“Gimana Miss?”
“Ada apa, Miss?”
Serbuan pertanyaan memberondong Aliya, begitu ia keluar dari ruangan Eddie dan duduk di kursinya. Dion bahkan sampai menggeser kursinya hingga melalui tempat Eka hanya untuk mendekat ke kursi Aliya.
“Ada apa ya…” Aliya memutar bola matanya.
“Duh Miss jangan sampe bikin gue pingsan penasaran ih,” desak Dion. Dion adalah seorang part-timer laki-laki satu-satunya dalam ruang ini. Namun ia sedikit lebih kemayu dibanding laki-laki pada umumnya.
Rasa keingintahuan-nya pun terbilang tinggi.
“Hehehe. Gak ada yang serius. Cuman konsultasi soal persiapan seleksi full-timer. Saya pernah minta beliau meluangkan waktu untuk konsul tentang itu. Tapi baru dikabulkan saat ini,” ujar Aliya sedikit berbohong. Ia telah mempersiapkan jawaban seperti ini sejak berada dalam ruangan Eddie.
Baginya, soal tawaran tentang menjadi full-timer tanpa s
Hari berikutnya di kantor. Aliya masih terngiang berita yang disampaikan Nilam, bahwa tunangan Milah, digelandang polisi.“Miss! Tadi pagi aku telpon, kok ga aktif sih?” protes Nilam langsung saat ia baru masuk ke ruang guru.Aliya nyengir. “Sorry, Miss. Hape ku sepertinya rusak. Tiba-tiba nge-blank dan ga bisa dinyalain sama sekali,” keluh Aliya.Nilam meletakkan tas miliknya ke atas meja, lalu memutar untuk mendekat ke tempat Aliya tengah duduk.“Aku lupa ingetin Miss Aliya. Soal berita semalam, jangan bilang ke yang lain ya. Jangan bilang juga dari aku…” wanti-wanti Nilam pada Aliya.“Memang yang lain belum pada tau?” Aliya bertanya.“Ngga tau juga. Tapi memang kayanya ngga terlalu banyak yang ngeh juga sih.”Aliya tersenyum. “Kalem aja, Miss. Secara itu terjadi di tempat yang banyak saksi mata kan? Bukan hanya Miss Nilam aja yang lihat kejadian itu. Bisa aja
“Buka Miss…” celutuk Nilam. Sementara Milah di sampingnya pun terus melirik ke arah bungkusan itu.Aliya lalu mengeluarkan sebuah dus berwarna coklat berbentuk persegi. Dus itu memiliki berat yang membuat Aliya berhati-hati untuk mengeluarkannya dari dalam plastik tebal itu.Dus itu kini berada di hadapan Aliya.“Buka Miss… jadi penasaran,” ujar Nilam sambil memajukan tubuhnya ke depan.Milah, yang sebelumnya sempat terlibat perdebatan dengan Aliya, tak urung sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat arah meja Aliya dengan lebih baik.Aliya pun membuka tutup dus coklat itu, ia mengangkatnya dengan pelan. Seketika kedua matanya membulat sempurna.“Apa Miss?” Tak tahan lagi, Nilam berdiri lalu menuju ke meja Aliya untuk melongok isi dus itu. “Wah!!”Dus itu memuat dua kotak lainnya. Satu kotak persegi panjang dengan gambar dan tulisan laptop dari merek ternama. Satu ko
Kedua bola mata Aliya langsung terbelalak sempurna begitu melihat isi pesan singkat dari nomor Ridwan tersebut.“What’s up?” Diani bertanya.Aliya menunjukkan isi pesan dari Ridwan ke hadapan Diani.“Wah! Calon ibu mertua pengen ketemu,” goda Diani. Ia terkekeh ringan.“Miss Diani apaan sih…” gerutu Aliya. “Jangan ngomong yang ngga-ngga, ah.”Diani tersenyum simpul. “Sorry, Miss. Tapi who knows kan? Kita gak pernah tau apa yang akan terjadi di depan kita nanti…”Aliya tercenung. ‘Exactly. Aku juga selama ini tidak tahu bahwa ternyata Bisma memiliki penyimpangan orientasi seksual. Ga pernah terpikir kehidupan rumah tanggaku telah di ujung tanduk…’“Jangan melamun. Dan jangan overthinking. Jalani aja dengan enjoy hari ini dan siapin diri untuk esok hari.”Aliya menoleh ke arah Diani. Hatinya bimbang antara membe
Aliya terperangah begitu mobil yang ia tumpangi memasuki gerbang tinggi. Jika tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak akan percaya ada rumah dengan lahan seluas ini, selain pada film-film luar. Aliya memperkirakan luas lahan rumah ini lebih dari lima ribu meter. “Ini… rumah Elang?” tanyanya tak percaya. “Bukan. Ini rumah ibunya. Rumah Einhard ada di BSD,” Ridwan menjawab. “Kalau yang di Bandung itu?” “Emm.. ya rumah mereka juga,” jawab Ridwan lagi dengan enteng. “Oh…” sahut Aliya pelan. Ia menelan ludah. Ia memang menyangka Elang berasal dari keluarga kaya. Namun tak pernah terbayangkan olehnya, keluarganya sekaya ini. Perasaan tidak nyaman langsung muncul dalam diri Aliya. “Wan… Apa… Apa aku memang harus ketemu ibunya Elang?” tanya Aliya dengan gugup. “Teh Aliya mau batalin?” tanya Ridwan tanpa menoleh. Ia masih melajukan mobilnya melalui jejeran pohon palem di kanan mereka. “Elang… di mana?” Aliya balik bertanya. “Lagi ke Bandung, Teh. Tapi malam ini dia bali
Ridwan mengambil tempat di sisi Aliya, untuk menghilangkan kegugupan Aliya yang tampak jelas oleh Ridwan.“Santai aja ya Teh. Anggap aja rumah sendiri,” seloroh Ridwan.“Mana ada!” Aliya mendelik sebal pada Ridwan yang ditanggapi dengan tawa oleh Ridwan.‘Apanya yang anggap rumah sendiri? Masuk ke rumah seperti ini aja, seumur-umur baru sekarang…’Aliya menggerutu lagi dalam hati.“Mau minum apa, Nona? Biar nanti saya siapkan,” Pak Soleh menawarkan dengan ramah.“Apa saja, Pak,” jawab Aliya canggung.“Apa saja?” Pak Soleh sekarang yang tampak bingung.“Bikinkan saja segelas jus alpukat, Pak. Teh Aliya suka jus alpukat,” Ridwan berkata.“Oh, baiklah…” terlihat wajah Pak Soleh yang lega.“Mau pakai susu?” tanya Pak Soleh lagi.“Tidak, Pak. Jangan pakai susu,” jawab Aliya
Seorang wanita paruh baya yang Aliya yakini sebagai ibu dari Elang, tampak mendekat. Wanita itu melangkah dengan begitu anggun. Dengan blus bermotif bunga dan rok selutut, ia begitu cantik dan tampak segar. Kulitnya putih bersih, dengan hidung mancung ala keturunan Timur Tengah. Aliya berdiri dari duduknya. Dengan tangan terlipat di depan Aliya menunggu hingga wanita itu benar-benar tiba di area sofa. “Ini Mam, yang namanya Aliya,” Ridwan memperkenalkan Aliya pada wanita menawan itu. “Saya Aliya, Tante.” Aliya lalu mengulurkan tangannya ke arah wanita itu. Wanita itu menatap wajah Aliya beberapa saat, seakan tengah menilai. Aliya mengatupkan bibirnya rapat dan dengan canggung menahan tangannya. Tepat ketika Aliya hendak menurunkan tangannya, tangan wanita itu meraih tangan Aliya dan menerima salam dari Aliya. “Mamanya Elang,” ujarnya singkat namun dengan intonasi yang terdengar anggun di telinga Aliya. “Duduklah.” Dengan patuh Aliya duduk kembali. Sedangkan wanita itu mengambil
Aliya menelan ludah.“Ti-tidak, Tante…”“Tidak benar?” Ibunya Elang terus menatap pada Aliya masih dengan postur duduk yang tenang dan elegan.Aliya menggeleng.“Jadi menurutmu tindakan yang dilakukan Elang saat itu, salah?”Aliya terdiam kali ini. Sungguh ia tampak bingung untuk menjawabnya.Ibunya Elang menolehkan kepala pada Ridwan. “Ridwan, kamu juga berada di dalam mobil saat itu. Bila hari itu terulang, apa yang akan kamu lakukan dan katakan pada Elang ?”“Saya akan tetap membiarkan Einhard memblokir mobil itu, Mam,” jawab Ridwan mantap.Kembali kepala ibunya Elang menoleh pada Aliya. “Masih berpikir tindakan Elang-ku hari itu adalah tidak benar?”“Apa kau lebih memilih tertabrak oleh mobil itu dibanding diselamatkan seseorang?”Aliya menggigit bibirnya. Ia menunduk. Ia masih bingung kemana arah pembicaraan ibunya Elan
“A-apa ini…” Aliya tak dapat mempercayai pandangan matanya. Seluruh dinding ruang yang berukuran luas tiga puluh meteran itu, hampir tertutup oleh ratusan lembar kertas yang ditempel. Nyonya Rosaline tidak menjawab. Ia melangkah mendekati dinding yang berada di depannya. Aliya pun tanpa sadar mengikuti langkah Nyonya Rosaline menuju dinding tersebut. Kepalanya berputar melihat semua tempelan kertas-kertas itu dengan penuh kebingungan. Mereka berdua kini berada di depan sebuah dinding yang dipenuhi tempelan kertas-kertas. Mata Aliya menyipit melihat sketsa wajah pada lembaran-lembaran kertas tersebut. “I-ini…” “Sangat terlihat mirip denganmu, bukan?” ujar Nyonya Rosaline. Ia melihat ke arah wajah Aliya lalu kembali ke lembaran sketsa di hadapannya. Dengan gerakan anggun, tangannya mengusap salah satu lembar kertas. “Semua ini digambar oleh Elang…” “A-apa??” Terdengar Nyonya Rosaline menghela napas berat. “Bertahun-tahun Elang melakukan hal seperti ini. Ia menggambar semua i
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj