Aliya masih termangu di sofa di ruang perpustakaan milik Elang. Ridwan menghampiri sambil membawa teh lemon hangat.
“Minum dulu, Teh,” ujar Ridwan lalu meletakkan cangkir berisi teh itu di atas meja di hadapan Aliya. Sementara pelayan yang mengantarkan minum, keluar dan menutup pintu dengan hati-hati setelah membungkuk memberi hormat.
“Kaget, ya?” tanya Ridwan pada Aliya yang masih terdiam.
“Ya iyalah ya. Mana ada yang ngga kaget, ketika tau dirinya sudah dicari-cari orang asing sampe bertahun-tahun begitu,” kata Ridwan lagi seolah mewakili jawaban Aliya.
Ia lalu menghempaskan dirinya di sofa singel di samping Aliya.
“Wan,” Aliya menggeser duduknya hingga kini menghadap ke arah Ridwan duduk.
“Iya Teh.. kenapa?”
“Betewe, kamu orang mana sih sebenernya, Wan? Logatmu nyunda sekali.”
“Saya asli Bandung, teh,” jawab Ridwan lalu memberikan Aliya
“Saya telah mengantar Nona Muda sampai dengan selamat di rumahnya, Gan. Tenang aja.”Malam telah larut. Jam di dinding di kediaman Elang menunjukkan dua puluh menit menuju tengah malam.Elang yang belum lama datang dari Bandung, saat ini tengah merebahkan tubuhnya di atas ranjang besar miliknya. Ridwan, sang psikiater pribadi yang dipekerjakan oleh orangtua Einhard, duduk di sofa dalam kamar Elang itu.“Mommy tidak menyulitkannya, kan?” tanya Elang.“Sama sekali tidak. Hanya… Your Mom memperlihatkan ruang itu pada Teh Aliya,” ujar Ridwan.Elang tidak tampak terkejut. Ia hanya menghela napas ringan.“Menurutmu, mengapa Mommy melakukan itu? Membuka rahasia besar putranya yang ditutup dengan begitu rapat oleh Daddy selama ini, pada Aliya?”“Saya bisa lihat betapa Mama-mu berterima kasih dengan keberadaan Teh Aliya,” ujar Ridwan. “Sejak kau menemukan Teh Aliya, kau s
“Holly sh*t!” Ridwan berseru kaget. Ia sampai terlonjak dari sofa tempat ia sedari tadi duduk.Elang tampak menggerakkan tangannya, lalu kumpulan air yang mengambang itu pun bergerak mendekat ke arah Ridwan.Ridwan terlihat panik, lalu beringsut ke arah lain.Elang, dengan memasang ekspresi muka datar, menggerakkan lagi tangannya. Lagi-lagi, kumpulan air itu pun bergerak dan mendekati Ridwan.“Mau minum, Wan?” tanya Elang. “Kalau mau, kamu tinggal buka mulut aja, aku bantuin masukin airnya,” imbuhnya dengan santai.Ridwan berteriak panik. “Ngga! Kagak! Saya gak haus!”Bukannya berhenti, Elang menggerakkan kumpulan air itu mendekat lagi ke Ridwan yang bergegas menghindar dan berusaha menjauh.Terjadi kejar-kejaran kocak antara kumpulan air itu dengan Ridwan. “Gan! Gan! Udah atuh lah! Gaaan!” seru Ridwan sewot maksimal. Ia sampai naik ke ranjang Elang dan duduk di
“Gan, kamu sembunyiin ini semua dari Mama dan Big Dad?” tanya Ridwan.Elang menghela napas. “Tentu saja, Wan.”“Sejak kapan emm.. semua ini.. maksud saya, hal-hal itu bisa kamu lakukan?”“Entahlah. Mungkin sesungguhnya sudah sejak lama. Tapi sejak tiga tahun lalu, aku baru bisa membuatnya terkendali,” jawab Elang. Matanya kemudian menerawang.“Baru bisa membuatnya terkendali?” Ridwan membeo. “Artinya, hal itu sempat tidak terkendali? Seperti apa?”“Ketika saya kesal, terutama jika marah, barang-barang bergerak dengan sendirinya. Segala benda yang di dalamnya terdapat air, pecah seketika, hingga air berhamburan kemana-mana.”“Ya Tuhan…” Ridwan mengusap kepalanya. “Artinya, saat saya, atau yang lainnya menemukan kamarmu berantakan, bukan karena kamu ngamuk dan melempar dan merusak semua barang-barang itu?”Elang menggeleng
Suara dering ponsel milik Ridwan, membuat ia menghentikan kegiatannya. Nada dering khusus itu membuat Ridwan gegas mengangkat dan menjawab.‘Ridwan,’ suara berat dari ujung sana langsung terdengar.“Ya Tuan.”‘Saya dengar Einhard membeli hotel dan berencana mengakuisisi dua perusahaan lain. Apa itu ide dari kamu?’“Tidak, Tuan. Itu murni pemikiran dan hasil analisa Tuan Muda, Tuan,” jawab Ridwan.‘Analisa dia?’“Ya Tuan, benar.”‘Saya suka caranya menundukkan dua perusahaan itu. Ini perkembangan Einhard yang saya harapkan dihasilkan dari kamu,’ tegas suara itu menyatakan kalimatnya.“Ya Tuan.”‘Tidak ada kaitan dengan wanita mana pun selama ini kan?’Ridwan terdiam beberapa detik. “Tidak, Tuan.”‘Bagus. Tetap seperti itu. Saya butuh Einhard untuk siap mengambil alih semua milik saya.
Malam yang sama, tempat yang berbeda. Di tempat yang sangat jauh lebih sederhana dan kecil, Aliya berguling gelisah. Ia teringat obrolannya dengan Ridwan di dalam mobil saat mengantarnya pulang. Tentang Elang. Ridwan bercerita sedikit tentang Elang yang terbiasa jauh dari kedua orangtuanya sejak kecil. Meskipun sang Mama begitu terlihat menyayangi Elang, namun ia pun tak luput dari mengikuti kegiatan-kegiatan yang menjadi keharusan baginya. Elang selalu merasa terasing. Dan Elang terbiasa sendiri. “Teh, Saya tidak berhak mengatakan ini. Seharusnya Einhard sendiri yang mengatakannya pada Teh Aliya. Namun, jika Teteh kelak mengetahui sesuatu tentang Einhard, tolong pahami. Bahwa Einhard tidak pernah bermaksud melukai ataupun menyakiti Teteh.” Kalimat dari Ridwan itu terngiang kembali dalam pikirannya. “Bahkan Einhard sempat tidak ingin Teteh mengetahui tentang kondisi keluarganya. Einhard merasa khawatir diketahui oleh Teh Aliya siapa dirinya dan keluarga di belakang sesungguhnya.
Namun pemilik mata dengan tatapan sinis itu tidak mengatakan apa-apa. Ia berdiri dari duduknya, mengambil peralatan mengajar dan dengan angkuh berjalan keluar.“Miss, tunggu. Ini belum waktu kelas. Mau kemana? Aku ikut,” cetus Titha.“Ke kantin dulu. Nanti langsung ke kelas. Sumpek dan eneg di sini,” ketus Milah sambil terus melangkah keluar ruang. Titha bergegas mengambil perlengkapan mengajarnya dan langsung menyusul Milah.Dion menoleh ke arah Milah dan Titha pergi. Setelah memastikan mereka berdua benar-benar menjauh, Dion berpindah ke kursi Eka yang bersebelahan dengan kursi Aliya.“Miss… ngga lihat grup W* ya?”“Aku belum download W*. Kenapa memang?” tanya Aliya bingung.Dion lalu menyodorkan ponsel miliknya ke depan wajah Aliya. “Lihat nih. Ini tempat tinggal Miss Aliya, bukan?”Aliya menyipitkan matanya. Hanya butuh beberapa detik saja, ia menyadari bahwa foto
‘Ada hal yang perlu aku bicarakan denganmu,’ ujar suara sang penelepon.Aliya terdiam sejenak. “Baiklah, aku akan tunggu di bawah.”Baru menjejak anak tangga terakhir di pelataran depan gedung, Aliya menangkap sosok Milah dan Titha yang baru menaiki mobil Tony yang dipakai Milah.Milah menjalankan mobil itu dengan sedikit cepat dan sengaja menuju Aliya. Ia menginjak rem tatkala hanya berjarak sekian meter saja dari Aliya.Milah membuka jendela dan mencibir pada Aliya. “Heh, Miss Penipu. Mana jemputanmu? Eh lupa… kamu ngga punya suami untuk menjemputmu kan yaa…”Titha di samping Milah, terkekeh lebar.“Terus ini kenapa berdiri di sini? Kemana motor bututmu itu, Miss?” alis Milah bertaut. “Eh lupa lagi… kayanya udah dijual buat bayar suami sewaannya, yaa?”Titha kali ini tergelak dalam tawa. “Kasian banget!!” Aliya sama sekal
“Kita makan dulu ya?” Elang memecahkan keheningan yang terjadi beberapa saat setelah mobil keluar dari area kantor Aliya. “Sambil ngobrol, kau juga makan malam dulu.”“Motorku masih di kantor,” ujar Aliya dengan mata menatap ke depan. “Aku gak mau kemalaman.”Elang mengangguk penuh pengertian. “Baiklah. Sebentar aku cari tempat yang nyaman untuk berhenti.”Aliya tidak menanggapi. Entah bagaimana perasaannya saat ini. Terlalu menumpuk dalam pikirannya tentang banyak hal. Tentang Bisma, tentang keluarga Bisma dan orangtuanya, tentang pekerjaannya, tentang hutang-hutangnya, tentang semua olok-olok dari rekan kantornya, dan tentang banyak hal lainnya.Tanpa sadar Aliya menghembuskan napas kasar.“Maafkan aku,” Elang berujar pelan.“Maaf kenapa?”“Kau dalam keadaan sulit karena keterlibatanku,” jawab Elang.Aliya tersenyum miris. “T