Suara dering ponsel milik Ridwan, membuat ia menghentikan kegiatannya. Nada dering khusus itu membuat Ridwan gegas mengangkat dan menjawab.
‘Ridwan,’ suara berat dari ujung sana langsung terdengar.
“Ya Tuan.”
‘Saya dengar Einhard membeli hotel dan berencana mengakuisisi dua perusahaan lain. Apa itu ide dari kamu?’
“Tidak, Tuan. Itu murni pemikiran dan hasil analisa Tuan Muda, Tuan,” jawab Ridwan.
‘Analisa dia?’
“Ya Tuan, benar.”
‘Saya suka caranya menundukkan dua perusahaan itu. Ini perkembangan Einhard yang saya harapkan dihasilkan dari kamu,’ tegas suara itu menyatakan kalimatnya.
“Ya Tuan.”
‘Tidak ada kaitan dengan wanita mana pun selama ini kan?’
Ridwan terdiam beberapa detik. “Tidak, Tuan.”
‘Bagus. Tetap seperti itu. Saya butuh Einhard untuk siap mengambil alih semua milik saya.
Malam yang sama, tempat yang berbeda. Di tempat yang sangat jauh lebih sederhana dan kecil, Aliya berguling gelisah. Ia teringat obrolannya dengan Ridwan di dalam mobil saat mengantarnya pulang. Tentang Elang. Ridwan bercerita sedikit tentang Elang yang terbiasa jauh dari kedua orangtuanya sejak kecil. Meskipun sang Mama begitu terlihat menyayangi Elang, namun ia pun tak luput dari mengikuti kegiatan-kegiatan yang menjadi keharusan baginya. Elang selalu merasa terasing. Dan Elang terbiasa sendiri. “Teh, Saya tidak berhak mengatakan ini. Seharusnya Einhard sendiri yang mengatakannya pada Teh Aliya. Namun, jika Teteh kelak mengetahui sesuatu tentang Einhard, tolong pahami. Bahwa Einhard tidak pernah bermaksud melukai ataupun menyakiti Teteh.” Kalimat dari Ridwan itu terngiang kembali dalam pikirannya. “Bahkan Einhard sempat tidak ingin Teteh mengetahui tentang kondisi keluarganya. Einhard merasa khawatir diketahui oleh Teh Aliya siapa dirinya dan keluarga di belakang sesungguhnya.
Namun pemilik mata dengan tatapan sinis itu tidak mengatakan apa-apa. Ia berdiri dari duduknya, mengambil peralatan mengajar dan dengan angkuh berjalan keluar.“Miss, tunggu. Ini belum waktu kelas. Mau kemana? Aku ikut,” cetus Titha.“Ke kantin dulu. Nanti langsung ke kelas. Sumpek dan eneg di sini,” ketus Milah sambil terus melangkah keluar ruang. Titha bergegas mengambil perlengkapan mengajarnya dan langsung menyusul Milah.Dion menoleh ke arah Milah dan Titha pergi. Setelah memastikan mereka berdua benar-benar menjauh, Dion berpindah ke kursi Eka yang bersebelahan dengan kursi Aliya.“Miss… ngga lihat grup W* ya?”“Aku belum download W*. Kenapa memang?” tanya Aliya bingung.Dion lalu menyodorkan ponsel miliknya ke depan wajah Aliya. “Lihat nih. Ini tempat tinggal Miss Aliya, bukan?”Aliya menyipitkan matanya. Hanya butuh beberapa detik saja, ia menyadari bahwa foto
‘Ada hal yang perlu aku bicarakan denganmu,’ ujar suara sang penelepon.Aliya terdiam sejenak. “Baiklah, aku akan tunggu di bawah.”Baru menjejak anak tangga terakhir di pelataran depan gedung, Aliya menangkap sosok Milah dan Titha yang baru menaiki mobil Tony yang dipakai Milah.Milah menjalankan mobil itu dengan sedikit cepat dan sengaja menuju Aliya. Ia menginjak rem tatkala hanya berjarak sekian meter saja dari Aliya.Milah membuka jendela dan mencibir pada Aliya. “Heh, Miss Penipu. Mana jemputanmu? Eh lupa… kamu ngga punya suami untuk menjemputmu kan yaa…”Titha di samping Milah, terkekeh lebar.“Terus ini kenapa berdiri di sini? Kemana motor bututmu itu, Miss?” alis Milah bertaut. “Eh lupa lagi… kayanya udah dijual buat bayar suami sewaannya, yaa?”Titha kali ini tergelak dalam tawa. “Kasian banget!!” Aliya sama sekal
“Kita makan dulu ya?” Elang memecahkan keheningan yang terjadi beberapa saat setelah mobil keluar dari area kantor Aliya. “Sambil ngobrol, kau juga makan malam dulu.”“Motorku masih di kantor,” ujar Aliya dengan mata menatap ke depan. “Aku gak mau kemalaman.”Elang mengangguk penuh pengertian. “Baiklah. Sebentar aku cari tempat yang nyaman untuk berhenti.”Aliya tidak menanggapi. Entah bagaimana perasaannya saat ini. Terlalu menumpuk dalam pikirannya tentang banyak hal. Tentang Bisma, tentang keluarga Bisma dan orangtuanya, tentang pekerjaannya, tentang hutang-hutangnya, tentang semua olok-olok dari rekan kantornya, dan tentang banyak hal lainnya.Tanpa sadar Aliya menghembuskan napas kasar.“Maafkan aku,” Elang berujar pelan.“Maaf kenapa?”“Kau dalam keadaan sulit karena keterlibatanku,” jawab Elang.Aliya tersenyum miris. “T
Dua pasang kaki melangkah beriringan menyusuri lorong ruang. Mereka lalu memasuki ruangan di kanan mereka. Sepasang kaki berseragam coklat lalu berbalik kembali, sementara sepasang kaki milik seorang wanita muda sempat terhenti di ambang pintu dengan mata menatap nyalang pada seorang pria yang tengah duduk dengan tangan yang di borgol ia letakkan di atas meja. Di hadapan pria itu telah duduk pria lainnya yang mengenakan kemeja putih bergaris. Wanita muda itu lalu bergegas menghampiri si pria dan dengan gerakan cepat ia memukul tubuh si pria dengan tas tangannya. “Brengsek kamu, Ton!!” “Nona Milah, tolong tenanglah. Ini di kantor polisi,” suara pria berkemeja putih itu mengingatkan. Dengan napas tersengal menahan amarah yang menggelegak dalam hatinya, wanita muda bernama Milah itu lalu memutar tubuhnya dan mengambil tempat di samping pria berkemeja putih. “Beb, maafkan aku…” ujar pria berseragam oranye yang tadi dipukul oleh Milah. “Dari semua cewek di dunia ini, kamu ngincer per
Sore di ruang guru terasa sangat gerah bagi Milah. Meski dari dua AC yang terpasang di dinding ruang guru itu terhembuskan udara dingin, namun Milah merasakan keringat mulai menetes di pelipisnya.Ia terngiang perdebatan cukup sengit dirinya dan Tony kemarin pagi di ruang bezuk untuk tahanan polres. Pada akhirnya Milah setuju untuk melakukan saran dari Pak Lutfi, pengacara terbaik di kota itu yang disewa keluarga Tony.Awalnya ia menolak mentah-mentah untuk bicara pada Aliya, rival yang paling dibencinya di kantor ini. Namun, Tony telah menawarkannya sebuah rumah dan mobil serta pengalihan usaha keluarga Tony atas nama Milah, jika ia berhasil membujuk Aliya.Pernikahan mereka pun akan segera dilangsungkan dengan mewah, jika Tony bisa dibebaskan. Milah berpikir cukup keras siang itu. Apa yang ditawarkan Tony, memang sangat menarik. Dulu ia mengincar Tony yang memang berasal dari keluarga sukses dan kaya.Terlebih lagi, ia telah menggembar-gemborkan soal di
Hari-hari yang dilalui Aliya setelah terungkap dalang dibalik usaha penculikan dirinya beberapa hari lalu, cukup merepotkan.Rekan-rekan kerja sekantor akhirnya mengetahui bahwa tunangan Milah menjadi tersangka dan dalam proses persidangan. Milah dan Titha sendiri akhirnya mengundurkan diri dari lembaga kursus, tempat selama ini mereka menjadi part-timer.Aliya sempat mendapatkan permintaan maaf dari rekan-rekan full-timer yang sebelumnya memperlakukan Aliya dengan tidak baik.Sementara hubungan Aliya, Elang dan Ridwan semakin akrab. Begitu pula dengan Diani, meskipun baru sebatas komunikasi melalui medsos, antar akun mereka.Malam itu, Aliya berada di ruang tengah dan sedang bertukar komentar dengan Ridwan dan Diani. Tiba-tiba sudut mata Aliya menangkap sekelebat bayangan dari ruang dapur yang tanpa sekat itu.Aliya menoleh ke arah dapur. Namun ia tidak mendapatkan apapun dalam penglihatannya. Ia lalu kembali melihat ke ponselnya
Seluruh otot dalam tubuh Aliya serasa menegang. Ia memegang erat-erat cutterkecil yang ia ambil dari dalam laci lemari pakaiannya, dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang ponsel.Suara pintu pagar terdengar dibuka. Dan sepasang langkah kaki mendekat ke arah pintu. Kamar Aliya yang memang berada di depan, memungkinkan Aliya mendengar semua itu dengan cukup jelas.Drrrrtt…Suara getar dari panggilan masuk, terasa di tangan kiri Aliya. Ia buru-buru mengangkat ponselnya dan bergegas menjawab begitu melihat nama peneleponnya. Sebersit rasa lega terasa di hatinya.“Elang, tadi aku telpon, sepertinya ada orang di…”‘Aku di depan rumahmu, Al,’ potong suara dari seberang telepon yang ternyata Elang itu.Aliya menarik handel pintu kamar dan bergegas menuju pintu depan lalu membukanya. Matanya sempat melirik ke arah dapur beberapa kali.Pintu terbuka, Aliya membuka suara &ldq
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj