Gelap dan gulita tidak lagi menjadi hal yang harus disesuaikan oleh kedua mata Agni. Ia terus berlari menyusuri lorong itu hingga akhirnya berhasil keluar dari gua itu dengan bantuan lima anggota Hecate yang memang sejak awal berjaga dan bersembunyi di sekitar mulut gua. Agni terus berlari melewati rawa-rawa yang sebelumnya ia dan kedua rekan elemennya lalui untuk masuk ke dalam markas Jure itu. Tak pernah ada dalam bayangannya, yang disebut markas besar Kaum Jure itu ada di tengah hutan seperti ini, di daerah yang dihindari oleh masyarakat dan kebanyakan orang, karena terkenal dengan keangkerannya. Ia benar-benar harus mengenyahkan pemikiran bahwa markas besar Jure terlihat megah dan mentereng dengan segala fasilitas dan perlengkapannya. Ia pun berdecih dan menganggap Kaum Jure memang cocok menjadi kaum manusia gua purba. Sekarang Agni paham, mengapa daerah gunung di wilayah Pandeglang ini disebut angker. Makhluk semacam Jure itulah yang membuat tempat yang sejatinya indah ini
Suara tawa yang bergema itu memantul kuat di dinding-dinding ruang dalam altar. Sosok dengan topeng emas berdiri terlihat setengah mengambang sebelum kemudian jubahnya menyentuh lantai kembali. Sosok itu terkekeh lagi, melihat dua pria di hadapannya dalam posisi terduduk sambil mengusap darah di sudut bibir masing-masing. Beberapa cekungan terlihat di sekian sudut dinding, dengan kerikil yang terhampar sembarang dan mengotori lantai tanah keras kemerahan itu. Sementara sisi pintu batu telah hancur sebagian menyisakan reruntuhan bebatuan dengan berbagai ukurannya yang berserakan di lantai. Jelas sudah, telah terjadi pertempuran dalam ruang luas itu yang menyebabkan keadaan di dalam sana menjadi jauh berbeda dari beberapa saat sebelumnya. “Seberapa bodoh kalian berpikir untuk menghalangiku?” suara rendah menyerupai geraman itu terdengar menggetarkan seluruh dinding ruang luas altar. Baik tatapan Elang maupun Dean, tersorot dingin dan tajam pada sosok bertopeng emas di hadapan
Rinai hujan terdengar samar, begitu serasi dengan dentingnya di atap-atap genting dengan ketukan ringan pada kaca jendela. Berirama. Bau tanah basah yang menebarkan rasa tenang dan nyaman, menguar menyelusup melalui kisi-kisi jendela. Angin sepoi mengembus menghantarkan rasa segar dibalik udara yang terbilang hangat saat itu. Di balik jendela, di mana satu ranjang kayu diletakkan menempel hingga dinding ruang yang terbuat dari papan kayu sederhana. Dan di atas ranjang itu, terbaring tubuh seorang wanita muda. Wajahnya tampak pucat dan pias, dengan jejak-jejak airmata yang telah mengering. Rambutnya tergerai, tampak kusut namun berada di satu sisi, tersampir rapi seolah seseorang menatanya agar tidak sampai mengganggu tidur sang wanita. Bulu mata lentik sang wanita bergerak perlahan, kelopak matanya membuka dengan lemah. Ia beberapa kali mengerjap dan berusaha menyesuaikan pupil matanya yang kini menangkap cahaya yang terbilang menyilaukan dibanding sebelum ia menutup mata. Manik m
“A-A--” Bibir Aliya bergetar dengan lidah kelunya yang tak sanggup meneruskan kalimatnya. Ia memaksakan tubuhnya bangun, mengurai lepas lengan Elang yang masih melingkarinya, lalu berjalan cepat menuju pria yang masih terdiam di ambang pintu dengan tangan yang memegang nampan. “Agni!!” Aliya menubruk tubuh pria itu dan memeluknya erat-erat. Betapa ia merasakan luka di hatinya yang seketika lenyap tak menyisakan apapun selain kelapangan yang begitu melegakan. Agni masih hidup. Tiga rangkai kata itu berulang dan diucapnya penuh syukur dalam hatinya. “Moony…” Agni merapatkan bibirnya kuat-kuat. Rasa haru menyeruak begitu menyesakkan rongga dadanya dalam kebahagiaan. Ia tak pernah menyangka, dirinya cukup berarti bagi Aliya, hingga sebahagia itu Aliya melihat dirinya kembali. Tangan kirinya yang memegang nampan sedikit gemetar, dengan tangan kanan memeluk punggung Aliya erat. Bola mata Agni merangkak naik, terarah pada Elang yang berdiri di sisi ranjang, seolah meminta izin. Elan
Rumah itu memang sederhana dan tidak terlalu besar. Kursi-kursi kayu di tata rapi di ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang makan.Terdapat hanya dua kamar tidur berukuran tiga kali tiga setengah meter yang hanya memuat satu ranjang dan satu lemari pakaian dua pintu.“How do you feel?” tanya Elang pada Dean yang duduk bersila di atas ranjang dalam kamar dengan jendela menghadap pekarangan depan.Pria yang juga duduk bersila di belakang Dean tampak baru selesai melakukan transfer energi dan memberikan energi pemulihan untuk Dean.“I’m good,” jawab Dean lirih sambil menahan sisa-sisa tekanan sesak pada ulu hatinya.Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.“Anda, istirahatlah,” ucapan singkat pria itu mengalihkan perhatian Elang dan Dean tertarik padanya.“Terima kasih Nawidi,” jawab Dean yang ditanggapi anggukan datar pria itu.Tanpa berkata lagi, pria yan
“What?!” Agni terperangah. Wajahnya tertoleh berulang pada Elang dan pada Nawidi. Ambang Level Satu? “Ambang Level Satu…?” gumam Elang lalu menatap kedua telapak tangannya. “Kultivasi itu terjadi setelah kalian menyatukan kekuatan. Terjadi peningkatan signifikan pada kekuatan dalam diri kalian masing-masing.” “Apa? Jadi gue juga??” Agni menatap Nawidi tak percaya. Nawidi meneruskan. “Namun saat itu memang membutuhkan waktu untuk adjusting dan tubuh kalian beradaptasi untuk menerima peningkatan kekuatan tersebut. Hanya saja, Anda saat itu berada pada titik genting untuk menyelamatkan Dean dan diri Anda sendiri, sehingga adjusting itu bekerja lebih cepat dari biasanya. Pukulan terakhir yang Anda berikan pada Si Topeng Emas, adalah pukulan seseorang yang berada di ambang Level Satu.” “Apa?” Agni mendesah takjub saat menoleh ke arah Elang. “Benar. Anda bahkan telah melampaui Tingkat Tinggi pada Level Dua.” Baik Agni dan Elang, sama-sama terdiam mendengar hal tersebut. Itu benar-ben
Beberapa bulan telah berlalu sejak tragedi penculikan Aliya ke markas Jure. Situasi tentu saja terlihat begitu tenang dan damai sekian bulan itu.Sementara di basecamp elemen di daerah Lembang, udara dingin yang menyapa dan mengembus, tidak menyurutkan para pria menawan yang tengah bertelanjang dada dan melakukan push up dengan teguh, meskipun punggung mereka di tumpangi seseorang secara bergantian.“Bang, buset dah! Berapa lama lagi?! Ini udah mau satu jam!” Suara keluhan itu keluar dari bibir pria muda berparas tampan dan berkulit bersih.Namun warna wajahnya telah memerah menahan beban tubuhnya dan tubuh seseorang yang berdiri di punggungnya.“Ah, sial!” erangnya kesal.“Lu diem napa, Ni? Ntar ditambahin lagi ama si abang, mampus kita semua!” bisik Iyad yang berposisi push up di sebelah kanan Agni.Sementara Guntur dan Agung tampak teguh mempertahankan posisi push up mereka, meski peluh mulai membanjiri wajah mereka.Tak ada sepatah kata pun yang mereka keluhkan. Demikian pula, tak
“Tarik napas dan hembus perlahan,” ujar Nawidi membimbing Aliya agar tetap tenang. Wajah datarnya tampak sedikit tegang namun ia hanya berdiri di sisi Aliya tanpa berani memegang Aliya. Bi Sumi yang memegangi lengan nyonya mudanya terlihat sedikit khawatir. “Bu, bukannya masih bulan depan kan perkiraan lahirannya?” Aliya menggeleng. “Saya juga ga tau Bi. Kata dokter memang sekitar dua puluh hari lagi. Tapi ini-- Aah!” Aliya mengaduh dengan wajah terlihat pias. Perutnya terasa mulas yang melilit dan meremas sakit. Bi Sumi mengencangkan pegangannya pada Aliya ketika Aliya memilih berpindah duduk di sofa ruang tengah. Sementara Nawidi mengulurkan tangan di punggung Aliya, menghantarkan energi hangat untuk meringankan rasa sakit yang didera Aliya. “Bang, kenapa juga kagak ada latihan ngadepin bumil mau lahiran sih?” Agni hilir mudik panik dengan mulut terus mengoceh menyalahkan segala sesuatu. Matanya melirik berkali-kali pada Aliya dengan sorot cemas tak terkira. “Shit! Gue mau