“Miss,” Diani menegur pelan. “Don’t be impulsive…”
“Tenang Miss,” sahut Aliya dengan mata tetap terarah pada Milah.
“Oh, taruhan?” Milah tersenyum miring. “Siapa takut? Saya tanya sekali lagi nih, kalau Miss ga bisa hadir dengan suami, Miss akan lakukan apapun kata saya?”
Aliya mengangguk tenang. “Ya.”
“Apapun? Termasuk…” Milah menjeda perkataannya. “Keluar kerja dari sini?” tanyanya dengan sudut bibir kiri tertarik ke atas.
“Miss, jangan keterlaluan lah,” tegur Diani. Kali ini ia tujukan pada Milah.
“Siapa yang keterlaluan? She asks for it,” kilah Milah santai.
“Gimana, Miss? Berani?”
Aliya terdiam sekian detik sebelum akhirnya ia mengangguk. “Oke. Kenapa mesti tidak berani?”
“Hahaha. Oke!” kata Milah dengan tawanya yang membuat sakit telinga Aliy
Tut.Panggilan terputus.Aliya tertegun. Tangan yang memegang ponsel pun terkulai lemas.Meskipun kalimat seperti yang diucapkan Bisma mungkin sudah tidak mengagetkan dirinya lagi, namun ia tetap terpukul.Ia tak pernah menyangka akhirnya beginilah nasib rumah tangga yang telah sekuat dan sepenuh hati ia perjuangkan. Dengan menentang orangtuanya, dengan memendam segalanya sendiri.Meski ia merasa dirinya kuat, tak urung ia menekuk kedua lutut, memeluknya, lalu menundukkan kepala dan membenamkannya di antara tekukan lutut itu.Dengan bahu bergetar pelan, tangis tanpa suara pun pecah pada malam hari itu.* * *Pagi hari ini Aliya telah menelepon mbak Tri. Ia meminta izin tidak masuk untuk mengajar hari ini. Untungnya ia hanya punya jadwal satu kelas saja. Dan itu akan di take overoleh Nilam.Ia berencana hanya berdiam di rumah. Tidak akan melakukan apapun. Rebahan, minum, mungkin sedikit makan, lalu rebahan
“Halo…” sebuah suara terdengar menyahut dari seberang telepon.“Ha-halo…” sedikit gugup Aliya merespon. Meskipun baru pertama kali bertemu Elang, Aliya tahu suara di seberang telepon itu bukanlah milik Elang.“Teh Aliya ya? Halo. Syukurlah teh Aliya kontak balik saya. Saya sempat khawatir. Saya sempat tanya teman teh Aliya, katanya hari ini teh Aliya absen kerja.Teh Aliya sehat? Baik-baik saja kan?” suara nyerocos itu tak kuasa dihentikan oleh Aliya.“Sa-saya…” Aliya bergumam bingung.“Ah, lupa. Maaf teh… salam kenal. Saya Ridwan. Lengkapnya Ridwan Bastian. Saya teman paaaling dekat nya Einhard,” lanjut suara di seberang sana.“I-iya,” jawab Aliya. “Salam kenal, Ridwan. Maaf saya baru telepon balik. Memang sejak pagi saya lupa nyalakan hape. Ada apa ya?”Terdengar suara berdehem dari Ridwan. “Maaf saya sampai terpaksa kontak
Aliya menepis pikiran anehnya. Meskipun ia akui hal ini memang agak aneh, namun entah mengapa, Aliya merasa baik-baik saja dengan itu.Tidak ada rasa cemas berlebih ataupun rasa takut oleh seseorang yang terbilang masih asing dengannya namun seolah mengetahui setiap kondisi dirinya.Lebih jauh lagi, Aliya cukup terkejut dengan keadaannya saat ini. Setelah berbicara di telepon dengan Ridwan tadi dan membaca postingan Elang yang ditujukan untuknya, Aliya merasa sedikit lebih tenang. Tidak lagi perasaannya dalam kemelut seperti kemarin malam.Entah bagaimana menjelaskannya, Aliya kini merasa seperti ‘tak sendirian’.* * *Kediaman Einhard di Bogor.“Nah gitu, katanya. Teh Aliya baik-baik aja,” ujar Ridwan sesaat setelah menutup telepon dari Aliya.Ia menoleh ke arah Elang yang tengah duduk termenung dengan tangan terlipat membentuk segitiga dan menopang dagunya.“Sudah ngga perlu cemas lagi kan?&rdquo
Hari ini Aliya datang lebih pagi. Ia memiliki kelas anak-anak di jam sepuluh. Sekitar empat puluh menit lagi.Begitu pula Diani. Ia memiliki kelas anak pada hari ini, sehingga mereka kini duduk berdampingan lagi di ruang guru pagi itu.“Syukurlah Miss Aliya sehat. Gue sempet mikir mau mampir ke rumah Miss Aliya, kalau sampai sore ini ga ada kabar juga,” cetus Diani membuka percakapan.Aliya tersenyum. “I’m perfectly alright, Miss. Hanya…” Aliya terdiam.“Kenapa?”“Ah, tidak. Tak apa-apa…” jawab Aliya.“Eh iya Miss, kemarin yang nelpon dirimu memang Ridwan tampaknya,” Aliya mengubah topik pembicaraan.“Ridwan yang balesin komen di fb itu? Beneran teman Einhard itu?” tanya Diani.“Iya betul, Miss,” angguk Aliya. “Memang benar temannya Elang.”“Elang?”“Ah, iya aku lupa cerita. Elang i
“Miss, sepertinya aku tidak akan lama lagi harus keluar dari sini. Mencari pekerjaan lainnya,” ujar Aliya pelan.“Loh, kenapa?” Diani mengernyitkan kening.“Sepertinya aku akan kalah taruhan,” ujar Aliya dengan senyuman lemah di bibirnya.“How come? Suami Miss Aliya menolak untuk datang bersamamu ke jamuan nanti?” Diani menerka.“Ya, Miss. Kalaupun aku datang, aku hanya akan datang sendiri,” jawab Aliya.“Sorry asking this, tapi apa Miss Aliya tidak minta ke suami Miss, untuk menemani Miss kali ini? Apa Miss tidak cerita soal taruhan itu?”Sejenak terdiam dan berpikir, Aliya akhirnya memutuskan untuk sedikit bercerita pada Diani. Meskipun tidak secara mendetail, tapi Aliya memberitahukan pada Diani garis besarnya.Aliya bukan tipe seseorang yang mudah curhat kepada orang lain. Bahkan sejak masa ia sekolah dulu, ia lah yang sering menjadi tempat curhatan teman-tema
‘Oh please… Dari sekian banyak tempat, sekian banyak hari dan jam… Kenapa harus ketemu makhluk satu ini di sini dan sekarang??’Aliya merutuk dalam hati.“Hei, kok bengong? Bingung ya, mau beli baju tapi mahal-mahal semua?” Suara agak cempreng dan genit itu terdengar lagi.Aliya menoleh dan tersenyum. “Ngga juga, Miss Milah. Belum nemu yang cocok aja…”“Belum nemu yang cocok, atau belum mampu?” Milah lalu mendekati rak di sebelah Aliya berdiri.“Mana aja, boleh,” jawab Aliya santai.“Makanya Miss, jangan sampai salah pilih suami. Cari yang bisa diandalkan dong,” kata Miss Milah sambil melihat-lihat pakaian yang tergantung di rak itu. “Kalo liat Miss Aliya yang segitunya banting tulang, saya curiga suami Miss Aliya ngga bisa diandalkan, yah?”Cess.Meskipun Milah mengucapkan kalimat itu dengan sembrono dan terlihat asa
‘Gapapa menurut gue sih, dateng ya dateng aja Miss,’ suara Diani dari ujung telepon terdengar.Aliya dan Diani tengah terlibat percakapan melalui telepon selular mereka. Dua hari lagi acara perjamuan yang selalu diributkan oleh Milah dan Titha.Aliya juga sempat menanyakan soal kepergian Diani. Namun Aliya harus kecewa, karena Diani tetap tidak bisa hadir pada acara jamuan itu.Aliya yang sempat ingin membatalkan kehadirannya juga, di dorong Diani untuk tetap hadir sekadar having fun.“Iya sih… Aku pikir juga gitu. Dateng sendirian, no problem lah. Kalah taruhan, ya tinggal cari kerja tempat lain,” cetus Aliya.‘Apa Miss mau gue ngomong sama Miss Milah untuk batalin taruhan itu?’ tawar Diani pada Aliya.“Ih jangan Miss! Ngapain. Ga perlu. Aku hadapi dengan jantan. Eh, betina…” sahut Aliya lalu tertawa.‘Iya bener juga. Meskipun kalah taruhan, but lost it with
Aliya telah dalam keadaan terjatuh telentang di rerumputan. Namun kedua kakinya masih meronta dan menendang. Salah satu penyerang lalu menduduki tubuh Aliya. Sementara penyerang lainnya menahan kedua tangan Aliya kuat-kuat di atas kepala Aliya. Dengan masih berusaha melakukan perlawanan, Aliya menatap nyalang dan penuh ketakutan ke arah penyerang itu. Ia tidak bisa mengenali wajah si penyerang karena helm full faceyang ia gunakan. Keringat lelah dan keringat dingin mengucur di seluruh tubuh Aliya. Sekuat apapun ia meronta, seakan sia-sia. Tak pernah ia menyangka, hal seperti ini akan terjadi padanya. Wajahnya kini tak hanya bersimbah peluh, namun pula airmata. Ia yang dibekap kuat -menutupi hidung dan mulutnya- membuat napasnya terengah dan mulai kesulitan menghirup udara. Si penyerang yang menduduki tubuhnya merunduk ke arah Aliya. Tangan kirinya yang masih terbebas, merogoh sakunya. Sebuah kain kecil kini berada di tangannya.