Di sisi lain ballroom.
Masih di bawah pandangan berpuluh pasang mata wanita yang tersirat kekaguman maupun kecemburuan, Aliya mulai menikmati pesta ini. Elang terus menemani dirinya, hingga tak merasa canggung lagi.
Beberapa kali ia melirik ke arah Elang dan setiap kali itu pula, ia mengagumi fitur sempurna yang dimiliki Elang. Ada satu kesan yang tak dipahaminya, bahwa Elang --selain ketampanan nya yang memukau-- seolah menebarkan aura intimidatif yang tinggi, meski tanpa berkata apa-apa.
“Maaf,” cetus Aliya tiba-tiba.
“Untuk?”
“Mungkin aku membuatmu malu. Penampilanku. Meskipun kau tadi hanya berpura-pura sebagai.. emm.. pasanganku, tapi…”
“Tidak,” potong Elang. “Tidak ada yang salah dengan itu. Yang menentukan bagaimana dan siapa kau, adalah pribadimu, bukan pakaianmu.”
“Emm..”
“Kecuali kau kesini memakai pakaian olahraga. M
Aliya mempercepat langkah kakinya. Kedua orang yang ia lihat itu, menuju pintu keluar hotel. Ia terus mengikuti keduanya hingga tiba di pelataran parkir depan. Mereka menuju satu mobil sedan berwarna merah.Orang yang ia kenal, memasuki mobil dari pintu penumpang yang dibukakan oleh orang lainnya itu.Aliya terkesiap. Meskipun langit mulai gelap, kini ia bisa mengenali cukup jelas orang yang familiar itu.Dia adalah Bisma.Kedua mata Aliya lekat memandang ke arah Bisma dan orang lainnya itu. Bisma telah berada dalam mobil, begitu juga orang asing itu.Napasnya terhenti demi melihat adegan berikutnya.Mereka berciuman bibir.Bisma dan orang lainnya itu, seorang laki-laki juga, memadukan bibir mereka, seolah mereka telah terbiasa melakukannya. Bahkan tampak oleh Aliya dari kaca depan mobil mereka, Bisma melingkarkan sebelah tangannya pada laki-laki asing itu. Mereka terlihat memperdalam ciuman mereka itu.Petang telah berlalu, ma
Aliya bersin beberapa kali. Ia mengusap hidungnya yang terasa gatal.Kepalanya memindai seluruh ruang. Sekarang ia berada dalam presidential suite. Dari cara ia menatap ke beberapa sudut, meskipun sorot matanya tampak lesu, bisa terlihat pandangan kagum terhadap apa yang dilihatnya dalam kamar berukuran luar biasa luas itu.Dirinya sendiri sekarang duduk di sebuah sofa empuk di kamar tidur utama dalam presidential suite itu. Tubuhnya terbalut bath robe tebal namun lembut berwarna gading.Aliya menghela napas lesu. Campur aduk perasaannya kini, mengingat lagi-lagi Elang yang membantunya. Elang tadi datang dengan payung di tangannya dan menegurnya yang tengah berjongkok dalam guyuran hujan.Ia memang sempat merasakan, hujan seolah berhenti menerpa dirinya beberapa saat. Namun ia tak merasakan adanya Elang di belakang nya ataupun melihat bayangan sebuah payung yang menaungi dirinya. “Mungkin aku terlalu kosong pikiran, h
Pintu dibuka perlahan. Aliya berdiri dengan canggung di ambang pintu. Dengan gugup Aliya mengangkat kepalanya dan melihat ke arah pria yang telah menunggu di depan pintu kamar itu. Kini Aliya bisa melihat kedua bola mata coklat gelap milik Elang yang tengah menatapnya dengan sorot penuh makna yang tak bisa diterjemahkan Aliya. Pandangan mata mereka bertemu dan seolah saling mengunci untuk sesaat. “A-apa ini kelihatan aneh?” gugup Aliya bertanya untuk memutus kecanggungan yang ia rasakan. “Elang…” panggil Aliya ketika Elang tak merespon kalimat tanyanya. “Sama sekali tidak aneh,” akhirnya Elang menjawab. “Sangat… cocok.” Aliya tak tahu, bahwa Elang tengah tenggelam oleh pesona yang terpancarkan dari diri Aliya. “Kita turun sekarang?” kata Elang lagi. Aliya mengangguk ragu. Ia lalu menutup pintu kamar dan berjalan bersama Elang ke arah lift khusus ke kamar yang ditempati Aliya. Seorang bellboy berdiri di depan pintu lift dan menekan tombol untuk membukakan pintu bagi mereka. Da
Sepasang sepatu buatan tangan Stuart Weitzman yang bertaburan berlian, menghantar langkah Aliya memasuki ballroomkembali.Tamu yang berada dekat pintu ballroommenoleh ke arah Aliya. Mereka tampak seolah menahan napas saat Aliya berjalan perlahan melalui mereka.Tubuh ramping dengan tinggi 161 senti itu berbalut gaun sutra berwarna biru dongker dengan kilau batu berlian yang tersusun melingkari pinggang dan bagian bawah gaun.Ujung gaun bermodel mermaiditu mengayun lembut bagaikan gelombang air mengiringi setiap langkah kaki Aliya. Berpasang mata menoleh ke arah Aliya, terpana dan menatap takjub. Meski penuh dengan rasa canggung, ia berusaha tetap tenang menuju deretan meja-meja bundar yang tersusun rapi di area tengah.“Oh God… Miss Aliya!!” pekik Nilam tertahan begitu mereka bertemu. Nilam yang duduk di kursi dengan meja yang telah diberi nama kantor cabang mereka
Pandangan mata Milah lekat pada sosok Aliya yang begitu terlihat menawan dan anggun dengan gaun begitu terlihat mewah dan mahal. Tak sebanding dengan yang dikenakan dirinya sekarang.Aliya bahkan ditempatkan di meja VIP. Entah bagaimana Aliya bisa ditempatkan di sana. Mungkin ia perlu mempertanyakan hal ini nanti pada panitia. Bisa saja panitia salah menempatkan wanita itu di sana.Kebencian itu terus meningkat seiring pujian demi pujian yang ia dengar dari rekan-rekan satu kantor dan terutama dari Tony, tunangannya.“Lihat saja Aliya. Begitu gue berhasil mendapatkan perhatian Tuan Muda misterius itu, kamu ga akan bisa tersenyum sombong seperti itu lagi!” desisnya penuh kebencian.Ia lalu melirik ke sampingnya. Tempat Tony sedang duduk dan kedapatan melirik ke arah Aliya beberapa kali.‘Kau juga Tony. Lihat saja, kau akan segera gue tendang jauh-jauh saat gue menjadi kekasih Tuan Muda itu…!’Suara MC m
Aliya dan Nilam menoleh. “Elang…” Elang tersenyum lalu menarik kursi di samping kanan Aliya. “Makanlah, untuk memulihkan tenagamu,” kata Elang lalu mengambil mangkuk berisi sup sarang burung walet dan meletakkannya ke depan Aliya. “I-iya… Terima kasih…” sahut Aliya lalu menunduk memandang sup di depannya. Memang tampak menggiurkan. Elang mengambil sendok sup dari beberapa jenis sendok yang tertata di depan masing-masing kursi. Mengambil tisu untuk mengelap sekilas sendok itu dan menyerahkannya pada Aliya. “Ciee… so sweet banget ih kalian…” ledek Nilam yang sejak tadi memandang interaksi antara keduanya. Aliya melipat bibirnya ke dalam dan melirik ke arah Elang. Namun yang dilirik terlihat tenang sambil menyesap teh hangat. “Kaya pengantin baru aja kalian. Memang sudah berapa lama kalian nikah?” Nilam bertanya dengan sorot mata penasaran. Kedua tangannya ia naikkan dan menopang dagu sambil menunggu jawaban. “Miss Nilam, emm sebenarnya…” “Oh Dear God!! Look who’s here! Ini bena
* * *Langkah kaki milik Milah tampak tergesa. Ia tengah berusaha mengikuti kemana Steven pergi, namun tetap menjaga dirinya dari terlihat, baik oleh Steven sendiri maupun oleh Tony.Di tengah hiruk pikuk percakapan para tamu yang saling berbaur, Milah tetap memakukan pandangannya ke punggung Steven.Steven tampak menerima telepon, lalu seperti bergegas menuju ke arah pintu ballroom.Milah tetap menjaga jarak dengan Steven dan terus mengikutinya. Langkahnya terhenti ketika ia melihat Steven yang tampak berhenti di dekat meja buku tamu dan menatap ke arah pintu masuk, seolah mencari-cari seseorang.‘Ah, pasti Tuan Muda misterius itu yang ditunggu oleh Steven!’ ujar Milah dalam hati dengan sangat antusias.Steven terlihat bergerak gelisah seolah tak sabar. Beberapa saat kemudian, Milah melihat Steven yang langsung bergerak menghampiri seseorang yang tertutup oleh beberapa tamu lain.Milah menggeser tubuhnya
* * *Elang telah mengajak Aliya untuk pulang lebih awal. Aliya pun berpamitan pada Nilam dan bersama Elang keluar dari ballroom utama hotel.Di belakang mereka mengikuti pria kurus jangkung bermata sipit yang mengenakan setelan jas berwarna coklat gelap.“Akhirnya kita bisa ketemu secara langsung, teh Aliya…” Ridwan, pria kurus jangkung itu tersenyum lebar.Aliya menoleh sekilas ke belakang dan memberikan senyum lebar juga. “Memang seperti dugaan.”“Wah, kenapa Teh?”“Kamu orang yang ramah. Dan kalau kata Miss Diani, kamu juga orang yang kocak…”“Edisi terbatas Teh, model saya mah…” kekeh Ridwan.“Sepertinya begitu,” Aliya tersenyum lagi. Mereka bertiga telah tiba di depan lift.Pintu lift terbuka.Aliya kaget, begitu melihat sekitar empat sampai lima orang bertubuh tegap dan berseragam polisi keluar dari dalam l
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj