Ita terdiam, wajahnya terlihat begitu serius, hingga Aliya akhirnya beralih pada Agung untuk mencari jawaban. “Gung?” “Ini memang jalur darurat, Liya. Kang Dean yang siapkan, memang tidak dipakai dalam latihan dan Ita juga belum tahu soal ini, tapi kami telah dipersiapkan untuk jalur ini. Jadi Liya tenang aja, jangan khawatir,” jawab Agung. “Bukankah… lebih aman lewat jalur utama, itu sudah mulai mendekati perkampungan?” “Tapi sulit untuk memanfaatkan sekitar, Liya. Itu justru jalur yang menguntungkan mereka.” “Oh…” “Jadi ini kita kemana?” Ita menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia hanya mendapati mobil kian masuk ke jalur yang dipenuhi pepohonan lebat. “Kaya mau ke hutan?” desahnya gelisah. “Iya. Benar. Ini justru surga buat kita, Ta. Sumber untuk kita,” sahut Agung. “Kita akan tembus ke Gunung Putri.” Aliya mengangguk paham. Itulah mengapa Agung di tempatkan di dalam mobil bersama Ita. Mereka sama-sama elemen bumi. Karena jalur yang telah disiapkan Dean, adalah jalur yang bisa mem
“Agung!” jerit Aliya begitu dua motor mengapit di kiri dan kanan mereka. Sementara motor ketiga mencoba menabrak dari belakang. Namun sebelum itu berhasil dilakukan, gemerisik semak di sisi kiri terdengar dan mengayun kuat diiringi raungan mesin motor yang memekakkan telinga. Secara tiba-tiba, sekitar empat motor meluncur melompati semak dan mendarat di depan motor musuh yang mengapit sisi kiri Agung. Motor musuh itu terjungkal jatuh ketika berusaha menghindar serta menghentikan laju secara tiba-tiba. Dua motor lain mengejar motor di sisi kanan Agung sementara dua sisanya kini mengapit motor yang berada di belakang Agung. Sayangnya, sebelum lawan sempat dijatuhkan ia mengayun tangan kirinya ke arah motor yang dikendarai Agung. Secepat kilat, larik api menyambar bagian belakang motor Agung. “Gung!” Kali ini Aliya berteriak panik. Agung mengayun tangan menarik tanah di tepi jalan yang ia lewati lalu menaburkan tanah itu ke arah belakang motor. Sekali kali Agung melakukannya, hi
Raungan dan deru beberapa motor mendekati area di mana sebuah motor kopling tampak teronggok begitu saja di tengah jalan. Dua motor di depan terlihat melaju lebih cepat kendati jalanan berbatu itu bukanlah media yang tepat untuk mereka memacu kendaraan sport tersebut. Satu pengendara yang berada paling depan di susul pengendara lain tepat di belakangnya, melompat turun bahkan tanpa mematikan mesin. Keduanya berlari tanpa menghiraukan motor mereka yang terkapar tak lama setelah pengendaranya turun. “Moony!!” “Al!” Kedua pria itu berseru hampir bersamaan. Raut wajah keduanya yang diliputi kecemasan begitu tergambar. Pias, seakan darah telah berhenti mengaliri tubuh mereka. Dentum jantung mereka terpacu cepat, tapi menyakitkan. Dean, yang sampai lebih dulu ke motor kopling yang berada di tengah jalan itu segera mengedarkan pandangannya. Matanya lalu menyipit pada satu titik dua ratus meter di depan. Ia langsung berlari menuju titik itu, diikuti Agni di belakangnya. Agung, Iyad da
PLAKK! Tamparan keras mendarat di pipi Ita hingga ia terjerembab. Agni menggeretakkan giginya dengan wajah yang telah merah padam. “Seumur-umur gue kagak pernah menjatuhkan tangan ke cewek! Cewek manapun dan sebrengsek apapun! Tapi kalo menyangkut Moony, bahkan membunuh pun akan gue lakukan!! Apalagi kaum bangsat seperti kalian, Jure!!” Agni meraung seperti hewan buas yang kehilangan akal sehatnya. Seakan ia hendak mencabik-cabik wanita muda di hadapannya dalam kebencian dan penyesalan yang menghancurkan dirinya berkeping-keping. “Agni,” Dean mengulur tangannya ke pundak Agni dan berusaha menenangkan dengan menekannya sedikit. Meski demikian, Agni juga dapat merasakan tangan Dean sendiri yang bergetar menahan gejolak amarah dan kecewanya. Amarah dan rasa kecewa yang ditujukan untuk diri Dean sendiri. Agni sungguh sangat paham. Dean merasa paling bertanggung jawab atas kecerobohan mereka ini, karena dia lah pembuat keputusan menerima atau tidaknya Ita dalam tim mereka saat itu.
Lorong gelap yang hanya disertai penerangan redup dari obor yang tersemat setiap empat meter di dinding batu, dengan ujung yang kian mengecil di sana menandakan betapa panjang lorong itu. Bak patung berbaju zirah seperti di kastil jaman dulu, berdiri satu sosok di setiap delapan meter dengan seragam serba hitam dan seluruh kepala yang terbungkus penutup dan hanya menyisakan lubang sekitar mata. Tanpa memegang senjata apapun, mereka hanya berdiri tegap bak patung hingga di ujung pintu berupa batu besar berwarna kemerahan dengan permukaan yang kasar. Di balik pintu besar itu terlihat ruangan luas dengan penerangan serupa seperti di lorong, ditempelkan di empat sudut ruang. Paling ujung ruang, dengan lantai berundak yang lebih tinggi, terhampar altar panjang terbuat dari tumpukan bebatuan besar yang menyangga alas altar. Lalu di atas altar itu, terbaring Aliya. Tubuh itu terbaring dalam posisi telentang dengan kedua tangan di sisi tubuh. Mata yang entah telah berapa lama terpejam, p
KRAAK! GUSRAAK! Satu per satu laki-laki berseragam hitam-hitam itu tumbang oleh kuncian dan patahan leher yang dilakukan dengan gerakan mematikan yang senyap dan sangat cepat. Tiga kelebat bayang memasuki rawa-rawa dan melintasinya untuk sampai pada mulut gua yang hampir tak terlihat karena tertutup lebatnya belukar serta tanaman rambat. Ketiga sosok itu kemudian berhasil memasuki mulut gua lalu merapat ke dinding gua dengan langkah hati-hati dengan sedikit mengurangi kecepatan. “It’s perfectly seperti yang disebutkan cewek sialan itu,” desis Agni. Sudut matanya melirik Elang di seberangnya ketika mereka sama-sama merayap maju. “Sshht!” Agni dan juga Elang menghentikan gerakan mereka setelah Dean memberi kode. Mereka menunggu sesaat sampai mereka yakin situasi di depan sana aman, barulah mereka melanjutkan berjalan tanpa meninggalkan jejak suara. Dean mengerahkan energi penyelubung untuk menutupi keberadaan mereka hingga tidak terendus oleh musuh mereka. Musuh tidak akan bisa
Belum sempat Agni bergerak, kedua rekan pria di kanan dan kirinya melayangkan pukulan luar biasa cepat menggunakan kedua tangan mereka pada masing-masing dua sosok berseragam di depannya. BRUG! Empat sosok berseragam itu ambruk tanpa sempat mengeluarkan suara. Agni bersiul sambil menggeleng kepala. “Gue kayak lagi nonton live aksi Bruce Lee aja.” Ia benar-benar takjub dengan ketangkasan dan gerakan cepat yang mematikan dari kedua pria jangkung di kanan kirinya yang mampu memukul dengan tepat di titik-titik rawan musuhnya sehingga mereka langsung jatuh tanpa ampun dan tanpa sempat melakukan perlawanan berarti. Dirinya juga memang mempelajari ilmu bela diri. Dulu ia lakukan itu karena suatu dorongan aneh yang seakan begitu mendesak dirinya untuk memperdalam bela diri. Namun ia tak pernah merasa memerlukannya, karena ia dapat dengan mudah melakukan hipno ala elemen jika bertemu orang-orang yang berniat jahat padanya. Dan itu sangat jarang ia temui, karena kebanyakan, orang-orang jus
Elang, Dean dan Agni terseret mundur beberapa langkah ke belakang. Mereka menggerakkan kaki untuk menjejak lebih kuat di atas tanah yang terlihat kemerahan dan terasa keras hampir seperti batu itu. “Gila!” Agni mengembus napas kasar. “Are you okay?” tanya Elang tanpa menoleh pada Agni. “Yeah. All good,” jawab singkat Agni. Kerutan sedikit menampak pada keningnya. ‘Bang…’ ‘Ya, saya tahu. Orang ini pasti di Level Dua dengan tingkat yang lebih tinggi dari kita. Jangan lengah Agni.’ Agni mengangguk serius. Ia mengakhiri percakapan telepatinya dengan Elang dan menghunus tatapannya pada sosok yang kemudian bergerak dari sisi kiri ke tengah ruang dan berhenti di hadapan mereka bertiga. Sosok itu mengenakan jubah hitam panjang hingga menyentuh lantai dengan wajah yang sempurna tertutup topeng perak. Namun meski tubuhnya tertutup rapat sehingga membuat sulit untuk dikenali, sosok itu mengeluarkan tekanan yang demikian kuat. “Bagaimana kalian bisa masuk hingga kemari?!” geramnya membua