Rumah itu memang sederhana dan tidak terlalu besar. Kursi-kursi kayu di tata rapi di ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang makan.
Terdapat hanya dua kamar tidur berukuran tiga kali tiga setengah meter yang hanya memuat satu ranjang dan satu lemari pakaian dua pintu.
“How do you feel?” tanya Elang pada Dean yang duduk bersila di atas ranjang dalam kamar dengan jendela menghadap pekarangan depan.
Pria yang juga duduk bersila di belakang Dean tampak baru selesai melakukan transfer energi dan memberikan energi pemulihan untuk Dean.
“I’m good,” jawab Dean lirih sambil menahan sisa-sisa tekanan sesak pada ulu hatinya.
Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
“Anda, istirahatlah,” ucapan singkat pria itu mengalihkan perhatian Elang dan Dean tertarik padanya.
“Terima kasih Nawidi,” jawab Dean yang ditanggapi anggukan datar pria itu.
Tanpa berkata lagi, pria yan
“What?!” Agni terperangah. Wajahnya tertoleh berulang pada Elang dan pada Nawidi. Ambang Level Satu? “Ambang Level Satu…?” gumam Elang lalu menatap kedua telapak tangannya. “Kultivasi itu terjadi setelah kalian menyatukan kekuatan. Terjadi peningkatan signifikan pada kekuatan dalam diri kalian masing-masing.” “Apa? Jadi gue juga??” Agni menatap Nawidi tak percaya. Nawidi meneruskan. “Namun saat itu memang membutuhkan waktu untuk adjusting dan tubuh kalian beradaptasi untuk menerima peningkatan kekuatan tersebut. Hanya saja, Anda saat itu berada pada titik genting untuk menyelamatkan Dean dan diri Anda sendiri, sehingga adjusting itu bekerja lebih cepat dari biasanya. Pukulan terakhir yang Anda berikan pada Si Topeng Emas, adalah pukulan seseorang yang berada di ambang Level Satu.” “Apa?” Agni mendesah takjub saat menoleh ke arah Elang. “Benar. Anda bahkan telah melampaui Tingkat Tinggi pada Level Dua.” Baik Agni dan Elang, sama-sama terdiam mendengar hal tersebut. Itu benar-ben
Beberapa bulan telah berlalu sejak tragedi penculikan Aliya ke markas Jure. Situasi tentu saja terlihat begitu tenang dan damai sekian bulan itu.Sementara di basecamp elemen di daerah Lembang, udara dingin yang menyapa dan mengembus, tidak menyurutkan para pria menawan yang tengah bertelanjang dada dan melakukan push up dengan teguh, meskipun punggung mereka di tumpangi seseorang secara bergantian.“Bang, buset dah! Berapa lama lagi?! Ini udah mau satu jam!” Suara keluhan itu keluar dari bibir pria muda berparas tampan dan berkulit bersih.Namun warna wajahnya telah memerah menahan beban tubuhnya dan tubuh seseorang yang berdiri di punggungnya.“Ah, sial!” erangnya kesal.“Lu diem napa, Ni? Ntar ditambahin lagi ama si abang, mampus kita semua!” bisik Iyad yang berposisi push up di sebelah kanan Agni.Sementara Guntur dan Agung tampak teguh mempertahankan posisi push up mereka, meski peluh mulai membanjiri wajah mereka.Tak ada sepatah kata pun yang mereka keluhkan. Demikian pula, tak
“Tarik napas dan hembus perlahan,” ujar Nawidi membimbing Aliya agar tetap tenang. Wajah datarnya tampak sedikit tegang namun ia hanya berdiri di sisi Aliya tanpa berani memegang Aliya. Bi Sumi yang memegangi lengan nyonya mudanya terlihat sedikit khawatir. “Bu, bukannya masih bulan depan kan perkiraan lahirannya?” Aliya menggeleng. “Saya juga ga tau Bi. Kata dokter memang sekitar dua puluh hari lagi. Tapi ini-- Aah!” Aliya mengaduh dengan wajah terlihat pias. Perutnya terasa mulas yang melilit dan meremas sakit. Bi Sumi mengencangkan pegangannya pada Aliya ketika Aliya memilih berpindah duduk di sofa ruang tengah. Sementara Nawidi mengulurkan tangan di punggung Aliya, menghantarkan energi hangat untuk meringankan rasa sakit yang didera Aliya. “Bang, kenapa juga kagak ada latihan ngadepin bumil mau lahiran sih?” Agni hilir mudik panik dengan mulut terus mengoceh menyalahkan segala sesuatu. Matanya melirik berkali-kali pada Aliya dengan sorot cemas tak terkira. “Shit! Gue mau
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur