Rinai hujan terdengar samar, begitu serasi dengan dentingnya di atap-atap genting dengan ketukan ringan pada kaca jendela. Berirama. Bau tanah basah yang menebarkan rasa tenang dan nyaman, menguar menyelusup melalui kisi-kisi jendela. Angin sepoi mengembus menghantarkan rasa segar dibalik udara yang terbilang hangat saat itu. Di balik jendela, di mana satu ranjang kayu diletakkan menempel hingga dinding ruang yang terbuat dari papan kayu sederhana. Dan di atas ranjang itu, terbaring tubuh seorang wanita muda. Wajahnya tampak pucat dan pias, dengan jejak-jejak airmata yang telah mengering. Rambutnya tergerai, tampak kusut namun berada di satu sisi, tersampir rapi seolah seseorang menatanya agar tidak sampai mengganggu tidur sang wanita. Bulu mata lentik sang wanita bergerak perlahan, kelopak matanya membuka dengan lemah. Ia beberapa kali mengerjap dan berusaha menyesuaikan pupil matanya yang kini menangkap cahaya yang terbilang menyilaukan dibanding sebelum ia menutup mata. Manik m
“A-A--” Bibir Aliya bergetar dengan lidah kelunya yang tak sanggup meneruskan kalimatnya. Ia memaksakan tubuhnya bangun, mengurai lepas lengan Elang yang masih melingkarinya, lalu berjalan cepat menuju pria yang masih terdiam di ambang pintu dengan tangan yang memegang nampan. “Agni!!” Aliya menubruk tubuh pria itu dan memeluknya erat-erat. Betapa ia merasakan luka di hatinya yang seketika lenyap tak menyisakan apapun selain kelapangan yang begitu melegakan. Agni masih hidup. Tiga rangkai kata itu berulang dan diucapnya penuh syukur dalam hatinya. “Moony…” Agni merapatkan bibirnya kuat-kuat. Rasa haru menyeruak begitu menyesakkan rongga dadanya dalam kebahagiaan. Ia tak pernah menyangka, dirinya cukup berarti bagi Aliya, hingga sebahagia itu Aliya melihat dirinya kembali. Tangan kirinya yang memegang nampan sedikit gemetar, dengan tangan kanan memeluk punggung Aliya erat. Bola mata Agni merangkak naik, terarah pada Elang yang berdiri di sisi ranjang, seolah meminta izin. Elan
Rumah itu memang sederhana dan tidak terlalu besar. Kursi-kursi kayu di tata rapi di ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang makan.Terdapat hanya dua kamar tidur berukuran tiga kali tiga setengah meter yang hanya memuat satu ranjang dan satu lemari pakaian dua pintu.“How do you feel?” tanya Elang pada Dean yang duduk bersila di atas ranjang dalam kamar dengan jendela menghadap pekarangan depan.Pria yang juga duduk bersila di belakang Dean tampak baru selesai melakukan transfer energi dan memberikan energi pemulihan untuk Dean.“I’m good,” jawab Dean lirih sambil menahan sisa-sisa tekanan sesak pada ulu hatinya.Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.“Anda, istirahatlah,” ucapan singkat pria itu mengalihkan perhatian Elang dan Dean tertarik padanya.“Terima kasih Nawidi,” jawab Dean yang ditanggapi anggukan datar pria itu.Tanpa berkata lagi, pria yan
“What?!” Agni terperangah. Wajahnya tertoleh berulang pada Elang dan pada Nawidi. Ambang Level Satu? “Ambang Level Satu…?” gumam Elang lalu menatap kedua telapak tangannya. “Kultivasi itu terjadi setelah kalian menyatukan kekuatan. Terjadi peningkatan signifikan pada kekuatan dalam diri kalian masing-masing.” “Apa? Jadi gue juga??” Agni menatap Nawidi tak percaya. Nawidi meneruskan. “Namun saat itu memang membutuhkan waktu untuk adjusting dan tubuh kalian beradaptasi untuk menerima peningkatan kekuatan tersebut. Hanya saja, Anda saat itu berada pada titik genting untuk menyelamatkan Dean dan diri Anda sendiri, sehingga adjusting itu bekerja lebih cepat dari biasanya. Pukulan terakhir yang Anda berikan pada Si Topeng Emas, adalah pukulan seseorang yang berada di ambang Level Satu.” “Apa?” Agni mendesah takjub saat menoleh ke arah Elang. “Benar. Anda bahkan telah melampaui Tingkat Tinggi pada Level Dua.” Baik Agni dan Elang, sama-sama terdiam mendengar hal tersebut. Itu benar-ben
Beberapa bulan telah berlalu sejak tragedi penculikan Aliya ke markas Jure. Situasi tentu saja terlihat begitu tenang dan damai sekian bulan itu.Sementara di basecamp elemen di daerah Lembang, udara dingin yang menyapa dan mengembus, tidak menyurutkan para pria menawan yang tengah bertelanjang dada dan melakukan push up dengan teguh, meskipun punggung mereka di tumpangi seseorang secara bergantian.“Bang, buset dah! Berapa lama lagi?! Ini udah mau satu jam!” Suara keluhan itu keluar dari bibir pria muda berparas tampan dan berkulit bersih.Namun warna wajahnya telah memerah menahan beban tubuhnya dan tubuh seseorang yang berdiri di punggungnya.“Ah, sial!” erangnya kesal.“Lu diem napa, Ni? Ntar ditambahin lagi ama si abang, mampus kita semua!” bisik Iyad yang berposisi push up di sebelah kanan Agni.Sementara Guntur dan Agung tampak teguh mempertahankan posisi push up mereka, meski peluh mulai membanjiri wajah mereka.Tak ada sepatah kata pun yang mereka keluhkan. Demikian pula, tak
“Tarik napas dan hembus perlahan,” ujar Nawidi membimbing Aliya agar tetap tenang. Wajah datarnya tampak sedikit tegang namun ia hanya berdiri di sisi Aliya tanpa berani memegang Aliya. Bi Sumi yang memegangi lengan nyonya mudanya terlihat sedikit khawatir. “Bu, bukannya masih bulan depan kan perkiraan lahirannya?” Aliya menggeleng. “Saya juga ga tau Bi. Kata dokter memang sekitar dua puluh hari lagi. Tapi ini-- Aah!” Aliya mengaduh dengan wajah terlihat pias. Perutnya terasa mulas yang melilit dan meremas sakit. Bi Sumi mengencangkan pegangannya pada Aliya ketika Aliya memilih berpindah duduk di sofa ruang tengah. Sementara Nawidi mengulurkan tangan di punggung Aliya, menghantarkan energi hangat untuk meringankan rasa sakit yang didera Aliya. “Bang, kenapa juga kagak ada latihan ngadepin bumil mau lahiran sih?” Agni hilir mudik panik dengan mulut terus mengoceh menyalahkan segala sesuatu. Matanya melirik berkali-kali pada Aliya dengan sorot cemas tak terkira. “Shit! Gue mau
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana