Aliya mengerjapkan matanya. Ia menatap langit-langit kamar di atasnya, beberapa saat.
Ia telah bangun sekitar dua puluh menit lalu, namun dirinya masih terpaku di tempat tidur miliknya, dengan pikiran mengawang-awang.
Seluruh badan terasa begitu nyeri dan linu. Terdapat memar di pergelangan tangan dan beberapa goresan -mungkin terkena ranting kering atau semak belukar- di tangan dan juga kakinya.
Aliya menghela napas. Ia sungguh bersyukur telah selamat lagi dari tragedi yang hampir menimpanya tadi malam. Elang datang menolongnya kembali.
Semalaman tadi ia tak bisa memejamkan mata. Rasa takut masih menghinggapinya. Namun ia bisa mendengar suara mesin mobil pajero milik Elang yang berada di dekat rumah.
Tampaknya ia menunggui Aliya dan sengaja tidak mematikan mesin mobilnya agar Aliya tahu, ia masih di sana. Sampai akhirnya Aliya pun jatuh tertidur dengan perasaan takut yang telah berkurang.
Elang.
Ia teringat semalam Elang sempa
Aliya memejamkan kedua mata dan mengatupkan giginya. Tangannya bergerak cepat dan kesal mengetikkan beberapa kata. Lalu ia kirimkan.[Siapa bilang saya ga datang? Jangan kebanyakan denger berita hoax, Babe!]‘You want battle? I’ll give you war!’Aliya lalu melempar ponselnya ke tempat tidur.Kali ini ia tidak hendak menahan diri lebih jauh lagi. Kedua tangan Aliya bertengger di pinggang rampingnya. Dadanya terlihat naik turun sedikit lebih cepat. “The heck! Aku ladenin kamu, Mil!” desis Aliya geram. Suara pesan masuk kembali terdengar. Dengan gusar Aliya meraih ponsel tersebut.[Okee! See you there!]Aliya lalu melakukan panggilan telepon ke nomor Nilam. Dalam tiga dering, Nilam menjawab.‘Hello Mis?’“Aku besok jadi ikut, Miss. Ketemuan di mana?”‘Wah? Seriusan? Oke, oke. Kita ketemu depan ITC aja ya. Kita via tol aja nanti, b
Aliya dan Nilam telah berdiri di pintu utama sebuah hotel berbintang lima yang dijadikan tempat perjamuan Bastian, pemilik lembaga kursus tempat mereka bekerja.Semula sang pemilik, Mister Bastian akan mengadakan jamuan itu di pusat Kota Bogor, namun terjadi perubahan lokasi. Acara diadakan di sekitar Cisarua Bogor, di satu hotel berbintang lima yang terbilang masih baru namun menjadi buah bibir karena kemegahannya.Mata Nilam berbinar melihat kemegahan bagian depan hotel tersebut. Sementara Aliya pun tak luput dari mengagumi eksterior hotel bintang lima itu yang tampak memukau.“Ayo, masuk,” ajak Nilam sambil meraih pergelangan tangan Aliya.Mereka berdua lalu menuju lift, setelah petugas resepsionis memberitahu mereka ballroom tempat perjamuan itu diadakan.Keluar dari lift, mereka langsung melangkahkan kaki memasuki ballroomutama yang berada di lantai tiga hotel itu. Lagi-lagi keduanya berdecak kagum, melihat
Milah melangkahkan kaki dengan anggun dan arogan. Tangan kanan Milah memegang lengan Tony, tunangannya.Milah menggunakan halter dressberwarna silver dengan belahan panjang hingga atas lutut kirinya. Rambutnya di sanggul tinggi memperlihatkan leher serta punggungnya yang sedikit terbuka.Dengan wajah angkuh ia berjalan bersama Tony menghampiri Aliya dan Nilam. “Oulalaa… Look who’s here…” ujar Milah begitu sampai di tempat Aliya dan Nilam berdiri.“Hai Miss,” sapa Nilam sambil tersenyum.Milah mengabaikan sapaan Nilam dan memindai Aliya dari atas ke bawah lalu ke atas kembali. Ia pun sedikit tergelak dalam tawa melihat penampilan Aliya lalu segera meluncurkan hinaannya. “Sudah saya duga pasti begini penampilan kamu, Miss. Lucu sekali…” cemooh Milah tanpa basa basi.“Lucu bagaimana?” tanya Aliya dengan tenang. “Saya ngga s
“Ha-halo…” sapa Milah dengan senyum terbaiknya, saat pria itu berhenti melangkah di hadapannya. Namun, tak mengindahkan Milah yang menyapanya, sosok itu justru mengulurkan tangan kanannya menyentuh punggung Aliya yang baru saja mengakhiri percakapannya di ponsel. Aliya terkesiap kaget dan menoleh cepat. Napasnya tercekat. “Sayang, maaf aku terlambat…” pria itu menyapa dengan seulas senyuman yang sangat menawan. “A-apa yang…” Aliya terhenti. “Please jangan marah, aku sedikit terhambat oleh kerjaan,” ujar pria itu pelan dengan suara dalam dan terdengar seksi. Baik Milah dan Titha ternganga selebar-lebarnya. Kedua pasang mata mereka melihat bergantian pada pria tampan depan mereka dan pada Aliya. “Si-siapa dia, Miss?” tergagap Titha bertanya. Pria itu menoleh pada Titha, tanpa senyum. Nilam yang semula juga terperangah kaget, langsung berseru. “Oh, aku tahu! Kau suami Miss Aliya. Ya kan?” Pria itu menoleh dan tersenyum pada Nilam. “Senang bertemu dengan Anda, Miss….” “Nilam. Na
Aliya menundukkan kepalanya. Saat ini ia merutuki dadanya yang tak mau tenang. Ia berdiri kaku dan menggenggam kuat tali tas nya. “Aku ambilkan minum dulu untukmu,” Elang berkata lalu meninggalkan Aliya menuju meja lain tak jauh dari tempat mereka berdiri. Memperhatikan dari jauh, Aliya menata hati dan dirinya. Tampak olehnya semua mata wanita yang dilalui Elang, menoleh, melirik, bahkan terpaku pada Elang yang berjalan dengan tenang. Sampai Elang membawakan minum dan kembali padanya. “Ini,” Elang menyodorkan gelas kristal berkaki pada Aliya. “Tenang saja, ini bukan minuman keras. Tidak ada minuman beralkohol disini.” Aliya menerima gelas itu dari tangan Elang. Sekilas, jari mereka bersentuhan. Aliya buru-buru menarik tangannya. Jantungnya kembali berdebar cepat. ‘Duh. Help me please, God…’ Kedua bola mata Aliya melirik ke sekelilingnya untuk mengalihkan diri. Namun dengan segera ia merasakan bulu kuduknya meremang. Menerima hujaman tatapan iri dan cemburu dari berpasang-pasang m
“Bastian?” Milah membeo. “Yang mengadakan acara jamuan ini juga Mister Bastian. Bukan Mister Bastian ini, kan?”Steven mengayunkan sebelah tangannya. “Tentu saja bukan. Nama mereka kebetulan sama.”Milah mengangguk. “Iya, ya. Pastinya bukan.”“Seperti apa rupa Tuan Muda itu, Tuan?” kali ini Tony bertanya.“Ya, seperti apa rupanya?” timpal Milah bersemangat.Steven mengerutkan bibirnya. “Saya tidak dalam jarak yang cukup dekat untuk melihatnya. Tapi beliau jelas seorang pria muda yang cukup menarik.”Milah menghela napas kecewa, karena gambaran sosok ‘Tuan Muda misterius’ itu tidak ia dapatkan.‘Bastian, ya…? Hm…’ Milah mengingat nama itu baik-baik dalam hati.Dering sebuah telepon selular terdengar. Steven merogoh saku celananya dan mengambil ponsel miliknya. Ia lalu mendekatkan ponsel itu ke
Di sisi lain ballroom. Masih di bawah pandangan berpuluh pasang mata wanita yang tersirat kekaguman maupun kecemburuan, Aliya mulai menikmati pesta ini. Elang terus menemani dirinya, hingga tak merasa canggung lagi.Beberapa kali ia melirik ke arah Elang dan setiap kali itu pula, ia mengagumi fitur sempurna yang dimiliki Elang. Ada satu kesan yang tak dipahaminya, bahwa Elang --selain ketampanan nya yang memukau-- seolah menebarkan aura intimidatif yang tinggi, meski tanpa berkata apa-apa.“Maaf,” cetus Aliya tiba-tiba. “Untuk?”“Mungkin aku membuatmu malu. Penampilanku. Meskipun kau tadi hanya berpura-pura sebagai.. emm.. pasanganku, tapi…”“Tidak,” potong Elang. “Tidak ada yang salah dengan itu. Yang menentukan bagaimana dan siapa kau, adalah pribadimu, bukan pakaianmu.”“Emm..”“Kecuali kau kesini memakai pakaian olahraga. M
Aliya mempercepat langkah kakinya. Kedua orang yang ia lihat itu, menuju pintu keluar hotel. Ia terus mengikuti keduanya hingga tiba di pelataran parkir depan. Mereka menuju satu mobil sedan berwarna merah.Orang yang ia kenal, memasuki mobil dari pintu penumpang yang dibukakan oleh orang lainnya itu.Aliya terkesiap. Meskipun langit mulai gelap, kini ia bisa mengenali cukup jelas orang yang familiar itu.Dia adalah Bisma.Kedua mata Aliya lekat memandang ke arah Bisma dan orang lainnya itu. Bisma telah berada dalam mobil, begitu juga orang asing itu.Napasnya terhenti demi melihat adegan berikutnya.Mereka berciuman bibir.Bisma dan orang lainnya itu, seorang laki-laki juga, memadukan bibir mereka, seolah mereka telah terbiasa melakukannya. Bahkan tampak oleh Aliya dari kaca depan mobil mereka, Bisma melingkarkan sebelah tangannya pada laki-laki asing itu. Mereka terlihat memperdalam ciuman mereka itu.Petang telah berlalu, ma