PLAKK! Tamparan keras mendarat di pipi Ita hingga ia terjerembab. Agni menggeretakkan giginya dengan wajah yang telah merah padam. “Seumur-umur gue kagak pernah menjatuhkan tangan ke cewek! Cewek manapun dan sebrengsek apapun! Tapi kalo menyangkut Moony, bahkan membunuh pun akan gue lakukan!! Apalagi kaum bangsat seperti kalian, Jure!!” Agni meraung seperti hewan buas yang kehilangan akal sehatnya. Seakan ia hendak mencabik-cabik wanita muda di hadapannya dalam kebencian dan penyesalan yang menghancurkan dirinya berkeping-keping. “Agni,” Dean mengulur tangannya ke pundak Agni dan berusaha menenangkan dengan menekannya sedikit. Meski demikian, Agni juga dapat merasakan tangan Dean sendiri yang bergetar menahan gejolak amarah dan kecewanya. Amarah dan rasa kecewa yang ditujukan untuk diri Dean sendiri. Agni sungguh sangat paham. Dean merasa paling bertanggung jawab atas kecerobohan mereka ini, karena dia lah pembuat keputusan menerima atau tidaknya Ita dalam tim mereka saat itu.
Lorong gelap yang hanya disertai penerangan redup dari obor yang tersemat setiap empat meter di dinding batu, dengan ujung yang kian mengecil di sana menandakan betapa panjang lorong itu. Bak patung berbaju zirah seperti di kastil jaman dulu, berdiri satu sosok di setiap delapan meter dengan seragam serba hitam dan seluruh kepala yang terbungkus penutup dan hanya menyisakan lubang sekitar mata. Tanpa memegang senjata apapun, mereka hanya berdiri tegap bak patung hingga di ujung pintu berupa batu besar berwarna kemerahan dengan permukaan yang kasar. Di balik pintu besar itu terlihat ruangan luas dengan penerangan serupa seperti di lorong, ditempelkan di empat sudut ruang. Paling ujung ruang, dengan lantai berundak yang lebih tinggi, terhampar altar panjang terbuat dari tumpukan bebatuan besar yang menyangga alas altar. Lalu di atas altar itu, terbaring Aliya. Tubuh itu terbaring dalam posisi telentang dengan kedua tangan di sisi tubuh. Mata yang entah telah berapa lama terpejam, p
KRAAK! GUSRAAK! Satu per satu laki-laki berseragam hitam-hitam itu tumbang oleh kuncian dan patahan leher yang dilakukan dengan gerakan mematikan yang senyap dan sangat cepat. Tiga kelebat bayang memasuki rawa-rawa dan melintasinya untuk sampai pada mulut gua yang hampir tak terlihat karena tertutup lebatnya belukar serta tanaman rambat. Ketiga sosok itu kemudian berhasil memasuki mulut gua lalu merapat ke dinding gua dengan langkah hati-hati dengan sedikit mengurangi kecepatan. “It’s perfectly seperti yang disebutkan cewek sialan itu,” desis Agni. Sudut matanya melirik Elang di seberangnya ketika mereka sama-sama merayap maju. “Sshht!” Agni dan juga Elang menghentikan gerakan mereka setelah Dean memberi kode. Mereka menunggu sesaat sampai mereka yakin situasi di depan sana aman, barulah mereka melanjutkan berjalan tanpa meninggalkan jejak suara. Dean mengerahkan energi penyelubung untuk menutupi keberadaan mereka hingga tidak terendus oleh musuh mereka. Musuh tidak akan bisa
Belum sempat Agni bergerak, kedua rekan pria di kanan dan kirinya melayangkan pukulan luar biasa cepat menggunakan kedua tangan mereka pada masing-masing dua sosok berseragam di depannya. BRUG! Empat sosok berseragam itu ambruk tanpa sempat mengeluarkan suara. Agni bersiul sambil menggeleng kepala. “Gue kayak lagi nonton live aksi Bruce Lee aja.” Ia benar-benar takjub dengan ketangkasan dan gerakan cepat yang mematikan dari kedua pria jangkung di kanan kirinya yang mampu memukul dengan tepat di titik-titik rawan musuhnya sehingga mereka langsung jatuh tanpa ampun dan tanpa sempat melakukan perlawanan berarti. Dirinya juga memang mempelajari ilmu bela diri. Dulu ia lakukan itu karena suatu dorongan aneh yang seakan begitu mendesak dirinya untuk memperdalam bela diri. Namun ia tak pernah merasa memerlukannya, karena ia dapat dengan mudah melakukan hipno ala elemen jika bertemu orang-orang yang berniat jahat padanya. Dan itu sangat jarang ia temui, karena kebanyakan, orang-orang jus
Elang, Dean dan Agni terseret mundur beberapa langkah ke belakang. Mereka menggerakkan kaki untuk menjejak lebih kuat di atas tanah yang terlihat kemerahan dan terasa keras hampir seperti batu itu. “Gila!” Agni mengembus napas kasar. “Are you okay?” tanya Elang tanpa menoleh pada Agni. “Yeah. All good,” jawab singkat Agni. Kerutan sedikit menampak pada keningnya. ‘Bang…’ ‘Ya, saya tahu. Orang ini pasti di Level Dua dengan tingkat yang lebih tinggi dari kita. Jangan lengah Agni.’ Agni mengangguk serius. Ia mengakhiri percakapan telepatinya dengan Elang dan menghunus tatapannya pada sosok yang kemudian bergerak dari sisi kiri ke tengah ruang dan berhenti di hadapan mereka bertiga. Sosok itu mengenakan jubah hitam panjang hingga menyentuh lantai dengan wajah yang sempurna tertutup topeng perak. Namun meski tubuhnya tertutup rapat sehingga membuat sulit untuk dikenali, sosok itu mengeluarkan tekanan yang demikian kuat. “Bagaimana kalian bisa masuk hingga kemari?!” geramnya membua
“Agni?!”“Okay! Gue okay! Still intact!” Agni berseru menjawab kekhawatiran dari Elang dan Dean.Ia pun dapat melihat bahwa Elang dan Dean tampak tengah berkomunikasi melalui telepati, lalu Elang menyampaikan pesan itu pada dirinya.Agni membuang ludah bercampur darah dari mulutnya, lalu mengangguk.Elang dan Dean lalu bergerak cepat memberikan pukulan energi pada Mahakam, sementara Agni perlahan bergerak menyisi.Namun mereka lagi-lagi terseret mundur oleh hantaman energi mereka yang beradu dengan milik Mahakam.Level Dua Tingkat Tinggi, sungguh bukan gurauan!Pada satu kesempatan, Dean mengentak kakinya dengan kuat untuk membuka lapisan keras di bagian lain lantai.Ia lalu mengangkat kedua tangan hingga tanah di balik lapisan tanah keras itu, berhamburan keluar dan melesat menuju Mahakam bersamaan dengan air yang ditarik Elang dari dasar lubang yang dibuat Dean sebelumnya yang menembus hingga jauh ke dasar.Tanah dan air berpadu lalu menyelimuti Mahakam dengan cepat. Paduan tanah da
Gelap dan gulita tidak lagi menjadi hal yang harus disesuaikan oleh kedua mata Agni. Ia terus berlari menyusuri lorong itu hingga akhirnya berhasil keluar dari gua itu dengan bantuan lima anggota Hecate yang memang sejak awal berjaga dan bersembunyi di sekitar mulut gua. Agni terus berlari melewati rawa-rawa yang sebelumnya ia dan kedua rekan elemennya lalui untuk masuk ke dalam markas Jure itu. Tak pernah ada dalam bayangannya, yang disebut markas besar Kaum Jure itu ada di tengah hutan seperti ini, di daerah yang dihindari oleh masyarakat dan kebanyakan orang, karena terkenal dengan keangkerannya. Ia benar-benar harus mengenyahkan pemikiran bahwa markas besar Jure terlihat megah dan mentereng dengan segala fasilitas dan perlengkapannya. Ia pun berdecih dan menganggap Kaum Jure memang cocok menjadi kaum manusia gua purba. Sekarang Agni paham, mengapa daerah gunung di wilayah Pandeglang ini disebut angker. Makhluk semacam Jure itulah yang membuat tempat yang sejatinya indah ini
Suara tawa yang bergema itu memantul kuat di dinding-dinding ruang dalam altar. Sosok dengan topeng emas berdiri terlihat setengah mengambang sebelum kemudian jubahnya menyentuh lantai kembali. Sosok itu terkekeh lagi, melihat dua pria di hadapannya dalam posisi terduduk sambil mengusap darah di sudut bibir masing-masing. Beberapa cekungan terlihat di sekian sudut dinding, dengan kerikil yang terhampar sembarang dan mengotori lantai tanah keras kemerahan itu. Sementara sisi pintu batu telah hancur sebagian menyisakan reruntuhan bebatuan dengan berbagai ukurannya yang berserakan di lantai. Jelas sudah, telah terjadi pertempuran dalam ruang luas itu yang menyebabkan keadaan di dalam sana menjadi jauh berbeda dari beberapa saat sebelumnya. “Seberapa bodoh kalian berpikir untuk menghalangiku?” suara rendah menyerupai geraman itu terdengar menggetarkan seluruh dinding ruang luas altar. Baik tatapan Elang maupun Dean, tersorot dingin dan tajam pada sosok bertopeng emas di hadapan