Aliya menundukkan kepalanya. Saat ini ia merutuki dadanya yang tak mau tenang. Ia berdiri kaku dan menggenggam kuat tali tas nya. “Aku ambilkan minum dulu untukmu,” Elang berkata lalu meninggalkan Aliya menuju meja lain tak jauh dari tempat mereka berdiri. Memperhatikan dari jauh, Aliya menata hati dan dirinya. Tampak olehnya semua mata wanita yang dilalui Elang, menoleh, melirik, bahkan terpaku pada Elang yang berjalan dengan tenang. Sampai Elang membawakan minum dan kembali padanya. “Ini,” Elang menyodorkan gelas kristal berkaki pada Aliya. “Tenang saja, ini bukan minuman keras. Tidak ada minuman beralkohol disini.” Aliya menerima gelas itu dari tangan Elang. Sekilas, jari mereka bersentuhan. Aliya buru-buru menarik tangannya. Jantungnya kembali berdebar cepat. ‘Duh. Help me please, God…’ Kedua bola mata Aliya melirik ke sekelilingnya untuk mengalihkan diri. Namun dengan segera ia merasakan bulu kuduknya meremang. Menerima hujaman tatapan iri dan cemburu dari berpasang-pasang m
“Bastian?” Milah membeo. “Yang mengadakan acara jamuan ini juga Mister Bastian. Bukan Mister Bastian ini, kan?”Steven mengayunkan sebelah tangannya. “Tentu saja bukan. Nama mereka kebetulan sama.”Milah mengangguk. “Iya, ya. Pastinya bukan.”“Seperti apa rupa Tuan Muda itu, Tuan?” kali ini Tony bertanya.“Ya, seperti apa rupanya?” timpal Milah bersemangat.Steven mengerutkan bibirnya. “Saya tidak dalam jarak yang cukup dekat untuk melihatnya. Tapi beliau jelas seorang pria muda yang cukup menarik.”Milah menghela napas kecewa, karena gambaran sosok ‘Tuan Muda misterius’ itu tidak ia dapatkan.‘Bastian, ya…? Hm…’ Milah mengingat nama itu baik-baik dalam hati.Dering sebuah telepon selular terdengar. Steven merogoh saku celananya dan mengambil ponsel miliknya. Ia lalu mendekatkan ponsel itu ke
Di sisi lain ballroom. Masih di bawah pandangan berpuluh pasang mata wanita yang tersirat kekaguman maupun kecemburuan, Aliya mulai menikmati pesta ini. Elang terus menemani dirinya, hingga tak merasa canggung lagi.Beberapa kali ia melirik ke arah Elang dan setiap kali itu pula, ia mengagumi fitur sempurna yang dimiliki Elang. Ada satu kesan yang tak dipahaminya, bahwa Elang --selain ketampanan nya yang memukau-- seolah menebarkan aura intimidatif yang tinggi, meski tanpa berkata apa-apa.“Maaf,” cetus Aliya tiba-tiba. “Untuk?”“Mungkin aku membuatmu malu. Penampilanku. Meskipun kau tadi hanya berpura-pura sebagai.. emm.. pasanganku, tapi…”“Tidak,” potong Elang. “Tidak ada yang salah dengan itu. Yang menentukan bagaimana dan siapa kau, adalah pribadimu, bukan pakaianmu.”“Emm..”“Kecuali kau kesini memakai pakaian olahraga. M
Aliya mempercepat langkah kakinya. Kedua orang yang ia lihat itu, menuju pintu keluar hotel. Ia terus mengikuti keduanya hingga tiba di pelataran parkir depan. Mereka menuju satu mobil sedan berwarna merah.Orang yang ia kenal, memasuki mobil dari pintu penumpang yang dibukakan oleh orang lainnya itu.Aliya terkesiap. Meskipun langit mulai gelap, kini ia bisa mengenali cukup jelas orang yang familiar itu.Dia adalah Bisma.Kedua mata Aliya lekat memandang ke arah Bisma dan orang lainnya itu. Bisma telah berada dalam mobil, begitu juga orang asing itu.Napasnya terhenti demi melihat adegan berikutnya.Mereka berciuman bibir.Bisma dan orang lainnya itu, seorang laki-laki juga, memadukan bibir mereka, seolah mereka telah terbiasa melakukannya. Bahkan tampak oleh Aliya dari kaca depan mobil mereka, Bisma melingkarkan sebelah tangannya pada laki-laki asing itu. Mereka terlihat memperdalam ciuman mereka itu.Petang telah berlalu, ma
Aliya bersin beberapa kali. Ia mengusap hidungnya yang terasa gatal.Kepalanya memindai seluruh ruang. Sekarang ia berada dalam presidential suite. Dari cara ia menatap ke beberapa sudut, meskipun sorot matanya tampak lesu, bisa terlihat pandangan kagum terhadap apa yang dilihatnya dalam kamar berukuran luar biasa luas itu.Dirinya sendiri sekarang duduk di sebuah sofa empuk di kamar tidur utama dalam presidential suite itu. Tubuhnya terbalut bath robe tebal namun lembut berwarna gading.Aliya menghela napas lesu. Campur aduk perasaannya kini, mengingat lagi-lagi Elang yang membantunya. Elang tadi datang dengan payung di tangannya dan menegurnya yang tengah berjongkok dalam guyuran hujan.Ia memang sempat merasakan, hujan seolah berhenti menerpa dirinya beberapa saat. Namun ia tak merasakan adanya Elang di belakang nya ataupun melihat bayangan sebuah payung yang menaungi dirinya. “Mungkin aku terlalu kosong pikiran, h
Pintu dibuka perlahan. Aliya berdiri dengan canggung di ambang pintu. Dengan gugup Aliya mengangkat kepalanya dan melihat ke arah pria yang telah menunggu di depan pintu kamar itu. Kini Aliya bisa melihat kedua bola mata coklat gelap milik Elang yang tengah menatapnya dengan sorot penuh makna yang tak bisa diterjemahkan Aliya. Pandangan mata mereka bertemu dan seolah saling mengunci untuk sesaat. “A-apa ini kelihatan aneh?” gugup Aliya bertanya untuk memutus kecanggungan yang ia rasakan. “Elang…” panggil Aliya ketika Elang tak merespon kalimat tanyanya. “Sama sekali tidak aneh,” akhirnya Elang menjawab. “Sangat… cocok.” Aliya tak tahu, bahwa Elang tengah tenggelam oleh pesona yang terpancarkan dari diri Aliya. “Kita turun sekarang?” kata Elang lagi. Aliya mengangguk ragu. Ia lalu menutup pintu kamar dan berjalan bersama Elang ke arah lift khusus ke kamar yang ditempati Aliya. Seorang bellboy berdiri di depan pintu lift dan menekan tombol untuk membukakan pintu bagi mereka. Da
Sepasang sepatu buatan tangan Stuart Weitzman yang bertaburan berlian, menghantar langkah Aliya memasuki ballroomkembali.Tamu yang berada dekat pintu ballroommenoleh ke arah Aliya. Mereka tampak seolah menahan napas saat Aliya berjalan perlahan melalui mereka.Tubuh ramping dengan tinggi 161 senti itu berbalut gaun sutra berwarna biru dongker dengan kilau batu berlian yang tersusun melingkari pinggang dan bagian bawah gaun.Ujung gaun bermodel mermaiditu mengayun lembut bagaikan gelombang air mengiringi setiap langkah kaki Aliya. Berpasang mata menoleh ke arah Aliya, terpana dan menatap takjub. Meski penuh dengan rasa canggung, ia berusaha tetap tenang menuju deretan meja-meja bundar yang tersusun rapi di area tengah.“Oh God… Miss Aliya!!” pekik Nilam tertahan begitu mereka bertemu. Nilam yang duduk di kursi dengan meja yang telah diberi nama kantor cabang mereka
Pandangan mata Milah lekat pada sosok Aliya yang begitu terlihat menawan dan anggun dengan gaun begitu terlihat mewah dan mahal. Tak sebanding dengan yang dikenakan dirinya sekarang.Aliya bahkan ditempatkan di meja VIP. Entah bagaimana Aliya bisa ditempatkan di sana. Mungkin ia perlu mempertanyakan hal ini nanti pada panitia. Bisa saja panitia salah menempatkan wanita itu di sana.Kebencian itu terus meningkat seiring pujian demi pujian yang ia dengar dari rekan-rekan satu kantor dan terutama dari Tony, tunangannya.“Lihat saja Aliya. Begitu gue berhasil mendapatkan perhatian Tuan Muda misterius itu, kamu ga akan bisa tersenyum sombong seperti itu lagi!” desisnya penuh kebencian.Ia lalu melirik ke sampingnya. Tempat Tony sedang duduk dan kedapatan melirik ke arah Aliya beberapa kali.‘Kau juga Tony. Lihat saja, kau akan segera gue tendang jauh-jauh saat gue menjadi kekasih Tuan Muda itu…!’Suara MC m