Ridwan mengambil tempat di sisi Aliya, untuk menghilangkan kegugupan Aliya yang tampak jelas oleh Ridwan.“Santai aja ya Teh. Anggap aja rumah sendiri,” seloroh Ridwan.“Mana ada!” Aliya mendelik sebal pada Ridwan yang ditanggapi dengan tawa oleh Ridwan.‘Apanya yang anggap rumah sendiri? Masuk ke rumah seperti ini aja, seumur-umur baru sekarang…’Aliya menggerutu lagi dalam hati.“Mau minum apa, Nona? Biar nanti saya siapkan,” Pak Soleh menawarkan dengan ramah.“Apa saja, Pak,” jawab Aliya canggung.“Apa saja?” Pak Soleh sekarang yang tampak bingung.“Bikinkan saja segelas jus alpukat, Pak. Teh Aliya suka jus alpukat,” Ridwan berkata.“Oh, baiklah…” terlihat wajah Pak Soleh yang lega.“Mau pakai susu?” tanya Pak Soleh lagi.“Tidak, Pak. Jangan pakai susu,” jawab Aliya
Seorang wanita paruh baya yang Aliya yakini sebagai ibu dari Elang, tampak mendekat. Wanita itu melangkah dengan begitu anggun. Dengan blus bermotif bunga dan rok selutut, ia begitu cantik dan tampak segar. Kulitnya putih bersih, dengan hidung mancung ala keturunan Timur Tengah. Aliya berdiri dari duduknya. Dengan tangan terlipat di depan Aliya menunggu hingga wanita itu benar-benar tiba di area sofa. “Ini Mam, yang namanya Aliya,” Ridwan memperkenalkan Aliya pada wanita menawan itu. “Saya Aliya, Tante.” Aliya lalu mengulurkan tangannya ke arah wanita itu. Wanita itu menatap wajah Aliya beberapa saat, seakan tengah menilai. Aliya mengatupkan bibirnya rapat dan dengan canggung menahan tangannya. Tepat ketika Aliya hendak menurunkan tangannya, tangan wanita itu meraih tangan Aliya dan menerima salam dari Aliya. “Mamanya Elang,” ujarnya singkat namun dengan intonasi yang terdengar anggun di telinga Aliya. “Duduklah.” Dengan patuh Aliya duduk kembali. Sedangkan wanita itu mengambil
Aliya menelan ludah.“Ti-tidak, Tante…”“Tidak benar?” Ibunya Elang terus menatap pada Aliya masih dengan postur duduk yang tenang dan elegan.Aliya menggeleng.“Jadi menurutmu tindakan yang dilakukan Elang saat itu, salah?”Aliya terdiam kali ini. Sungguh ia tampak bingung untuk menjawabnya.Ibunya Elang menolehkan kepala pada Ridwan. “Ridwan, kamu juga berada di dalam mobil saat itu. Bila hari itu terulang, apa yang akan kamu lakukan dan katakan pada Elang ?”“Saya akan tetap membiarkan Einhard memblokir mobil itu, Mam,” jawab Ridwan mantap.Kembali kepala ibunya Elang menoleh pada Aliya. “Masih berpikir tindakan Elang-ku hari itu adalah tidak benar?”“Apa kau lebih memilih tertabrak oleh mobil itu dibanding diselamatkan seseorang?”Aliya menggigit bibirnya. Ia menunduk. Ia masih bingung kemana arah pembicaraan ibunya Elan
“A-apa ini…” Aliya tak dapat mempercayai pandangan matanya. Seluruh dinding ruang yang berukuran luas tiga puluh meteran itu, hampir tertutup oleh ratusan lembar kertas yang ditempel. Nyonya Rosaline tidak menjawab. Ia melangkah mendekati dinding yang berada di depannya. Aliya pun tanpa sadar mengikuti langkah Nyonya Rosaline menuju dinding tersebut. Kepalanya berputar melihat semua tempelan kertas-kertas itu dengan penuh kebingungan. Mereka berdua kini berada di depan sebuah dinding yang dipenuhi tempelan kertas-kertas. Mata Aliya menyipit melihat sketsa wajah pada lembaran-lembaran kertas tersebut. “I-ini…” “Sangat terlihat mirip denganmu, bukan?” ujar Nyonya Rosaline. Ia melihat ke arah wajah Aliya lalu kembali ke lembaran sketsa di hadapannya. Dengan gerakan anggun, tangannya mengusap salah satu lembar kertas. “Semua ini digambar oleh Elang…” “A-apa??” Terdengar Nyonya Rosaline menghela napas berat. “Bertahun-tahun Elang melakukan hal seperti ini. Ia menggambar semua i
Aliya masih termangu di sofa di ruang perpustakaan milik Elang. Ridwan menghampiri sambil membawa teh lemon hangat.“Minum dulu, Teh,” ujar Ridwan lalu meletakkan cangkir berisi teh itu di atas meja di hadapan Aliya. Sementara pelayan yang mengantarkan minum, keluar dan menutup pintu dengan hati-hati setelah membungkuk memberi hormat.“Kaget, ya?” tanya Ridwan pada Aliya yang masih terdiam.“Ya iyalah ya. Mana ada yang ngga kaget, ketika tau dirinya sudah dicari-cari orang asing sampe bertahun-tahun begitu,” kata Ridwan lagi seolah mewakili jawaban Aliya.Ia lalu menghempaskan dirinya di sofa singel di samping Aliya.“Wan,” Aliya menggeser duduknya hingga kini menghadap ke arah Ridwan duduk.“Iya Teh.. kenapa?”“Betewe, kamu orang mana sih sebenernya, Wan? Logatmu nyunda sekali.”“Saya asli Bandung, teh,” jawab Ridwan lalu memberikan Aliya
“Saya telah mengantar Nona Muda sampai dengan selamat di rumahnya, Gan. Tenang aja.”Malam telah larut. Jam di dinding di kediaman Elang menunjukkan dua puluh menit menuju tengah malam.Elang yang belum lama datang dari Bandung, saat ini tengah merebahkan tubuhnya di atas ranjang besar miliknya. Ridwan, sang psikiater pribadi yang dipekerjakan oleh orangtua Einhard, duduk di sofa dalam kamar Elang itu.“Mommy tidak menyulitkannya, kan?” tanya Elang.“Sama sekali tidak. Hanya… Your Mom memperlihatkan ruang itu pada Teh Aliya,” ujar Ridwan.Elang tidak tampak terkejut. Ia hanya menghela napas ringan.“Menurutmu, mengapa Mommy melakukan itu? Membuka rahasia besar putranya yang ditutup dengan begitu rapat oleh Daddy selama ini, pada Aliya?”“Saya bisa lihat betapa Mama-mu berterima kasih dengan keberadaan Teh Aliya,” ujar Ridwan. “Sejak kau menemukan Teh Aliya, kau s
“Holly sh*t!” Ridwan berseru kaget. Ia sampai terlonjak dari sofa tempat ia sedari tadi duduk.Elang tampak menggerakkan tangannya, lalu kumpulan air yang mengambang itu pun bergerak mendekat ke arah Ridwan.Ridwan terlihat panik, lalu beringsut ke arah lain.Elang, dengan memasang ekspresi muka datar, menggerakkan lagi tangannya. Lagi-lagi, kumpulan air itu pun bergerak dan mendekati Ridwan.“Mau minum, Wan?” tanya Elang. “Kalau mau, kamu tinggal buka mulut aja, aku bantuin masukin airnya,” imbuhnya dengan santai.Ridwan berteriak panik. “Ngga! Kagak! Saya gak haus!”Bukannya berhenti, Elang menggerakkan kumpulan air itu mendekat lagi ke Ridwan yang bergegas menghindar dan berusaha menjauh.Terjadi kejar-kejaran kocak antara kumpulan air itu dengan Ridwan. “Gan! Gan! Udah atuh lah! Gaaan!” seru Ridwan sewot maksimal. Ia sampai naik ke ranjang Elang dan duduk di
“Gan, kamu sembunyiin ini semua dari Mama dan Big Dad?” tanya Ridwan.Elang menghela napas. “Tentu saja, Wan.”“Sejak kapan emm.. semua ini.. maksud saya, hal-hal itu bisa kamu lakukan?”“Entahlah. Mungkin sesungguhnya sudah sejak lama. Tapi sejak tiga tahun lalu, aku baru bisa membuatnya terkendali,” jawab Elang. Matanya kemudian menerawang.“Baru bisa membuatnya terkendali?” Ridwan membeo. “Artinya, hal itu sempat tidak terkendali? Seperti apa?”“Ketika saya kesal, terutama jika marah, barang-barang bergerak dengan sendirinya. Segala benda yang di dalamnya terdapat air, pecah seketika, hingga air berhamburan kemana-mana.”“Ya Tuhan…” Ridwan mengusap kepalanya. “Artinya, saat saya, atau yang lainnya menemukan kamarmu berantakan, bukan karena kamu ngamuk dan melempar dan merusak semua barang-barang itu?”Elang menggeleng
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj