Ia seakan kembali melihat seorang pria muda yang menggendong bayi lelaki dengan wajah bahagia, mendekap sang istri yang juga merangkulkan tangannya di pinggang pria itu. Mereka saling mengecup mesra, dengan pandangan menumpu harapan pada bayi kecil di gendongan sang pria.Garis senyum tercipta seketika di wajah kaku Diedrich yang selama belasan tahun tak mengenal lekuk senyuman.“Rossie…” bisik lirih Diedrich.Kedua mata yang terbiasa menyorot tajam, dingin, angkuh dan tanpa ampun itu tampak melembut dan berkabut.Bukankah konyol, saat ini ia merindukan Rosaline, istrinya, di saat ia tahu, ia mungkin tak akan berkesempatan untuk menemuinya lagi?Cinta itu pernah ada. Meski pernikahan mereka tercipta karena perjodohan. Tapi cinta itu pernah tumbuh. Einhard Sovann Gauthier adalah bukti cinta mereka saat itu.Diedrich menghela napas.“Jeff!” panggilnya pada kepala pelayan setianya.Jeff masuk dengan cepat saat mendengar namanya dipanggil dan segera membungkuk di samping Diedrich.“Ponsel
Kota Kembang diguyur hujan deras selama satu jam ini. Tanah di balik rerumputan telah sangat basah, menguarkan aroma khas-nya. Meski tak sepenuhnya, namun cukup mampu memberikan ketenangan. Langit masih mendung, seakan menaungi kemuraman seorang pria yang setia duduk menghadap sebuah taman di belakang rumah. Aliya menatap pilu punggung pria itu. Masih segar di pelupuk matanya, bagaimana Elang tak bergerak sedikitpun. Kedua kakinya seolah terpasak ke lantai, begitu panggilan telepon dengan ibunya itu usai. Dean yang saat itu menghampiri Elang, merangkul pundaknya serta membawanya duduk. Agni berlari ke pantri untuk mengambilkan minum bagi Elang. Sementara Aliya, terpaku tanpa mampu mengangkat pandangan. Tangannya terlepas dari pegangannya pada lengan Elang. Tubuh serta otaknya tidak sinkron dalam menentukan tindakan. Kalimat terakhir Elang yang mengulang perkataan Rosaline di telepon, masih bergaung di lorong pendengarannya, meninggalkan kepedihan lain yang segera bersemayam. Man
Ruang seperti hampa. Hitam pekat.Kedua mata Aliya terbuka dan ia mendapati Elang telah berdiri tak jauh di depannya. Ia tampak tersenyum dan menunggu Aliya datang ke dunia sukma.Aliya menatap suaminya yang meski jejak kelelahan itu tampak dari sorot mata sendunya, namun tak mengurangi aura memikat dan tampan khas milik Elang.Tangan kanan Elang terulur dan Aliya segera menyambutnya.“Bukankah kita janjian ketemu di rumah?” tanya Aliya saat mereka berjalan pelan dengan jemari yang saling berkait erat.“Aku tak sabar. Jadi aku menunggumu di sini,” jawab Elang dengan menarik tangan Aliya mendekat ke arahnya lalu mengecup punggung tangan itu cukup lama.Kedua sudut bibir Aliya melengkung indah. Entah bagaimana, ia sungguh mulai hafal bahwa Elang hanya mengkhawatirkan dirinya. Elang menunggu di sini, karena ingin memastikan Aliya aman tiba di ‘rumah’ mereka di dunia ini.Sudah beberapa kali Aliya hampi
Tidak banyak yang tahu, penyebab perubahan keputusan Radith Aziz untuk mengambil alih Harper International menjadi miliknya kembali.Sementara Rosaline, CEO yang semula bertanggung jawab atas jaringan hotel terbesar di negara ini dan tiga besar di Asia Tenggara, mengundurkan diri lalu menghilang begitu saja.Spekulasi yang beredar di khalayak umum bahwasanya terjadi perebutan kekuasaan atas kendali pada Harper International antara Radith Aziz dengan Rosaline Aziz.Perebutan yang sengit hingga menyebabkan retaknya hubungan persaudaraan antara keduanya. Bahkan tak tanggung-tanggung, kabarnya, Radith bahkan menjegal putra kandung Rosaline dan membuangnya ke luar negeri, agar tak mengganggu kekuasaan Radith terhadap Harper Int.Di sebuah ruangan besar di lantai 31 gedung utama milik Harper Int.Seorang pria berambut klimis dengan kacamata persegi yang bertengger di hidung, mengambil tablet yang setengah di lempar oleh pria paruh baya dengan setelan jas
“Tiga hari ini, kau mengambil jatah gemblengan Aliya?” Suara rendah Dean tidak menutupi ekspresi satir dari matanya.Sekian saat Elang terus tertunduk, lalu mendongak untuk menangkap lingkaran hazel Dean.Petang hari itu Elang menjemput Aliya di basecamp mereka, setelah menyelesaikan urusannya selama tiga hari itu di Ibukota.Saat berhadapan langsung dengan Dean, Dean merasakan perubahan dalam diri Elang dan segera melontarkan pertanyaan itu. Tak ada perubahan ekspresi pada wajah Elang yang tampan. “Yes. I did. Saya mengambil bagian Aliya,” jawabnya kemudian.Aliya tertegun. Matanya menoleh bergantian pada Elang dan Dean. Ia pun seakan terjebak dalam momen emosi yang kontras.Satu sisi ia bingung dengan Elang yang ternyata telah mewakili dirinya dalam kultivasi yang harus dirinya tempuh, sisi lain ia yakin Elang memiliki alasan kuat untuk itu.“Elang…” Tak kuasa berkata b
“Gimana si abang ngelakuinnya? Kok bisa ambil jatah Moony, Om?” Agni bertanya sambil mengekori Dean ke arah dapur. Tanpa menghentikan langkahnya, Dean menoleh menatap Agni sekilas. Agni yang mengerti arti tatapan Dean itu, langsung menyanggah. “Kagak, sumpah gue kagak nguping. Tadi kedengeran aja, kagak sengaja pas gue mau keluar. Anak-anak yang lain di lantai atas semua. Aman. Kalem, Om.” Dean membawa dua gelas kosong di tangannya ke kitchen sink lalu mengambil sabun cuci cair pada spons dan mulai menggerakkan tangannya untuk mencuci gelas tersebut. Di sampingnya, masih berdiri Agni dengan wajah penasarannya. “Saya tidak tahu pasti, Agni. Tapi itulah mungkin keistimewaan suami dari Ratu Bumi. Bahwa Einhard memiliki akses untuk mengetahui datangnya undangan tersebut dan mengambil undangan itu untuk dirinya saat Aliya telah mengizinkannya.” “Oh…” Agni mengangguk-angguk. “Baguslah,” katanya lagi. Tangan Dean terhenti memutar gelas, ia menoleh pada Agni. “Bagus? Kau juga setuju de
Ruangan luas bak dalam gua bawah tanah itu menguarkan atmosfer yang jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Dinding-dinding hitam seolah mengguratkan kelamnya sejarah darah yang tertumpah sejak dekade sebelumnya. Di atas lantai yang terasa dingin dengan bau lembap yang khas tempat tak berpenghuni puluhan tahun, bersimpuh tiga pria di penghujung enam puluh tahun. Aura kewibawaan yang tersirat dari raut wajah ketiganya seakan lenyap sudah oleh aura mematikan di sekeliling mereka. Aura yang berasal dari dua sosok di hadapan mereka. Sosok yang membuat mereka harus dengan kebesaran diri menjatuhkan martabat dan menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Tak hanya sosok yang mengenakan topeng perak di depan mereka yang telah mengeluarkan aura mencekam yang mampu membuat sekujur tubuh tiga pria tua itu bergetar menahan tekanan kuat, namun juga sosok yang tengah duduk di singgasana megahnya. Sosok bertopeng emas yang dengan tenang memperhatikan ket
Aliya menyugar rambut Elang dengan jemari kanannya. Sementara telapak tangan kiri mendarat di pipi dan rahang kanan Elang. “Apa ada yang kau risaukan, Liebe?” tanyanya lembut. Elang menutup laptopnya lalu memutar kursi hingga menghadap tubuh istrinya yang sejak beberapa saat tadi berada di sisinya. Tangan kanan Elang menarik pinggang Aliya hingga terduduk di pangkuannya. “Kau sengaja menggodaku, hm?” “Ngga,” elak Aliya. “Ngga? Ngga salah, maksudmu?” Hidung mancung Elang menghirup aroma yang menguar dari tubuh istrinya. Ia menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Aliya. “Geli Liebe,” ujar Aliya sambil mencubit lengan Elang. “Maaf Liebling. Aku sampai khilaf,” Elang mengangkat kepala lalu menangkap manik mata obsidian milik istrinya. “Khilaf apa? Kenapa? Kau melakukan apa?” Aliya mencecar dengan pertanyaan, lalu kedua alis indahnya menukik ke bawah. Elang mengatupkan rahangnya. Menahan gemas. “Khilaf, belum memberimu nafkah batin,” sahutnya lalu menarik Aliya lebih merapat dan