Ruang seperti hampa. Hitam pekat.
Kedua mata Aliya terbuka dan ia mendapati Elang telah berdiri tak jauh di depannya. Ia tampak tersenyum dan menunggu Aliya datang ke dunia sukma.
Aliya menatap suaminya yang meski jejak kelelahan itu tampak dari sorot mata sendunya, namun tak mengurangi aura memikat dan tampan khas milik Elang.
Tangan kanan Elang terulur dan Aliya segera menyambutnya.
“Bukankah kita janjian ketemu di rumah?” tanya Aliya saat mereka berjalan pelan dengan jemari yang saling berkait erat.
“Aku tak sabar. Jadi aku menunggumu di sini,” jawab Elang dengan menarik tangan Aliya mendekat ke arahnya lalu mengecup punggung tangan itu cukup lama.
Kedua sudut bibir Aliya melengkung indah. Entah bagaimana, ia sungguh mulai hafal bahwa Elang hanya mengkhawatirkan dirinya. Elang menunggu di sini, karena ingin memastikan Aliya aman tiba di ‘rumah’ mereka di dunia ini.
Sudah beberapa kali Aliya hampi
Tidak banyak yang tahu, penyebab perubahan keputusan Radith Aziz untuk mengambil alih Harper International menjadi miliknya kembali.Sementara Rosaline, CEO yang semula bertanggung jawab atas jaringan hotel terbesar di negara ini dan tiga besar di Asia Tenggara, mengundurkan diri lalu menghilang begitu saja.Spekulasi yang beredar di khalayak umum bahwasanya terjadi perebutan kekuasaan atas kendali pada Harper International antara Radith Aziz dengan Rosaline Aziz.Perebutan yang sengit hingga menyebabkan retaknya hubungan persaudaraan antara keduanya. Bahkan tak tanggung-tanggung, kabarnya, Radith bahkan menjegal putra kandung Rosaline dan membuangnya ke luar negeri, agar tak mengganggu kekuasaan Radith terhadap Harper Int.Di sebuah ruangan besar di lantai 31 gedung utama milik Harper Int.Seorang pria berambut klimis dengan kacamata persegi yang bertengger di hidung, mengambil tablet yang setengah di lempar oleh pria paruh baya dengan setelan jas
“Tiga hari ini, kau mengambil jatah gemblengan Aliya?” Suara rendah Dean tidak menutupi ekspresi satir dari matanya.Sekian saat Elang terus tertunduk, lalu mendongak untuk menangkap lingkaran hazel Dean.Petang hari itu Elang menjemput Aliya di basecamp mereka, setelah menyelesaikan urusannya selama tiga hari itu di Ibukota.Saat berhadapan langsung dengan Dean, Dean merasakan perubahan dalam diri Elang dan segera melontarkan pertanyaan itu. Tak ada perubahan ekspresi pada wajah Elang yang tampan. “Yes. I did. Saya mengambil bagian Aliya,” jawabnya kemudian.Aliya tertegun. Matanya menoleh bergantian pada Elang dan Dean. Ia pun seakan terjebak dalam momen emosi yang kontras.Satu sisi ia bingung dengan Elang yang ternyata telah mewakili dirinya dalam kultivasi yang harus dirinya tempuh, sisi lain ia yakin Elang memiliki alasan kuat untuk itu.“Elang…” Tak kuasa berkata b
“Gimana si abang ngelakuinnya? Kok bisa ambil jatah Moony, Om?” Agni bertanya sambil mengekori Dean ke arah dapur. Tanpa menghentikan langkahnya, Dean menoleh menatap Agni sekilas. Agni yang mengerti arti tatapan Dean itu, langsung menyanggah. “Kagak, sumpah gue kagak nguping. Tadi kedengeran aja, kagak sengaja pas gue mau keluar. Anak-anak yang lain di lantai atas semua. Aman. Kalem, Om.” Dean membawa dua gelas kosong di tangannya ke kitchen sink lalu mengambil sabun cuci cair pada spons dan mulai menggerakkan tangannya untuk mencuci gelas tersebut. Di sampingnya, masih berdiri Agni dengan wajah penasarannya. “Saya tidak tahu pasti, Agni. Tapi itulah mungkin keistimewaan suami dari Ratu Bumi. Bahwa Einhard memiliki akses untuk mengetahui datangnya undangan tersebut dan mengambil undangan itu untuk dirinya saat Aliya telah mengizinkannya.” “Oh…” Agni mengangguk-angguk. “Baguslah,” katanya lagi. Tangan Dean terhenti memutar gelas, ia menoleh pada Agni. “Bagus? Kau juga setuju de
Ruangan luas bak dalam gua bawah tanah itu menguarkan atmosfer yang jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Dinding-dinding hitam seolah mengguratkan kelamnya sejarah darah yang tertumpah sejak dekade sebelumnya. Di atas lantai yang terasa dingin dengan bau lembap yang khas tempat tak berpenghuni puluhan tahun, bersimpuh tiga pria di penghujung enam puluh tahun. Aura kewibawaan yang tersirat dari raut wajah ketiganya seakan lenyap sudah oleh aura mematikan di sekeliling mereka. Aura yang berasal dari dua sosok di hadapan mereka. Sosok yang membuat mereka harus dengan kebesaran diri menjatuhkan martabat dan menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Tak hanya sosok yang mengenakan topeng perak di depan mereka yang telah mengeluarkan aura mencekam yang mampu membuat sekujur tubuh tiga pria tua itu bergetar menahan tekanan kuat, namun juga sosok yang tengah duduk di singgasana megahnya. Sosok bertopeng emas yang dengan tenang memperhatikan ket
Aliya menyugar rambut Elang dengan jemari kanannya. Sementara telapak tangan kiri mendarat di pipi dan rahang kanan Elang. “Apa ada yang kau risaukan, Liebe?” tanyanya lembut. Elang menutup laptopnya lalu memutar kursi hingga menghadap tubuh istrinya yang sejak beberapa saat tadi berada di sisinya. Tangan kanan Elang menarik pinggang Aliya hingga terduduk di pangkuannya. “Kau sengaja menggodaku, hm?” “Ngga,” elak Aliya. “Ngga? Ngga salah, maksudmu?” Hidung mancung Elang menghirup aroma yang menguar dari tubuh istrinya. Ia menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Aliya. “Geli Liebe,” ujar Aliya sambil mencubit lengan Elang. “Maaf Liebling. Aku sampai khilaf,” Elang mengangkat kepala lalu menangkap manik mata obsidian milik istrinya. “Khilaf apa? Kenapa? Kau melakukan apa?” Aliya mencecar dengan pertanyaan, lalu kedua alis indahnya menukik ke bawah. Elang mengatupkan rahangnya. Menahan gemas. “Khilaf, belum memberimu nafkah batin,” sahutnya lalu menarik Aliya lebih merapat dan
“Bro!”Panggilan dari arah belakang terdengar oleh Agni.Ia langsung berdiri dan berbalik dengan kedua tangan bertengger di pinggangnya. “Lu lama amat sih ngurus cecunguk itu?”“Segitu sih kagak lama lah, Bro,” kilah Iyad, yang tadi memanggil Agni.“Gimana kondisi si tetehnya?” Agung menimpali, setelah jaraknya dengan Agni hanya terpaut dua meter saja.“Pingsan. Sama kaya yang sebelum-sebelumnya,” kata Agni.Semua mata kini terlempar ke arah wanita muda itu tergeletak masih tak sadarkan diri.“Kita bawa?” tanya Agung.“Yoi. Lu bawa gih!” titah Agni pada Agung.“Kok saya? Kan yang nemuin duluan kamu, Ni,” elak Agung.“Dah gak usah banyak lagak sih. Bukannya lu doyan ama cewek? Dia masih muda dan keliatan lumayan tuh,” ledek Iyad.“Sorry Bro. Tubuh gue udah gue deklarasi dan dedikasikan hanya boleh menyentuh Moony. Jadi gue kagak mau sentuh cewek lain, kalo kagak kepaksa amat.”“Dih! Lagian pede amat. Lu pikir bakal diizinin ama kang Water buat touching-touching bininya?” cebik Iyad seb
“Gue udah bilang, tu cewek punya insting berkelahi yang cukup untuk ukuran cewek. Plus dia desperate banget pengen nemuin adeknya yang baru berumur 12 tahun, yang diculik Jure sebelum ini. Kita bisa manfaatin kebencian dia pada Jure, untuk bantu kita,” tutur Agni pelan. Di hadapannya duduk Dean dengan raut muka tampak kurang mengenakkan di mata Agni. Karena itu, Agni berupaya menjelaskan alasan demi alasan kuat ia membawa Ita ke basecamp mereka. “Jadi kamu membawanya ke sini? Karena insting bela diri dia cukup dalam ukuranmu? Tanpa konfirmasi?” Nada tenang dan rendah Dean tak menutupi ekspresi tidak setuju-nya. “Iya gue tau gue salah kagak ngabarin lu, Om. But we have less time, rite? (tapi kita ga punya banyak waktu, kan?). Kita kudu rekrut banyak elemen buat berada di pihak kita,” kilah Agni tak menyerah. “Tu cewek bisa jadi aset berharga kalo dah ada di bawah didikan lu, Om. She got what she needs to be great (dia punya bakat untuk jadi hebat),” imbuhnya lagi. “Agni--” “Om, pi
“Sini, Yad! Bawa Ita ke sini,” seru Agni pada Iyad sambil melambaikan tangannya. Iyad lalu menoleh pada Ita dan memberi isyarat agar mengikutinya. Iyad melangkah mendekat ke arah Dean, Aliya dan Agni berdiri dengan diikuti oleh langkah canggung Ita di belakangnya. Mereka berdua hampir tiba di depan Aliya yang berdiri di apit Dean dan Agni, ketika Ita menghentikan langkahnya lalu tubuhnya sedikit gemetar. Matanya sempat menabrak pandangan Aliya dan Dean, lalu segera ia menundukkan kepala dalam-dalam dengan kedua tangan saling bertaut. “Kenapa? Sini, Teh…” tegur Aliya ramah. Ita mengangkat kepalanya takut-takut, lalu menunduk kembali. “Lah napa diem aja? Sini hey,” tukas Agni. Dean menatap sosok Ita lekat. Ia memindai pancaran energi yang terasa dari Ita. Ia bisa merasakan rasa segan dan takut yang menyelimuti seluruh tubuh Ita. Kuat dugaan Dean, bahwa Ita melihat aura Aliya yang ‘berat’ itu. Dean tidak salah, Ita memang tengah menata jantungnya berdebar kuat saat awal tadi mel
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj