Hari ini Aliya datang lebih pagi. Ia memiliki kelas anak-anak di jam sepuluh. Sekitar empat puluh menit lagi.
Begitu pula Diani. Ia memiliki kelas anak pada hari ini, sehingga mereka kini duduk berdampingan lagi di ruang guru pagi itu.
“Syukurlah Miss Aliya sehat. Gue sempet mikir mau mampir ke rumah Miss Aliya, kalau sampai sore ini ga ada kabar juga,” cetus Diani membuka percakapan.
Aliya tersenyum. “I’m perfectly alright, Miss. Hanya…” Aliya terdiam.
“Kenapa?”
“Ah, tidak. Tak apa-apa…” jawab Aliya.
“Eh iya Miss, kemarin yang nelpon dirimu memang Ridwan tampaknya,” Aliya mengubah topik pembicaraan.
“Ridwan yang balesin komen di fb itu? Beneran teman Einhard itu?” tanya Diani.
“Iya betul, Miss,” angguk Aliya. “Memang benar temannya Elang.”
“Elang?”
“Ah, iya aku lupa cerita. Elang i
“Miss, sepertinya aku tidak akan lama lagi harus keluar dari sini. Mencari pekerjaan lainnya,” ujar Aliya pelan.“Loh, kenapa?” Diani mengernyitkan kening.“Sepertinya aku akan kalah taruhan,” ujar Aliya dengan senyuman lemah di bibirnya.“How come? Suami Miss Aliya menolak untuk datang bersamamu ke jamuan nanti?” Diani menerka.“Ya, Miss. Kalaupun aku datang, aku hanya akan datang sendiri,” jawab Aliya.“Sorry asking this, tapi apa Miss Aliya tidak minta ke suami Miss, untuk menemani Miss kali ini? Apa Miss tidak cerita soal taruhan itu?”Sejenak terdiam dan berpikir, Aliya akhirnya memutuskan untuk sedikit bercerita pada Diani. Meskipun tidak secara mendetail, tapi Aliya memberitahukan pada Diani garis besarnya.Aliya bukan tipe seseorang yang mudah curhat kepada orang lain. Bahkan sejak masa ia sekolah dulu, ia lah yang sering menjadi tempat curhatan teman-tema
‘Oh please… Dari sekian banyak tempat, sekian banyak hari dan jam… Kenapa harus ketemu makhluk satu ini di sini dan sekarang??’Aliya merutuk dalam hati.“Hei, kok bengong? Bingung ya, mau beli baju tapi mahal-mahal semua?” Suara agak cempreng dan genit itu terdengar lagi.Aliya menoleh dan tersenyum. “Ngga juga, Miss Milah. Belum nemu yang cocok aja…”“Belum nemu yang cocok, atau belum mampu?” Milah lalu mendekati rak di sebelah Aliya berdiri.“Mana aja, boleh,” jawab Aliya santai.“Makanya Miss, jangan sampai salah pilih suami. Cari yang bisa diandalkan dong,” kata Miss Milah sambil melihat-lihat pakaian yang tergantung di rak itu. “Kalo liat Miss Aliya yang segitunya banting tulang, saya curiga suami Miss Aliya ngga bisa diandalkan, yah?”Cess.Meskipun Milah mengucapkan kalimat itu dengan sembrono dan terlihat asa
‘Gapapa menurut gue sih, dateng ya dateng aja Miss,’ suara Diani dari ujung telepon terdengar.Aliya dan Diani tengah terlibat percakapan melalui telepon selular mereka. Dua hari lagi acara perjamuan yang selalu diributkan oleh Milah dan Titha.Aliya juga sempat menanyakan soal kepergian Diani. Namun Aliya harus kecewa, karena Diani tetap tidak bisa hadir pada acara jamuan itu.Aliya yang sempat ingin membatalkan kehadirannya juga, di dorong Diani untuk tetap hadir sekadar having fun.“Iya sih… Aku pikir juga gitu. Dateng sendirian, no problem lah. Kalah taruhan, ya tinggal cari kerja tempat lain,” cetus Aliya.‘Apa Miss mau gue ngomong sama Miss Milah untuk batalin taruhan itu?’ tawar Diani pada Aliya.“Ih jangan Miss! Ngapain. Ga perlu. Aku hadapi dengan jantan. Eh, betina…” sahut Aliya lalu tertawa.‘Iya bener juga. Meskipun kalah taruhan, but lost it with
Aliya telah dalam keadaan terjatuh telentang di rerumputan. Namun kedua kakinya masih meronta dan menendang. Salah satu penyerang lalu menduduki tubuh Aliya. Sementara penyerang lainnya menahan kedua tangan Aliya kuat-kuat di atas kepala Aliya. Dengan masih berusaha melakukan perlawanan, Aliya menatap nyalang dan penuh ketakutan ke arah penyerang itu. Ia tidak bisa mengenali wajah si penyerang karena helm full faceyang ia gunakan. Keringat lelah dan keringat dingin mengucur di seluruh tubuh Aliya. Sekuat apapun ia meronta, seakan sia-sia. Tak pernah ia menyangka, hal seperti ini akan terjadi padanya. Wajahnya kini tak hanya bersimbah peluh, namun pula airmata. Ia yang dibekap kuat -menutupi hidung dan mulutnya- membuat napasnya terengah dan mulai kesulitan menghirup udara. Si penyerang yang menduduki tubuhnya merunduk ke arah Aliya. Tangan kirinya yang masih terbebas, merogoh sakunya. Sebuah kain kecil kini berada di tangannya.
Aliya mengerjapkan matanya. Ia menatap langit-langit kamar di atasnya, beberapa saat. Ia telah bangun sekitar dua puluh menit lalu, namun dirinya masih terpaku di tempat tidur miliknya, dengan pikiran mengawang-awang. Seluruh badan terasa begitu nyeri dan linu. Terdapat memar di pergelangan tangan dan beberapa goresan -mungkin terkena ranting kering atau semak belukar- di tangan dan juga kakinya. Aliya menghela napas. Ia sungguh bersyukur telah selamat lagi dari tragedi yang hampir menimpanya tadi malam. Elang datang menolongnya kembali. Semalaman tadi ia tak bisa memejamkan mata. Rasa takut masih menghinggapinya. Namun ia bisa mendengar suara mesin mobil pajero milik Elang yang berada di dekat rumah. Tampaknya ia menunggui Aliya dan sengaja tidak mematikan mesin mobilnya agar Aliya tahu, ia masih di sana. Sampai akhirnya Aliya pun jatuh tertidur dengan perasaan takut yang telah berkurang. Elang. Ia teringat semalam Elang sempa
Aliya memejamkan kedua mata dan mengatupkan giginya. Tangannya bergerak cepat dan kesal mengetikkan beberapa kata. Lalu ia kirimkan.[Siapa bilang saya ga datang? Jangan kebanyakan denger berita hoax, Babe!]‘You want battle? I’ll give you war!’Aliya lalu melempar ponselnya ke tempat tidur.Kali ini ia tidak hendak menahan diri lebih jauh lagi. Kedua tangan Aliya bertengger di pinggang rampingnya. Dadanya terlihat naik turun sedikit lebih cepat. “The heck! Aku ladenin kamu, Mil!” desis Aliya geram. Suara pesan masuk kembali terdengar. Dengan gusar Aliya meraih ponsel tersebut.[Okee! See you there!]Aliya lalu melakukan panggilan telepon ke nomor Nilam. Dalam tiga dering, Nilam menjawab.‘Hello Mis?’“Aku besok jadi ikut, Miss. Ketemuan di mana?”‘Wah? Seriusan? Oke, oke. Kita ketemu depan ITC aja ya. Kita via tol aja nanti, b
Aliya dan Nilam telah berdiri di pintu utama sebuah hotel berbintang lima yang dijadikan tempat perjamuan Bastian, pemilik lembaga kursus tempat mereka bekerja.Semula sang pemilik, Mister Bastian akan mengadakan jamuan itu di pusat Kota Bogor, namun terjadi perubahan lokasi. Acara diadakan di sekitar Cisarua Bogor, di satu hotel berbintang lima yang terbilang masih baru namun menjadi buah bibir karena kemegahannya.Mata Nilam berbinar melihat kemegahan bagian depan hotel tersebut. Sementara Aliya pun tak luput dari mengagumi eksterior hotel bintang lima itu yang tampak memukau.“Ayo, masuk,” ajak Nilam sambil meraih pergelangan tangan Aliya.Mereka berdua lalu menuju lift, setelah petugas resepsionis memberitahu mereka ballroom tempat perjamuan itu diadakan.Keluar dari lift, mereka langsung melangkahkan kaki memasuki ballroomutama yang berada di lantai tiga hotel itu. Lagi-lagi keduanya berdecak kagum, melihat
Milah melangkahkan kaki dengan anggun dan arogan. Tangan kanan Milah memegang lengan Tony, tunangannya.Milah menggunakan halter dressberwarna silver dengan belahan panjang hingga atas lutut kirinya. Rambutnya di sanggul tinggi memperlihatkan leher serta punggungnya yang sedikit terbuka.Dengan wajah angkuh ia berjalan bersama Tony menghampiri Aliya dan Nilam. “Oulalaa… Look who’s here…” ujar Milah begitu sampai di tempat Aliya dan Nilam berdiri.“Hai Miss,” sapa Nilam sambil tersenyum.Milah mengabaikan sapaan Nilam dan memindai Aliya dari atas ke bawah lalu ke atas kembali. Ia pun sedikit tergelak dalam tawa melihat penampilan Aliya lalu segera meluncurkan hinaannya. “Sudah saya duga pasti begini penampilan kamu, Miss. Lucu sekali…” cemooh Milah tanpa basa basi.“Lucu bagaimana?” tanya Aliya dengan tenang. “Saya ngga s