Hari berikutnya di kantor. Aliya masih terngiang berita yang disampaikan Nilam, bahwa tunangan Milah, digelandang polisi.
“Miss! Tadi pagi aku telpon, kok ga aktif sih?” protes Nilam langsung saat ia baru masuk ke ruang guru.
Aliya nyengir. “Sorry, Miss. Hape ku sepertinya rusak. Tiba-tiba nge-blank dan ga bisa dinyalain sama sekali,” keluh Aliya.
Nilam meletakkan tas miliknya ke atas meja, lalu memutar untuk mendekat ke tempat Aliya tengah duduk.
“Aku lupa ingetin Miss Aliya. Soal berita semalam, jangan bilang ke yang lain ya. Jangan bilang juga dari aku…” wanti-wanti Nilam pada Aliya.
“Memang yang lain belum pada tau?” Aliya bertanya.
“Ngga tau juga. Tapi memang kayanya ngga terlalu banyak yang ngeh juga sih.”
Aliya tersenyum. “Kalem aja, Miss. Secara itu terjadi di tempat yang banyak saksi mata kan? Bukan hanya Miss Nilam aja yang lihat kejadian itu. Bisa aja
“Buka Miss…” celutuk Nilam. Sementara Milah di sampingnya pun terus melirik ke arah bungkusan itu.Aliya lalu mengeluarkan sebuah dus berwarna coklat berbentuk persegi. Dus itu memiliki berat yang membuat Aliya berhati-hati untuk mengeluarkannya dari dalam plastik tebal itu.Dus itu kini berada di hadapan Aliya.“Buka Miss… jadi penasaran,” ujar Nilam sambil memajukan tubuhnya ke depan.Milah, yang sebelumnya sempat terlibat perdebatan dengan Aliya, tak urung sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat arah meja Aliya dengan lebih baik.Aliya pun membuka tutup dus coklat itu, ia mengangkatnya dengan pelan. Seketika kedua matanya membulat sempurna.“Apa Miss?” Tak tahan lagi, Nilam berdiri lalu menuju ke meja Aliya untuk melongok isi dus itu. “Wah!!”Dus itu memuat dua kotak lainnya. Satu kotak persegi panjang dengan gambar dan tulisan laptop dari merek ternama. Satu ko
Kedua bola mata Aliya langsung terbelalak sempurna begitu melihat isi pesan singkat dari nomor Ridwan tersebut.“What’s up?” Diani bertanya.Aliya menunjukkan isi pesan dari Ridwan ke hadapan Diani.“Wah! Calon ibu mertua pengen ketemu,” goda Diani. Ia terkekeh ringan.“Miss Diani apaan sih…” gerutu Aliya. “Jangan ngomong yang ngga-ngga, ah.”Diani tersenyum simpul. “Sorry, Miss. Tapi who knows kan? Kita gak pernah tau apa yang akan terjadi di depan kita nanti…”Aliya tercenung. ‘Exactly. Aku juga selama ini tidak tahu bahwa ternyata Bisma memiliki penyimpangan orientasi seksual. Ga pernah terpikir kehidupan rumah tanggaku telah di ujung tanduk…’“Jangan melamun. Dan jangan overthinking. Jalani aja dengan enjoy hari ini dan siapin diri untuk esok hari.”Aliya menoleh ke arah Diani. Hatinya bimbang antara membe
Aliya terperangah begitu mobil yang ia tumpangi memasuki gerbang tinggi. Jika tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak akan percaya ada rumah dengan lahan seluas ini, selain pada film-film luar. Aliya memperkirakan luas lahan rumah ini lebih dari lima ribu meter. “Ini… rumah Elang?” tanyanya tak percaya. “Bukan. Ini rumah ibunya. Rumah Einhard ada di BSD,” Ridwan menjawab. “Kalau yang di Bandung itu?” “Emm.. ya rumah mereka juga,” jawab Ridwan lagi dengan enteng. “Oh…” sahut Aliya pelan. Ia menelan ludah. Ia memang menyangka Elang berasal dari keluarga kaya. Namun tak pernah terbayangkan olehnya, keluarganya sekaya ini. Perasaan tidak nyaman langsung muncul dalam diri Aliya. “Wan… Apa… Apa aku memang harus ketemu ibunya Elang?” tanya Aliya dengan gugup. “Teh Aliya mau batalin?” tanya Ridwan tanpa menoleh. Ia masih melajukan mobilnya melalui jejeran pohon palem di kanan mereka. “Elang… di mana?” Aliya balik bertanya. “Lagi ke Bandung, Teh. Tapi malam ini dia bali
Ridwan mengambil tempat di sisi Aliya, untuk menghilangkan kegugupan Aliya yang tampak jelas oleh Ridwan.“Santai aja ya Teh. Anggap aja rumah sendiri,” seloroh Ridwan.“Mana ada!” Aliya mendelik sebal pada Ridwan yang ditanggapi dengan tawa oleh Ridwan.‘Apanya yang anggap rumah sendiri? Masuk ke rumah seperti ini aja, seumur-umur baru sekarang…’Aliya menggerutu lagi dalam hati.“Mau minum apa, Nona? Biar nanti saya siapkan,” Pak Soleh menawarkan dengan ramah.“Apa saja, Pak,” jawab Aliya canggung.“Apa saja?” Pak Soleh sekarang yang tampak bingung.“Bikinkan saja segelas jus alpukat, Pak. Teh Aliya suka jus alpukat,” Ridwan berkata.“Oh, baiklah…” terlihat wajah Pak Soleh yang lega.“Mau pakai susu?” tanya Pak Soleh lagi.“Tidak, Pak. Jangan pakai susu,” jawab Aliya
Seorang wanita paruh baya yang Aliya yakini sebagai ibu dari Elang, tampak mendekat. Wanita itu melangkah dengan begitu anggun. Dengan blus bermotif bunga dan rok selutut, ia begitu cantik dan tampak segar. Kulitnya putih bersih, dengan hidung mancung ala keturunan Timur Tengah. Aliya berdiri dari duduknya. Dengan tangan terlipat di depan Aliya menunggu hingga wanita itu benar-benar tiba di area sofa. “Ini Mam, yang namanya Aliya,” Ridwan memperkenalkan Aliya pada wanita menawan itu. “Saya Aliya, Tante.” Aliya lalu mengulurkan tangannya ke arah wanita itu. Wanita itu menatap wajah Aliya beberapa saat, seakan tengah menilai. Aliya mengatupkan bibirnya rapat dan dengan canggung menahan tangannya. Tepat ketika Aliya hendak menurunkan tangannya, tangan wanita itu meraih tangan Aliya dan menerima salam dari Aliya. “Mamanya Elang,” ujarnya singkat namun dengan intonasi yang terdengar anggun di telinga Aliya. “Duduklah.” Dengan patuh Aliya duduk kembali. Sedangkan wanita itu mengambil
Aliya menelan ludah.“Ti-tidak, Tante…”“Tidak benar?” Ibunya Elang terus menatap pada Aliya masih dengan postur duduk yang tenang dan elegan.Aliya menggeleng.“Jadi menurutmu tindakan yang dilakukan Elang saat itu, salah?”Aliya terdiam kali ini. Sungguh ia tampak bingung untuk menjawabnya.Ibunya Elang menolehkan kepala pada Ridwan. “Ridwan, kamu juga berada di dalam mobil saat itu. Bila hari itu terulang, apa yang akan kamu lakukan dan katakan pada Elang ?”“Saya akan tetap membiarkan Einhard memblokir mobil itu, Mam,” jawab Ridwan mantap.Kembali kepala ibunya Elang menoleh pada Aliya. “Masih berpikir tindakan Elang-ku hari itu adalah tidak benar?”“Apa kau lebih memilih tertabrak oleh mobil itu dibanding diselamatkan seseorang?”Aliya menggigit bibirnya. Ia menunduk. Ia masih bingung kemana arah pembicaraan ibunya Elan
“A-apa ini…” Aliya tak dapat mempercayai pandangan matanya. Seluruh dinding ruang yang berukuran luas tiga puluh meteran itu, hampir tertutup oleh ratusan lembar kertas yang ditempel. Nyonya Rosaline tidak menjawab. Ia melangkah mendekati dinding yang berada di depannya. Aliya pun tanpa sadar mengikuti langkah Nyonya Rosaline menuju dinding tersebut. Kepalanya berputar melihat semua tempelan kertas-kertas itu dengan penuh kebingungan. Mereka berdua kini berada di depan sebuah dinding yang dipenuhi tempelan kertas-kertas. Mata Aliya menyipit melihat sketsa wajah pada lembaran-lembaran kertas tersebut. “I-ini…” “Sangat terlihat mirip denganmu, bukan?” ujar Nyonya Rosaline. Ia melihat ke arah wajah Aliya lalu kembali ke lembaran sketsa di hadapannya. Dengan gerakan anggun, tangannya mengusap salah satu lembar kertas. “Semua ini digambar oleh Elang…” “A-apa??” Terdengar Nyonya Rosaline menghela napas berat. “Bertahun-tahun Elang melakukan hal seperti ini. Ia menggambar semua i
Aliya masih termangu di sofa di ruang perpustakaan milik Elang. Ridwan menghampiri sambil membawa teh lemon hangat.“Minum dulu, Teh,” ujar Ridwan lalu meletakkan cangkir berisi teh itu di atas meja di hadapan Aliya. Sementara pelayan yang mengantarkan minum, keluar dan menutup pintu dengan hati-hati setelah membungkuk memberi hormat.“Kaget, ya?” tanya Ridwan pada Aliya yang masih terdiam.“Ya iyalah ya. Mana ada yang ngga kaget, ketika tau dirinya sudah dicari-cari orang asing sampe bertahun-tahun begitu,” kata Ridwan lagi seolah mewakili jawaban Aliya.Ia lalu menghempaskan dirinya di sofa singel di samping Aliya.“Wan,” Aliya menggeser duduknya hingga kini menghadap ke arah Ridwan duduk.“Iya Teh.. kenapa?”“Betewe, kamu orang mana sih sebenernya, Wan? Logatmu nyunda sekali.”“Saya asli Bandung, teh,” jawab Ridwan lalu memberikan Aliya