Dean membuang napas kasar lalu memalingkan muka dari Elang.
Ia memang menemukan sorot kesungguhan dan ketulusan dari mata Elang itu. Dan tanpa ia perlu repot menghalau, perasaan hangat sedikit menjalari hatinya. Ia paham Elang mungkin sekadar ingin menghiburnya, namun ia juga tahu, Elang hampir kehilangan segalanya.
Identitas megah dan mewah Gauthier, lalu memisahkan diri dari nama besar Aziz. Sementara ibunya diungsikan sementara waktu dan Elang tidak bisa menemuinya demi menjaga keamanan ibundanya itu.
Dan lalu kehilangan Ridwan, yang sedikit banyak Dean ketahui, keberadaan Ridwan sangat berarti bagi Elang bahkan mungkin melebihi ayah kandungnya sendiri.
Mereka memang tidak bisa berhenti di sini, setelah sekian banyak kehilangan. Karena perburuan itu masih saja terus berlangsung. Dan Dean tahu, cepat atau lambat mereka akan berhadapan langsung dengan pemimpin Jure.
Sebelum itu terjadi, dirinya dan Elang tentu saja tidak bisa kehilangan lebih
Satu minggu berlalu dengan cukup tenang, bagi para pria elemen, namun cukup menegangkan bagi Aliya. Telah tiga hari dirinya bepergian dengan pengawalan Ita juga Agni, bahkan ketika itu hanya ke supermarket di area Setiabudi, yang tidak jauh dari rumahnya di Setrasari. Ita ikut tinggal bersama Aliya di rumah itu, sementara Dean dan Agni bergantian berjaga di rumah itu meski untuk menginap, mereka memilih tinggal di rumah yang Dean sewa tak jauh dari rumah Aliya. Hanya terpisah tiga rumah saja. Elang sempat pulang selama dua hari, lalu kembali pergi ke Jakarta bersama Loathe. Entah apa yang dikerjakan Elang, Aliya tidak bertanya dan hanya mempercayakan semuanya pada Elang dan berharap apa yang ingin diselesaikan oleh Elang dan teman-teman elemennya segera berhasil dengan baik. Kejenuhan itu memang pada akhirnya melanda Aliya, yang merasakan bak tahanan rumah. Meskipun Elang tidak melarangnya keluar, namun melihat betapa tampak repotnya segala prosedur standar yang diterapkan Elang
Wajah Aliya sontak pias, begitu Agung dengan sigap membanting setir dan berputar balik pada saat mobil tengah melaju di jalan menurun. Ia tidak mendengar apa yang Agung dengar detik sebelumnya, hingga membuat Agung melakukan manuver seperti ini. Dengan mata terpejam, Aliya berharap ini hanya sekadar pembatalan rencana perjalanan, bukan karena adanya penghadangan apalagi pengejaran. Meski satu sudut hatinya tahu, tidak mungkin hanya sekadar itu, melihat bagaimana Agung memutar mobil dengan begitu kasar, seolah mereka terburu-buru. Kedua mata Aliya membuka, merasakan Ita di sebelahnya yang tengah memegangi tangan Aliya. Mungkin untuk membantu menenangkan Aliya. BLAAARRR!!! Napas Aliya tertahan. Suara dentuman api itu memang bukan pertama baginya, namun tetap mampu membuat jantungnya seakan terhenti. Dada yang seakan terhimpit sesuatu yang berat dan kegelisahan pekat yang segera mendera. Suasana mendadak berubah mencekam di dalam mobil itu. Aliya dan Ita saling berpegangan dan sali
Ita terdiam, wajahnya terlihat begitu serius, hingga Aliya akhirnya beralih pada Agung untuk mencari jawaban. “Gung?” “Ini memang jalur darurat, Liya. Kang Dean yang siapkan, memang tidak dipakai dalam latihan dan Ita juga belum tahu soal ini, tapi kami telah dipersiapkan untuk jalur ini. Jadi Liya tenang aja, jangan khawatir,” jawab Agung. “Bukankah… lebih aman lewat jalur utama, itu sudah mulai mendekati perkampungan?” “Tapi sulit untuk memanfaatkan sekitar, Liya. Itu justru jalur yang menguntungkan mereka.” “Oh…” “Jadi ini kita kemana?” Ita menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia hanya mendapati mobil kian masuk ke jalur yang dipenuhi pepohonan lebat. “Kaya mau ke hutan?” desahnya gelisah. “Iya. Benar. Ini justru surga buat kita, Ta. Sumber untuk kita,” sahut Agung. “Kita akan tembus ke Gunung Putri.” Aliya mengangguk paham. Itulah mengapa Agung di tempatkan di dalam mobil bersama Ita. Mereka sama-sama elemen bumi. Karena jalur yang telah disiapkan Dean, adalah jalur yang bisa mem
“Agung!” jerit Aliya begitu dua motor mengapit di kiri dan kanan mereka. Sementara motor ketiga mencoba menabrak dari belakang. Namun sebelum itu berhasil dilakukan, gemerisik semak di sisi kiri terdengar dan mengayun kuat diiringi raungan mesin motor yang memekakkan telinga. Secara tiba-tiba, sekitar empat motor meluncur melompati semak dan mendarat di depan motor musuh yang mengapit sisi kiri Agung. Motor musuh itu terjungkal jatuh ketika berusaha menghindar serta menghentikan laju secara tiba-tiba. Dua motor lain mengejar motor di sisi kanan Agung sementara dua sisanya kini mengapit motor yang berada di belakang Agung. Sayangnya, sebelum lawan sempat dijatuhkan ia mengayun tangan kirinya ke arah motor yang dikendarai Agung. Secepat kilat, larik api menyambar bagian belakang motor Agung. “Gung!” Kali ini Aliya berteriak panik. Agung mengayun tangan menarik tanah di tepi jalan yang ia lewati lalu menaburkan tanah itu ke arah belakang motor. Sekali kali Agung melakukannya, hi
Raungan dan deru beberapa motor mendekati area di mana sebuah motor kopling tampak teronggok begitu saja di tengah jalan. Dua motor di depan terlihat melaju lebih cepat kendati jalanan berbatu itu bukanlah media yang tepat untuk mereka memacu kendaraan sport tersebut. Satu pengendara yang berada paling depan di susul pengendara lain tepat di belakangnya, melompat turun bahkan tanpa mematikan mesin. Keduanya berlari tanpa menghiraukan motor mereka yang terkapar tak lama setelah pengendaranya turun. “Moony!!” “Al!” Kedua pria itu berseru hampir bersamaan. Raut wajah keduanya yang diliputi kecemasan begitu tergambar. Pias, seakan darah telah berhenti mengaliri tubuh mereka. Dentum jantung mereka terpacu cepat, tapi menyakitkan. Dean, yang sampai lebih dulu ke motor kopling yang berada di tengah jalan itu segera mengedarkan pandangannya. Matanya lalu menyipit pada satu titik dua ratus meter di depan. Ia langsung berlari menuju titik itu, diikuti Agni di belakangnya. Agung, Iyad da
PLAKK! Tamparan keras mendarat di pipi Ita hingga ia terjerembab. Agni menggeretakkan giginya dengan wajah yang telah merah padam. “Seumur-umur gue kagak pernah menjatuhkan tangan ke cewek! Cewek manapun dan sebrengsek apapun! Tapi kalo menyangkut Moony, bahkan membunuh pun akan gue lakukan!! Apalagi kaum bangsat seperti kalian, Jure!!” Agni meraung seperti hewan buas yang kehilangan akal sehatnya. Seakan ia hendak mencabik-cabik wanita muda di hadapannya dalam kebencian dan penyesalan yang menghancurkan dirinya berkeping-keping. “Agni,” Dean mengulur tangannya ke pundak Agni dan berusaha menenangkan dengan menekannya sedikit. Meski demikian, Agni juga dapat merasakan tangan Dean sendiri yang bergetar menahan gejolak amarah dan kecewanya. Amarah dan rasa kecewa yang ditujukan untuk diri Dean sendiri. Agni sungguh sangat paham. Dean merasa paling bertanggung jawab atas kecerobohan mereka ini, karena dia lah pembuat keputusan menerima atau tidaknya Ita dalam tim mereka saat itu.
Lorong gelap yang hanya disertai penerangan redup dari obor yang tersemat setiap empat meter di dinding batu, dengan ujung yang kian mengecil di sana menandakan betapa panjang lorong itu. Bak patung berbaju zirah seperti di kastil jaman dulu, berdiri satu sosok di setiap delapan meter dengan seragam serba hitam dan seluruh kepala yang terbungkus penutup dan hanya menyisakan lubang sekitar mata. Tanpa memegang senjata apapun, mereka hanya berdiri tegap bak patung hingga di ujung pintu berupa batu besar berwarna kemerahan dengan permukaan yang kasar. Di balik pintu besar itu terlihat ruangan luas dengan penerangan serupa seperti di lorong, ditempelkan di empat sudut ruang. Paling ujung ruang, dengan lantai berundak yang lebih tinggi, terhampar altar panjang terbuat dari tumpukan bebatuan besar yang menyangga alas altar. Lalu di atas altar itu, terbaring Aliya. Tubuh itu terbaring dalam posisi telentang dengan kedua tangan di sisi tubuh. Mata yang entah telah berapa lama terpejam, p
KRAAK! GUSRAAK! Satu per satu laki-laki berseragam hitam-hitam itu tumbang oleh kuncian dan patahan leher yang dilakukan dengan gerakan mematikan yang senyap dan sangat cepat. Tiga kelebat bayang memasuki rawa-rawa dan melintasinya untuk sampai pada mulut gua yang hampir tak terlihat karena tertutup lebatnya belukar serta tanaman rambat. Ketiga sosok itu kemudian berhasil memasuki mulut gua lalu merapat ke dinding gua dengan langkah hati-hati dengan sedikit mengurangi kecepatan. “It’s perfectly seperti yang disebutkan cewek sialan itu,” desis Agni. Sudut matanya melirik Elang di seberangnya ketika mereka sama-sama merayap maju. “Sshht!” Agni dan juga Elang menghentikan gerakan mereka setelah Dean memberi kode. Mereka menunggu sesaat sampai mereka yakin situasi di depan sana aman, barulah mereka melanjutkan berjalan tanpa meninggalkan jejak suara. Dean mengerahkan energi penyelubung untuk menutupi keberadaan mereka hingga tidak terendus oleh musuh mereka. Musuh tidak akan bisa