“Maafin Aliya Ma,” Aliya menunduk dengan penuh penyesalan.“Tidak apa-apa, Al. Itu hanya kalung. Benda. Bisa diganti,” hibur Laila sambil memegang tangan Aliya. “Jangan sedih, Al. Kau kan tidak sengaja menjatuhkannya.”Aliya diam tak menjawab. Meskipun sang mama berkata demikian, dalam hatinya tetap merasa bersalah karena telah menghilangkan kalung pemberian dari mamanya itu.“Bagaimana bulan madu kalian? Ayahmu bagaimana, Elang?” Demi melihat putrinya masih tenggelam dalam perasaan bersalah, Laila mengubah topik pembicaraan mereka malam itu.Putri dan menantunya datang berkunjung belum lama tadi. Mengantarkan buah tangan dan menjenguk Laila serta Adnan. Namun Adnan masih belum kembali dari mengikuti tahlilan salah satu tetangga mereka di RT sebelah.Tentu saja Laila tidak ingin Aliya berlarut dalam kemurungan itu ketika nanti suaminya datang dan melihat putri sulung beserta menantunya di rumah mereka.“Baik Ma,” jawab Aliya mendahului Elang yang hendak membuka mulutnya. “Papa Diedric
“Aku tidak menyangka bahwa sepertinya kakek mengetahui tentang diriku, jauh sebelumnya,” Aliya memecah keheningan di dalam mobil saat dirinya dan Elang selesai dari rumah Laila dan Adnan. Kini mereka dalam perjalanan pulang kembali ke rumah mereka. “Bagaimana hubungan dan interaksimu dengan kakek, Liebling?” Elang bertanya dengan mata memperhatikan jalan di depannya. “Tidak terlalu kuingat. Karena kakek meninggal saat aku berusia sekitar empat atau lima tahun. Lagipula Mama dan Papa jarang membawaku ke sana. Papa kan sering mutasi saat masih menjadi pegawai BUMN. Kami bahkan pernah tinggal di pulau Sumatera sekitar tiga tahunan,” Aliya menjawab sambil mengenang masa kecilnya dulu. “Tidak ada yang istimewa dalam ingatanku bersama kakek. Kalau kakek dari pihak mama, aku memang cukup dekat. Kakek dari pihak mama meninggal saat aku sudah SMA,” lanjut Aliya. “Hm.” “Apa kau berpikir bahwa kakek seorang elemen? Tapi elemen apa?” Aliya menoleh pada El
“Ka-kamu?!!” tanpa sadar Aliya berseru kencang. Seseorang yang langsung merangkul erat dirinya itu menambah keterkejutan dengan pecahnya suara tangisan haru. “Thanks God kamu baik-baik aja sis. Thanks God…” Wanita yang melingkarkan kedua lengannya pada leher Aliya itu terbata-bata mengucapkan rasa syukurnya bisa bertemu Aliya dan melihat Aliya dalam keadaan sehat. Belum Aliya merespon apa-apa, suara derap langkah kaki datang dengan cepat ke dalam ruang tamu dari arah belakang Aliya, disusul sentakan panik yang membuat kepala Aliya seketika terasa berdenyut. “Heh, apa-apaan lu? Lepasin tu tangan!” Agni, mendekat ke arah Aliya yang tengah didekap erat di area leher hingga membuat Aliya sedikit susah bernapas. Wanita yang dibentak Agni itu mengangkat kepala dari bahu Aliya dan dengan mata melotot menyentak balik. “Lu siapa? Kok ada di rumah Aliya saat lakinya ga ada?” tembaknya langsung. Wanita muda itu, Hana, sempat mengerjap beberapa kali dengan ekspresi terkesima saat melihat
Hana selesai menggulung rambut basahnya dengan handuk lalu berbalik menuju Aliya yang tengah duduk santai di ranjang kamar yang ia tempati. Hana juga terlihat lebih rileks dengan mengenakan kaos serta celana panjang yang juga berbahan kaos. “Ah sumpah ya… ganteng banget itu yang namanya Dean. Buat gue aja lah sis,” cetus Hana sambil menghempaskan bokongnya bersisian dengan Aliya yang mengulum senyum. Dean memang tadi masuk ke ruang makan sambil menenteng travel bag milik Hana yang sempat diletakkan Agni di gudang belakang. Sungguh Aliya bersyukur, kedatangan Dean mengurungkan terjadinya peperangan yang nyaris pecah hanya karena tas Hana yang iseng Agni simpan di tempat tak semestinya. Setelah Dean dengan hati-hati menyimpan travel bag itu ke kamar yang ditempati Hana, ia langsung kembali ke belakang setelah menyapa ringan Hana yang dikenalkan Aliya padanya. Dean pun mengamankan situasi dengan menggeret Agni keluar bersamanya. “Dih dia ngga jawab. Ngga rela ya?” ledek Hana pada Al
Mansion Gauthier, beberapa jam sebelumnya. “Tuan,” Darek menegur Diedrich yang telah beberapa lama terdiam di atas kursi kebesarannya. Ia beserta Ferd menunggu keputusan Diedrich terhadap sesuatu. Jeff pun tampak berdiri menunggu, tak jauh dari Darek dan Ferd. Sementara Loathe berdiri di samping Diedrich. “Seberapa besar kerusakannya?” Suara datar Diedrich menghempas kesunyian. “Lapisan luar tersisa tiga puluh persen, Tuan. Persenjataan berat hampir seluruhnya nyaris hancur dilalap api panas,” jawab Darek. “Bagaimana dengan jawaban pihak pemerintah?” Kali ini pertanyaan itu diarahkan pada Jeff. Jeff menunduk. “Mereka lepas tangan. Begitu mengetahui aliran misterius ini yang mengincar Gauthier, mereka mengatakan agar kita tidak berharap banyak pada mereka.” Diedrich tersenyum sinis. “Setelah apa yang kulakukan untuk membantu sialan itu naik tahta, rupanya ini balasannya? Mereka hanya ingin menyelamatkan pantat mereka sendiri.” “Saya pikir keluarga rival Anda telah mendekati d
Ia seakan kembali melihat seorang pria muda yang menggendong bayi lelaki dengan wajah bahagia, mendekap sang istri yang juga merangkulkan tangannya di pinggang pria itu. Mereka saling mengecup mesra, dengan pandangan menumpu harapan pada bayi kecil di gendongan sang pria.Garis senyum tercipta seketika di wajah kaku Diedrich yang selama belasan tahun tak mengenal lekuk senyuman.“Rossie…” bisik lirih Diedrich.Kedua mata yang terbiasa menyorot tajam, dingin, angkuh dan tanpa ampun itu tampak melembut dan berkabut.Bukankah konyol, saat ini ia merindukan Rosaline, istrinya, di saat ia tahu, ia mungkin tak akan berkesempatan untuk menemuinya lagi?Cinta itu pernah ada. Meski pernikahan mereka tercipta karena perjodohan. Tapi cinta itu pernah tumbuh. Einhard Sovann Gauthier adalah bukti cinta mereka saat itu.Diedrich menghela napas.“Jeff!” panggilnya pada kepala pelayan setianya.Jeff masuk dengan cepat saat mendengar namanya dipanggil dan segera membungkuk di samping Diedrich.“Ponsel
Kota Kembang diguyur hujan deras selama satu jam ini. Tanah di balik rerumputan telah sangat basah, menguarkan aroma khas-nya. Meski tak sepenuhnya, namun cukup mampu memberikan ketenangan. Langit masih mendung, seakan menaungi kemuraman seorang pria yang setia duduk menghadap sebuah taman di belakang rumah. Aliya menatap pilu punggung pria itu. Masih segar di pelupuk matanya, bagaimana Elang tak bergerak sedikitpun. Kedua kakinya seolah terpasak ke lantai, begitu panggilan telepon dengan ibunya itu usai. Dean yang saat itu menghampiri Elang, merangkul pundaknya serta membawanya duduk. Agni berlari ke pantri untuk mengambilkan minum bagi Elang. Sementara Aliya, terpaku tanpa mampu mengangkat pandangan. Tangannya terlepas dari pegangannya pada lengan Elang. Tubuh serta otaknya tidak sinkron dalam menentukan tindakan. Kalimat terakhir Elang yang mengulang perkataan Rosaline di telepon, masih bergaung di lorong pendengarannya, meninggalkan kepedihan lain yang segera bersemayam. Man
Ruang seperti hampa. Hitam pekat.Kedua mata Aliya terbuka dan ia mendapati Elang telah berdiri tak jauh di depannya. Ia tampak tersenyum dan menunggu Aliya datang ke dunia sukma.Aliya menatap suaminya yang meski jejak kelelahan itu tampak dari sorot mata sendunya, namun tak mengurangi aura memikat dan tampan khas milik Elang.Tangan kanan Elang terulur dan Aliya segera menyambutnya.“Bukankah kita janjian ketemu di rumah?” tanya Aliya saat mereka berjalan pelan dengan jemari yang saling berkait erat.“Aku tak sabar. Jadi aku menunggumu di sini,” jawab Elang dengan menarik tangan Aliya mendekat ke arahnya lalu mengecup punggung tangan itu cukup lama.Kedua sudut bibir Aliya melengkung indah. Entah bagaimana, ia sungguh mulai hafal bahwa Elang hanya mengkhawatirkan dirinya. Elang menunggu di sini, karena ingin memastikan Aliya aman tiba di ‘rumah’ mereka di dunia ini.Sudah beberapa kali Aliya hampi