Sepasang sepatu buatan tangan Stuart Weitzman yang bertaburan berlian, menghantar langkah Aliya memasuki ballroom kembali.
Tamu yang berada dekat pintu ballroom menoleh ke arah Aliya. Mereka tampak seolah menahan napas saat Aliya berjalan perlahan melalui mereka.
Tubuh ramping dengan tinggi 161 senti itu berbalut gaun sutra berwarna biru dongker dengan kilau batu berlian yang tersusun melingkari pinggang dan bagian bawah gaun.
Ujung gaun bermodel mermaid itu mengayun lembut bagaikan gelombang air mengiringi setiap langkah kaki Aliya.
Berpasang mata menoleh ke arah Aliya, terpana dan menatap takjub.
Meski penuh dengan rasa canggung, ia berusaha tetap tenang menuju deretan meja-meja bundar yang tersusun rapi di area tengah.
“Oh God… Miss Aliya!!” pekik Nilam tertahan begitu mereka bertemu. Nilam yang duduk di kursi dengan meja yang telah diberi nama kantor cabang mereka
Pandangan mata Milah lekat pada sosok Aliya yang begitu terlihat menawan dan anggun dengan gaun begitu terlihat mewah dan mahal. Tak sebanding dengan yang dikenakan dirinya sekarang.Aliya bahkan ditempatkan di meja VIP. Entah bagaimana Aliya bisa ditempatkan di sana. Mungkin ia perlu mempertanyakan hal ini nanti pada panitia. Bisa saja panitia salah menempatkan wanita itu di sana.Kebencian itu terus meningkat seiring pujian demi pujian yang ia dengar dari rekan-rekan satu kantor dan terutama dari Tony, tunangannya.“Lihat saja Aliya. Begitu gue berhasil mendapatkan perhatian Tuan Muda misterius itu, kamu ga akan bisa tersenyum sombong seperti itu lagi!” desisnya penuh kebencian.Ia lalu melirik ke sampingnya. Tempat Tony sedang duduk dan kedapatan melirik ke arah Aliya beberapa kali.‘Kau juga Tony. Lihat saja, kau akan segera gue tendang jauh-jauh saat gue menjadi kekasih Tuan Muda itu…!’Suara MC m
Aliya dan Nilam menoleh. “Elang…” Elang tersenyum lalu menarik kursi di samping kanan Aliya. “Makanlah, untuk memulihkan tenagamu,” kata Elang lalu mengambil mangkuk berisi sup sarang burung walet dan meletakkannya ke depan Aliya. “I-iya… Terima kasih…” sahut Aliya lalu menunduk memandang sup di depannya. Memang tampak menggiurkan. Elang mengambil sendok sup dari beberapa jenis sendok yang tertata di depan masing-masing kursi. Mengambil tisu untuk mengelap sekilas sendok itu dan menyerahkannya pada Aliya. “Ciee… so sweet banget ih kalian…” ledek Nilam yang sejak tadi memandang interaksi antara keduanya. Aliya melipat bibirnya ke dalam dan melirik ke arah Elang. Namun yang dilirik terlihat tenang sambil menyesap teh hangat. “Kaya pengantin baru aja kalian. Memang sudah berapa lama kalian nikah?” Nilam bertanya dengan sorot mata penasaran. Kedua tangannya ia naikkan dan menopang dagu sambil menunggu jawaban. “Miss Nilam, emm sebenarnya…” “Oh Dear God!! Look who’s here! Ini bena
* * *Langkah kaki milik Milah tampak tergesa. Ia tengah berusaha mengikuti kemana Steven pergi, namun tetap menjaga dirinya dari terlihat, baik oleh Steven sendiri maupun oleh Tony.Di tengah hiruk pikuk percakapan para tamu yang saling berbaur, Milah tetap memakukan pandangannya ke punggung Steven.Steven tampak menerima telepon, lalu seperti bergegas menuju ke arah pintu ballroom.Milah tetap menjaga jarak dengan Steven dan terus mengikutinya. Langkahnya terhenti ketika ia melihat Steven yang tampak berhenti di dekat meja buku tamu dan menatap ke arah pintu masuk, seolah mencari-cari seseorang.‘Ah, pasti Tuan Muda misterius itu yang ditunggu oleh Steven!’ ujar Milah dalam hati dengan sangat antusias.Steven terlihat bergerak gelisah seolah tak sabar. Beberapa saat kemudian, Milah melihat Steven yang langsung bergerak menghampiri seseorang yang tertutup oleh beberapa tamu lain.Milah menggeser tubuhnya
* * *Elang telah mengajak Aliya untuk pulang lebih awal. Aliya pun berpamitan pada Nilam dan bersama Elang keluar dari ballroom utama hotel.Di belakang mereka mengikuti pria kurus jangkung bermata sipit yang mengenakan setelan jas berwarna coklat gelap.“Akhirnya kita bisa ketemu secara langsung, teh Aliya…” Ridwan, pria kurus jangkung itu tersenyum lebar.Aliya menoleh sekilas ke belakang dan memberikan senyum lebar juga. “Memang seperti dugaan.”“Wah, kenapa Teh?”“Kamu orang yang ramah. Dan kalau kata Miss Diani, kamu juga orang yang kocak…”“Edisi terbatas Teh, model saya mah…” kekeh Ridwan.“Sepertinya begitu,” Aliya tersenyum lagi. Mereka bertiga telah tiba di depan lift.Pintu lift terbuka.Aliya kaget, begitu melihat sekitar empat sampai lima orang bertubuh tegap dan berseragam polisi keluar dari dalam l
Siang itu, ruang guru part-timer dipenuhi oleh para pengajar yang berkumpul. Bahkan beberapa pengajar full-timerpun ada di sana.Mereka duduk di kursi-kursi milik pengajar part-timer, sebagian lainnya berdiri. Mereka tampak asyik membahas acara semalam di hotel tempat jamuan Mister Bastian diadakan.“Ah iya… sumpah ga nyangka, bakal ngalamin pesta mewah seperti itu…” seorang pengajar full-timeryang masih berusia dua puluh tiga tahunan berkata.“Kaya mimpi ya? Terutama, best part nya nih… selain dapat berita kita bakal liburan ke Bali, kita juga menyaksikan prince charming di dalam pesta itu. Beneran kaya di negeri dongeng, gue…” sambar full-timer lainnya.“Coba gue jadi Cinderella-nya gitu..”“Hush! Jangan sembarangan, itu suaminya salah satu pengajar part-timer, lho…”“Eh, siapa?”
“Gimana Miss?”“Ada apa, Miss?”Serbuan pertanyaan memberondong Aliya, begitu ia keluar dari ruangan Eddie dan duduk di kursinya. Dion bahkan sampai menggeser kursinya hingga melalui tempat Eka hanya untuk mendekat ke kursi Aliya.“Ada apa ya…” Aliya memutar bola matanya.“Duh Miss jangan sampe bikin gue pingsan penasaran ih,” desak Dion. Dion adalah seorang part-timer laki-laki satu-satunya dalam ruang ini. Namun ia sedikit lebih kemayu dibanding laki-laki pada umumnya.Rasa keingintahuan-nya pun terbilang tinggi.“Hehehe. Gak ada yang serius. Cuman konsultasi soal persiapan seleksi full-timer. Saya pernah minta beliau meluangkan waktu untuk konsul tentang itu. Tapi baru dikabulkan saat ini,” ujar Aliya sedikit berbohong. Ia telah mempersiapkan jawaban seperti ini sejak berada dalam ruangan Eddie.Baginya, soal tawaran tentang menjadi full-timer tanpa s
Hari berikutnya di kantor. Aliya masih terngiang berita yang disampaikan Nilam, bahwa tunangan Milah, digelandang polisi.“Miss! Tadi pagi aku telpon, kok ga aktif sih?” protes Nilam langsung saat ia baru masuk ke ruang guru.Aliya nyengir. “Sorry, Miss. Hape ku sepertinya rusak. Tiba-tiba nge-blank dan ga bisa dinyalain sama sekali,” keluh Aliya.Nilam meletakkan tas miliknya ke atas meja, lalu memutar untuk mendekat ke tempat Aliya tengah duduk.“Aku lupa ingetin Miss Aliya. Soal berita semalam, jangan bilang ke yang lain ya. Jangan bilang juga dari aku…” wanti-wanti Nilam pada Aliya.“Memang yang lain belum pada tau?” Aliya bertanya.“Ngga tau juga. Tapi memang kayanya ngga terlalu banyak yang ngeh juga sih.”Aliya tersenyum. “Kalem aja, Miss. Secara itu terjadi di tempat yang banyak saksi mata kan? Bukan hanya Miss Nilam aja yang lihat kejadian itu. Bisa aja
“Buka Miss…” celutuk Nilam. Sementara Milah di sampingnya pun terus melirik ke arah bungkusan itu.Aliya lalu mengeluarkan sebuah dus berwarna coklat berbentuk persegi. Dus itu memiliki berat yang membuat Aliya berhati-hati untuk mengeluarkannya dari dalam plastik tebal itu.Dus itu kini berada di hadapan Aliya.“Buka Miss… jadi penasaran,” ujar Nilam sambil memajukan tubuhnya ke depan.Milah, yang sebelumnya sempat terlibat perdebatan dengan Aliya, tak urung sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat arah meja Aliya dengan lebih baik.Aliya pun membuka tutup dus coklat itu, ia mengangkatnya dengan pelan. Seketika kedua matanya membulat sempurna.“Apa Miss?” Tak tahan lagi, Nilam berdiri lalu menuju ke meja Aliya untuk melongok isi dus itu. “Wah!!”Dus itu memuat dua kotak lainnya. Satu kotak persegi panjang dengan gambar dan tulisan laptop dari merek ternama. Satu ko