Ruangan luas bak dalam gua bawah tanah itu menguarkan atmosfer yang jauh lebih mengerikan dari sebelumnya.
Dinding-dinding hitam seolah mengguratkan kelamnya sejarah darah yang tertumpah sejak dekade sebelumnya.
Di atas lantai yang terasa dingin dengan bau lembap yang khas tempat tak berpenghuni puluhan tahun, bersimpuh tiga pria di penghujung enam puluh tahun.
Aura kewibawaan yang tersirat dari raut wajah ketiganya seakan lenyap sudah oleh aura mematikan di sekeliling mereka. Aura yang berasal dari dua sosok di hadapan mereka.
Sosok yang membuat mereka harus dengan kebesaran diri menjatuhkan martabat dan menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
Tak hanya sosok yang mengenakan topeng perak di depan mereka yang telah mengeluarkan aura mencekam yang mampu membuat sekujur tubuh tiga pria tua itu bergetar menahan tekanan kuat, namun juga sosok yang tengah duduk di singgasana megahnya.
Sosok bertopeng emas yang dengan tenang memperhatikan ket
Aliya menyugar rambut Elang dengan jemari kanannya. Sementara telapak tangan kiri mendarat di pipi dan rahang kanan Elang. “Apa ada yang kau risaukan, Liebe?” tanyanya lembut. Elang menutup laptopnya lalu memutar kursi hingga menghadap tubuh istrinya yang sejak beberapa saat tadi berada di sisinya. Tangan kanan Elang menarik pinggang Aliya hingga terduduk di pangkuannya. “Kau sengaja menggodaku, hm?” “Ngga,” elak Aliya. “Ngga? Ngga salah, maksudmu?” Hidung mancung Elang menghirup aroma yang menguar dari tubuh istrinya. Ia menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Aliya. “Geli Liebe,” ujar Aliya sambil mencubit lengan Elang. “Maaf Liebling. Aku sampai khilaf,” Elang mengangkat kepala lalu menangkap manik mata obsidian milik istrinya. “Khilaf apa? Kenapa? Kau melakukan apa?” Aliya mencecar dengan pertanyaan, lalu kedua alis indahnya menukik ke bawah. Elang mengatupkan rahangnya. Menahan gemas. “Khilaf, belum memberimu nafkah batin,” sahutnya lalu menarik Aliya lebih merapat dan
“Bro!”Panggilan dari arah belakang terdengar oleh Agni.Ia langsung berdiri dan berbalik dengan kedua tangan bertengger di pinggangnya. “Lu lama amat sih ngurus cecunguk itu?”“Segitu sih kagak lama lah, Bro,” kilah Iyad, yang tadi memanggil Agni.“Gimana kondisi si tetehnya?” Agung menimpali, setelah jaraknya dengan Agni hanya terpaut dua meter saja.“Pingsan. Sama kaya yang sebelum-sebelumnya,” kata Agni.Semua mata kini terlempar ke arah wanita muda itu tergeletak masih tak sadarkan diri.“Kita bawa?” tanya Agung.“Yoi. Lu bawa gih!” titah Agni pada Agung.“Kok saya? Kan yang nemuin duluan kamu, Ni,” elak Agung.“Dah gak usah banyak lagak sih. Bukannya lu doyan ama cewek? Dia masih muda dan keliatan lumayan tuh,” ledek Iyad.“Sorry Bro. Tubuh gue udah gue deklarasi dan dedikasikan hanya boleh menyentuh Moony. Jadi gue kagak mau sentuh cewek lain, kalo kagak kepaksa amat.”“Dih! Lagian pede amat. Lu pikir bakal diizinin ama kang Water buat touching-touching bininya?” cebik Iyad seb
“Gue udah bilang, tu cewek punya insting berkelahi yang cukup untuk ukuran cewek. Plus dia desperate banget pengen nemuin adeknya yang baru berumur 12 tahun, yang diculik Jure sebelum ini. Kita bisa manfaatin kebencian dia pada Jure, untuk bantu kita,” tutur Agni pelan. Di hadapannya duduk Dean dengan raut muka tampak kurang mengenakkan di mata Agni. Karena itu, Agni berupaya menjelaskan alasan demi alasan kuat ia membawa Ita ke basecamp mereka. “Jadi kamu membawanya ke sini? Karena insting bela diri dia cukup dalam ukuranmu? Tanpa konfirmasi?” Nada tenang dan rendah Dean tak menutupi ekspresi tidak setuju-nya. “Iya gue tau gue salah kagak ngabarin lu, Om. But we have less time, rite? (tapi kita ga punya banyak waktu, kan?). Kita kudu rekrut banyak elemen buat berada di pihak kita,” kilah Agni tak menyerah. “Tu cewek bisa jadi aset berharga kalo dah ada di bawah didikan lu, Om. She got what she needs to be great (dia punya bakat untuk jadi hebat),” imbuhnya lagi. “Agni--” “Om, pi
“Sini, Yad! Bawa Ita ke sini,” seru Agni pada Iyad sambil melambaikan tangannya. Iyad lalu menoleh pada Ita dan memberi isyarat agar mengikutinya. Iyad melangkah mendekat ke arah Dean, Aliya dan Agni berdiri dengan diikuti oleh langkah canggung Ita di belakangnya. Mereka berdua hampir tiba di depan Aliya yang berdiri di apit Dean dan Agni, ketika Ita menghentikan langkahnya lalu tubuhnya sedikit gemetar. Matanya sempat menabrak pandangan Aliya dan Dean, lalu segera ia menundukkan kepala dalam-dalam dengan kedua tangan saling bertaut. “Kenapa? Sini, Teh…” tegur Aliya ramah. Ita mengangkat kepalanya takut-takut, lalu menunduk kembali. “Lah napa diem aja? Sini hey,” tukas Agni. Dean menatap sosok Ita lekat. Ia memindai pancaran energi yang terasa dari Ita. Ia bisa merasakan rasa segan dan takut yang menyelimuti seluruh tubuh Ita. Kuat dugaan Dean, bahwa Ita melihat aura Aliya yang ‘berat’ itu. Dean tidak salah, Ita memang tengah menata jantungnya berdebar kuat saat awal tadi mel
Tak!Pulpen itu melesat bak panah dan menancap di dinding rak.Siapapun dengan logika, akan mengira semua itu ilusi. Bagaimana bisa sebuah pulpen menancap begitu tepat dengan ujung yang melesak menembus dinding rak yang terbuat dari kayu jati?Tidak ada yang akan percaya.Elang melemparnya dengan hanya sedikit energi. Namun itu akan benar-benar mengerikan bagi manusia awam yang melihatnya.Elang mengembus napas dengan tenang.Meski tubuhnya masih bersandar, namun kedua matanya telah terbuka dan menatap tajam ke arah gorden tinggi di pojok ruangannya.“Siapa kamu? Keluar!” sentaknya tegas.Selang detik berikutnya, satu kaki tampak keluar dari balik rak di dekat gorden itu. Kaki yang dibalut oleh celana hitam dan tubuh yang juga terbungkus pakaian bernuansa pekat itu tampaknya memutuskan untuk menampakkan diri.Elang menyipitkan matanya.Sosok itu melangkah lagi hingga tampaklah sosoknya secara jelas dan utuh.“Kau…” Elang terhenti.Elang menatap tajam pria berpakaian serba hitam di seb
“De--”Tanpa diduga oleh Elang, Dean merangsek maju lalu melayangkan tinjunya pada pria berambut kuning keemasan di sisi Elang.DAG!Pukulan itu ditangkis oleh si pria berpenutup mata itu. Dean mengangkat tinggi dan menendang pria itu yang juga ditangkis dengan kaki oleh si pria.DUAGG!Setengah melompat Dean beralih melayangkan tendangan dengan sebelah kakinya yang lain. Pria itu memutar tubuh menghindar.PRAAANGG!!!Tendangan Dean menghantam meja dan membuatnya hancur pecah.Elang yang sudah dalam posisi berdiri langsung mengangkat kaki kiri menahan kaki Dean yang kembali melayangkan tendangan ke arah pria itu.DUAGG!Kaki Elang dan Dean beradu.“Dean!”“Minggir!” desis Dean dengan tatapan tajam terhunus pada Elang.Elang tertegun sepersekian detik begitu ia menangkap luka dalam sorot mata tajam Dean di hadapannya.Memanfaatkan detik Elang lengah, D
Dean membuang napas kasar lalu memalingkan muka dari Elang. Ia memang menemukan sorot kesungguhan dan ketulusan dari mata Elang itu. Dan tanpa ia perlu repot menghalau, perasaan hangat sedikit menjalari hatinya. Ia paham Elang mungkin sekadar ingin menghiburnya, namun ia juga tahu, Elang hampir kehilangan segalanya. Identitas megah dan mewah Gauthier, lalu memisahkan diri dari nama besar Aziz. Sementara ibunya diungsikan sementara waktu dan Elang tidak bisa menemuinya demi menjaga keamanan ibundanya itu. Dan lalu kehilangan Ridwan, yang sedikit banyak Dean ketahui, keberadaan Ridwan sangat berarti bagi Elang bahkan mungkin melebihi ayah kandungnya sendiri. Mereka memang tidak bisa berhenti di sini, setelah sekian banyak kehilangan. Karena perburuan itu masih saja terus berlangsung. Dan Dean tahu, cepat atau lambat mereka akan berhadapan langsung dengan pemimpin Jure. Sebelum itu terjadi, dirinya dan Elang tentu saja tidak bisa kehilangan lebih
Satu minggu berlalu dengan cukup tenang, bagi para pria elemen, namun cukup menegangkan bagi Aliya. Telah tiga hari dirinya bepergian dengan pengawalan Ita juga Agni, bahkan ketika itu hanya ke supermarket di area Setiabudi, yang tidak jauh dari rumahnya di Setrasari. Ita ikut tinggal bersama Aliya di rumah itu, sementara Dean dan Agni bergantian berjaga di rumah itu meski untuk menginap, mereka memilih tinggal di rumah yang Dean sewa tak jauh dari rumah Aliya. Hanya terpisah tiga rumah saja. Elang sempat pulang selama dua hari, lalu kembali pergi ke Jakarta bersama Loathe. Entah apa yang dikerjakan Elang, Aliya tidak bertanya dan hanya mempercayakan semuanya pada Elang dan berharap apa yang ingin diselesaikan oleh Elang dan teman-teman elemennya segera berhasil dengan baik. Kejenuhan itu memang pada akhirnya melanda Aliya, yang merasakan bak tahanan rumah. Meskipun Elang tidak melarangnya keluar, namun melihat betapa tampak repotnya segala prosedur standar yang diterapkan Elang