“Apa tadi kau bilang?” Aliya bertanya tak percaya.
“Kau adalah wanita yang telah saya cari selama bertahun-tahun ini,” ulang Elang dengan mata menatap lurus pada Aliya.
“Aku…” Aliya memundurkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Apa kau akan percaya jika saya bilang seperti itu?” tanya Elang.
“Maksudmu?”
Elang tersenyum. “Saya hanya bercanda.”
“Ah….” Aliya menghembuskan napas lega. Namun sejurus kemudian, ia melihat kelopak mata Elang yang meredup.
“Kau tidak benar-benar mencariku selama sebelas tahun kan?” kedua mata Aliya terpicing.
“Tidak,” sahut Elang lalu mengangkat gelasnya, dan meminum jus alpukat itu lagi. Ia mengalihkan pandangannya ke samping.
Aliya memperhatikan Elang.
‘Anggun sekali. Bahkan caranya minum pun terlihat begitu elegan. Artistik…’ batin Aliya tan
Pagar besi tinggi berwarna hitam itu bergeser otomatis, tatkala sebuah mobil pajero putih mendekat. Pagar itu lalu menutup kembali ketika mobil telah melewati dan masuk ke dalamnya. Melalui deretan pohon palm tinggi di sisi kanan, seratus meter kemudian mobil itu berhenti di teras depan rumah dengan empat pilar besar yang menambah kemegahan bangunan tiga lantai dengan dominan cat berwarna putih itu. Seorang lelaki paruh baya dengan seragam berwarna hitam putih bergegas mendekat ke arah pintu kemudi. Tangannya hendak terulur untuk membuka pintu, namun pintu itu telah lebih dulu dibuka dari dalam mobil. Kaki panjang yang terbalut celana jeans berwarna navy tampak menjejak paving block di bawahnya. “Maaf saya terlambat, Den,” lelaki paruh baya itu membungkuk menyapa sekaligus meminta maaf pada pria yang keluar dari dalam mobil. “Tidak apa Pak Soleh,” sahut pria itu dengan tersenyum. Ia lalu melangkah menapaki tiga anak tangga menuju dua pintu bes
“Jadii… How was it?” Diani langsung bertanya begitu Aliya duduk di kursi dan meletakkan ranselnya. “Aman?” tanya Diani lagi. “Aman, Miss…” Aliya tersenyum lalu mengeluarkan map dari dalam tasnya. “Ternyata tidak semenakutkan itu.” “Syukur deh kalau gitu. Miss dah tenang berarti sekarang ya? Gratitude has been said, terus sudah kenal juga sama orangnya…” “Ya. Meskipun rasanya masih kurang plong…” sahut Aliya. “Kenapa?” “Dia telah banyak menolongku, Miss. Aku hanya mengucapkan terima kasih ala kadarnya. Rasanya tidak sebanding dengan apa yang dia lakukan terhadapku.” “Well ya mungkin tidak juga,” komentar Diani. “Kalau dia orang baik, dia pasti tulus saat membantumu Miss dan gak akan mengharap imbalan apa-apa. Tapi kalau ada udang di balik bakwan, sikat aja!” Aliya tertawa kecil. “Enak tuh, bakwan…” “So, dia orang sini?” Aliya menggeleng. “Nope. Dia orang Bandung katanya. Tapi lahir di Jerman.” “Wu
“Miss,” Diani menegur pelan. “Don’t be impulsive…”“Tenang Miss,” sahut Aliya dengan mata tetap terarah pada Milah.“Oh, taruhan?” Milah tersenyum miring. “Siapa takut? Saya tanya sekali lagi nih, kalau Miss ga bisa hadir dengan suami, Miss akan lakukan apapun kata saya?”Aliya mengangguk tenang. “Ya.”“Apapun? Termasuk…” Milah menjeda perkataannya. “Keluar kerja dari sini?” tanyanya dengan sudut bibir kiri tertarik ke atas.“Miss, jangan keterlaluan lah,” tegur Diani. Kali ini ia tujukan pada Milah.“Siapa yang keterlaluan? She asks for it,” kilah Milah santai.“Gimana, Miss? Berani?”Aliya terdiam sekian detik sebelum akhirnya ia mengangguk. “Oke. Kenapa mesti tidak berani?”“Hahaha. Oke!” kata Milah dengan tawanya yang membuat sakit telinga Aliy
Tut.Panggilan terputus.Aliya tertegun. Tangan yang memegang ponsel pun terkulai lemas.Meskipun kalimat seperti yang diucapkan Bisma mungkin sudah tidak mengagetkan dirinya lagi, namun ia tetap terpukul.Ia tak pernah menyangka akhirnya beginilah nasib rumah tangga yang telah sekuat dan sepenuh hati ia perjuangkan. Dengan menentang orangtuanya, dengan memendam segalanya sendiri.Meski ia merasa dirinya kuat, tak urung ia menekuk kedua lutut, memeluknya, lalu menundukkan kepala dan membenamkannya di antara tekukan lutut itu.Dengan bahu bergetar pelan, tangis tanpa suara pun pecah pada malam hari itu.* * *Pagi hari ini Aliya telah menelepon mbak Tri. Ia meminta izin tidak masuk untuk mengajar hari ini. Untungnya ia hanya punya jadwal satu kelas saja. Dan itu akan di take overoleh Nilam.Ia berencana hanya berdiam di rumah. Tidak akan melakukan apapun. Rebahan, minum, mungkin sedikit makan, lalu rebahan
“Halo…” sebuah suara terdengar menyahut dari seberang telepon.“Ha-halo…” sedikit gugup Aliya merespon. Meskipun baru pertama kali bertemu Elang, Aliya tahu suara di seberang telepon itu bukanlah milik Elang.“Teh Aliya ya? Halo. Syukurlah teh Aliya kontak balik saya. Saya sempat khawatir. Saya sempat tanya teman teh Aliya, katanya hari ini teh Aliya absen kerja.Teh Aliya sehat? Baik-baik saja kan?” suara nyerocos itu tak kuasa dihentikan oleh Aliya.“Sa-saya…” Aliya bergumam bingung.“Ah, lupa. Maaf teh… salam kenal. Saya Ridwan. Lengkapnya Ridwan Bastian. Saya teman paaaling dekat nya Einhard,” lanjut suara di seberang sana.“I-iya,” jawab Aliya. “Salam kenal, Ridwan. Maaf saya baru telepon balik. Memang sejak pagi saya lupa nyalakan hape. Ada apa ya?”Terdengar suara berdehem dari Ridwan. “Maaf saya sampai terpaksa kontak
Aliya menepis pikiran anehnya. Meskipun ia akui hal ini memang agak aneh, namun entah mengapa, Aliya merasa baik-baik saja dengan itu.Tidak ada rasa cemas berlebih ataupun rasa takut oleh seseorang yang terbilang masih asing dengannya namun seolah mengetahui setiap kondisi dirinya.Lebih jauh lagi, Aliya cukup terkejut dengan keadaannya saat ini. Setelah berbicara di telepon dengan Ridwan tadi dan membaca postingan Elang yang ditujukan untuknya, Aliya merasa sedikit lebih tenang. Tidak lagi perasaannya dalam kemelut seperti kemarin malam.Entah bagaimana menjelaskannya, Aliya kini merasa seperti ‘tak sendirian’.* * *Kediaman Einhard di Bogor.“Nah gitu, katanya. Teh Aliya baik-baik aja,” ujar Ridwan sesaat setelah menutup telepon dari Aliya.Ia menoleh ke arah Elang yang tengah duduk termenung dengan tangan terlipat membentuk segitiga dan menopang dagunya.“Sudah ngga perlu cemas lagi kan?&rdquo
Hari ini Aliya datang lebih pagi. Ia memiliki kelas anak-anak di jam sepuluh. Sekitar empat puluh menit lagi.Begitu pula Diani. Ia memiliki kelas anak pada hari ini, sehingga mereka kini duduk berdampingan lagi di ruang guru pagi itu.“Syukurlah Miss Aliya sehat. Gue sempet mikir mau mampir ke rumah Miss Aliya, kalau sampai sore ini ga ada kabar juga,” cetus Diani membuka percakapan.Aliya tersenyum. “I’m perfectly alright, Miss. Hanya…” Aliya terdiam.“Kenapa?”“Ah, tidak. Tak apa-apa…” jawab Aliya.“Eh iya Miss, kemarin yang nelpon dirimu memang Ridwan tampaknya,” Aliya mengubah topik pembicaraan.“Ridwan yang balesin komen di fb itu? Beneran teman Einhard itu?” tanya Diani.“Iya betul, Miss,” angguk Aliya. “Memang benar temannya Elang.”“Elang?”“Ah, iya aku lupa cerita. Elang i
“Miss, sepertinya aku tidak akan lama lagi harus keluar dari sini. Mencari pekerjaan lainnya,” ujar Aliya pelan.“Loh, kenapa?” Diani mengernyitkan kening.“Sepertinya aku akan kalah taruhan,” ujar Aliya dengan senyuman lemah di bibirnya.“How come? Suami Miss Aliya menolak untuk datang bersamamu ke jamuan nanti?” Diani menerka.“Ya, Miss. Kalaupun aku datang, aku hanya akan datang sendiri,” jawab Aliya.“Sorry asking this, tapi apa Miss Aliya tidak minta ke suami Miss, untuk menemani Miss kali ini? Apa Miss tidak cerita soal taruhan itu?”Sejenak terdiam dan berpikir, Aliya akhirnya memutuskan untuk sedikit bercerita pada Diani. Meskipun tidak secara mendetail, tapi Aliya memberitahukan pada Diani garis besarnya.Aliya bukan tipe seseorang yang mudah curhat kepada orang lain. Bahkan sejak masa ia sekolah dulu, ia lah yang sering menjadi tempat curhatan teman-tema