aliya. Ia buru-buru mengangkat ponselnya dan bergegas menjawab begitu melihat nama peneleponnya. Sebersit rasa lega terasa di hatinya.“Elang, tadi aku telpon, sepertinya ada orang di…”‘Aku di depan rumahmu, Al,’ potong suara dari seberang telepon yang ternyata Elang itu.Aliya menarik handel pintu kamar dan bergegas menuju pintu depan lalu membukanya. Matanya sempat melirik ke arah dapur beberapa kali.Pintu terbuka, Aliya membuka suara &ldq
Ruang hampa yang tanpa batas. Semua serba hitam dan gelap. Seorang wanita muda mengenakan gaun putih polos berdiri di tengah. Rambut lurus panjang berwarna hitam pekat itu, tidak melebur dengan gelapnya ruang hampa itu. Ia justru tampak berkilau meski dari kejauhan. Wanita itu tampak menolehkan kepala ke beberapa sudut, namun ia tidak mendapati apapun yang ia cari. Kaki jenjang yang menopang tubuh semampai itu bergerak melangkah. Ujung gaun putih yang ia kenakan tampak bergerak seirama dengan ayunan yang lembut dan anggun. Semua tempat seperti sama saja. Wanita itu menghentikan langkahnya. Kini tampak wajahnya yang putih bersih menyiratkan kecemasan. Meski demikian, itu tidak mengurangi kecantikan rupa sang wanita muda itu. Sosok wanita itu dalam ruang hampa yang serba hitam dan gelap tersebut, seolah menjadi pelita yang menerangi sekitarnya. Menebarkan suasana yang menggoda untuk didekati. Namun tidak ada siapapun dan apapun dalam ruang hampa itu. Hingga akhirnya, sang wanita mud
“Miss Aliya masih di sini? Belum masuk ke kelas, Miss?” suara Eka mengalihkan perhatian Aliya.“Eh, iya.. ini mau masuk, Miss Eka. Miss sudah beres sama Basic 4 nya?”“Yoi, beres. Tinggal satu kelas lagi ntar jam lima sampai jam tujuh. Inter 1,” jawab Eka lalu sambil menghempaskan dirinya di atas kursi. “Miss Aliya ngapain tadi mengendap-endap gitu?”Aliya menggaruk kepalanya. “Gapapa, Miss. Kirain ada kecoak atau tikus di pojokan situ,” sahut Aliya sambil menunjuk ke sudut rak. “Apa? Kecoak??” pekik pelan Eka. Ia mengangkat kedua kakinya ke atas kursi.“Ngga tau, Miss. Baru dugaan aja. Tadi kaya ada suara-suara gitu di pojokan itu…” jawab Aliya sambil nyengir.“Mudah-mudahan aja sih beneran tikus. Aku takut banget sama kecoak, Miss…” Eka bergidik ngeri.“Ya jangan dua-duanya lah. Kesannya kantor kita ini gak pern
Tubuh Aliya yang tadi sempat terjatuh, kini terasa sedikit bergetar dan hembusan angin terasa menerpa dirinya. Tubuh pun terasa agak berat. Dengan mata masih terpejam, ia merasa sebuah lengan merengkuh dirinya. Lengan itu terasa berada di atas dan melingkari kepalanya. Aliya membuka mata perlahan. Ia mendapati seorang pria yang berlutut dengan tangan kiri menutupi kepala Aliya. Aliya melihat leher pria itu yang berjarak hanya beberapa senti dari pandangan matanya. Leher putih dengan jakun yang tampak bergerak. Aliya mencoba mendongakkan kepalanya. Matanya menatap dan lalu terbelalak begitu melihat seraut wajah yang ia kenal itu. “E-Elang??” “Tetap diam, Al,” bisik Elang masih dengan tangan kiri yang melingkari kepala Aliya. “A..apa?” DZIIIIIIIIINNGGG. Suara berdengung itu datang lagi dari kejauhan dan kembali mengarah pada Aliya. Mata Aliya terbuka lebar melihat cahaya merah dengan kecepatan bak meteor jatuh yang menuju ke arah mereka itu. “E..Elang.. I..itu… Awas!!” seru Ali
“You.. what???” Ridwan sampai terlonjak dari duduknya. Ia lalu berdiri dan berjalan dengan menggaruk telinga kanannya. “Saya gak salah dengar kan… bentar…” Ridwan menarik napas.“Pertama, kau sedang membaca buku. Kedua, perasaan mu mengatakan teh Aliya dalam bahaya. Ketiga, bukannya mendatangi ke rumahnya seperti biasa, tapi kau mendatangi mimpinya? Apa itu masuk akal, Gan??” Ridwan berhenti dari berjalan berputar-putar dalam kamar Elang. Matanya menatap Elang meminta penjelasan.“Mau bagaimana lagi? Itu yang terjadi,” Elang mengangkat bahunya.Ridwan menggelengkan kepala berulang-ulang. Kakinya kembali melangkah berputar di dalam kamar Elang yang luas itu. “No way… Ngga mungkin… Kau cuma mimpi doang, Gan. Itu beneran mimpi. Mana ada Agan bisa masuk ke mimpi teh Aliya?”“Terserah mau percaya atau tidak,” kata Elang datar. Ia lalu merebahkan kepalanya di ata
Ridwan, Diani dan Aliya sepakat kopi darat alias bertemu muka. Mereka memilih sebuah kedai yang cukup nyaman di wilayah Ciriung.Aliya dan Diani memiliki jadwal selesai kelas di jam yang sama, sehingga mereka sepakat bersama menuju tempat pertemuan dengan Ridwan.Pembicaraan yang seru bisa langsung terjalin saat Ridwan dan Diani bertemu muka. Aksi saling ledek dan candaan tanpa beban mengalir begitu saja.“Ah, teh Aliya. Waktu di f******k sempet pernah nyetatus soal mimpi aneh. Kalau boleh tahu, mimpi apaan sih?” Ridwan tiba-tiba bertanya.“Mimpi yang mana?” Aliya berkerenyit mengingat-ingat.“Itu kali Miss, yang di ruang kosong itu. Yang pas bangun-bangun Miss ngerasain capek banget,” Diani mengingatkan.“Oh iya.. Mimpi itu aku alami selama tiga malam berturut-turut, Wan. Sama persis. Dan saat terbangun dari mimpi itu, aku merasa lelah sekali…” jelas Aliya. Ia menyeruput jus alpukat di
“Sorry saya jadi cerita sama teh Diani,” Ridwan berkata pelan pada pria muda yang mengenakan kaos turtle neck berwarna biru muda yang duduk di seberang dirinya.Elang, pria itu hanya melirik sekilas lalu kembali menyuap sup yang menjadi makan malamnya.“Tampaknya teh Diani tidak asing dengan hal aneh itu,” sambung Ridwan.“Makan Wan. Jangan dimainin aja makanannya,” ujar Elang pada Ridwan yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk nasi di piringnya.“Oh iya. Saya dapat laporan bahwa Tony akan segera dijatuhi hukuman maksimal,” cetus Ridwan teringat. “Urusan lainnya juga sudah beres. Ngga ada yang akan mau melakukan urusan kotor untuk Tony dan keluarganya lagi, jika mereka ga mau berurusan sama kita.”Elang mengangguk.“Izin usaha keluarga Tony juga telah dicabut, sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dan si Milah, cewek rese itu sekarang kerja jadi SPG di showroom mobil bersama pengikut setianya itu, si Titha.”Elang tetap diam namun menyimak.“Urusan Grimm Group hanya tinggal final mee
Di sebuah mansion di Dusseldorf, Jerman. Dua orang pria paruh baya berpakaian serba hitam tampak berdiri di dekat sebuah meja kerja besar di dalam ruangan yang juga berukuran sangat besar. Kedua tangan dua pria paruh baya itu di silangkan di depan badan mereka. Sementara itu, sebuah kursi kerja besar tampak membelakangi meja kerja itu. “Jadi kalian sempat menemukan jejak energi perempuan itu, namun ada yang melindunginya?” Sebuah suara dalam dan berat terdengar sedikit menggema dalam ruang luas itu. “Ya Tuan,” jawab salah satu pria paruh baya berpakaian serba hitam. Rambut pria ini cukup panjang hingga menutupi kedua telinganya hingga mencapai bahu. “Sekuat apa orang yang melindunginya?” “Kami perkirakan ia berada pada level empat, Tuan,” jawab pria paruh baya satunya. “Apa kalian menemukan jejak orang yang melindungi perempuan itu?” Suara berat itu bertanya lagi. “Sayangnya, tidak Tuan.” Hening sejenak. “Setelah bertahun-tahun kita menunggu kemunculan perempuan itu. Ketika