“Ah capeknya….” Aliya menguap lalu meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Kepalanya menunduk sedikit untuk melihat beberapa paper bagdengan tulisan brand-brand ternama yang berjajar di atas lantai. Ia menghela napas panjang. Lalu teringat saat di Botani Square Agni memaksa dirinya memasuki satu demi satu outlet yang ada di sana. Meski Aliya sudah berjuang untuk menolak, pada akhirnya ia mengalah. Rengekan Agni --yang menurut Aliya terlihat lucu dan menggemaskan-- berhasil membuat Aliya tak tega dan pasrah, hingga akhirnya memilih masing-masing satu barang dari tiga outlet berbeda. Jaket, tas dan sepatu akhirnya menjadi pilihan yang Aliya terima untuk dibelikan oleh Agni. Hari pertama, akhirnya memakan waktu tiga jam setengah bersama Agni. Aliya melepas lelah dengan duduk berselonjor di ruang tengah tanpa menggelar karpet terlebih dahulu. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku dan mengecek notifikasi yang masuk. Ada sedikit rasa
‘Einhard.’ Suara dari seberang sana terdengar tegas dan dalam. Meski hanya dari suara saja, siapapun bisa merasakan lalu menilai, pemilik suara tersebut bukanlah orang sembarangan dan bukan orang yang bisa disinggung sedikitpun. “Ada apa Dad menelepon saya?” ‘Kau masih menganggapku ayahmu?’ “Du bist mein vater,” (anda adalah ayah saya) jawab Elang datar. “Dalam darah ini mengalir darahmu. Suka ataupun tidak, Anda memang ayah biologis saya.” Terdengar tawa datar dari ujung telepon. “Katakan ada perlu apa, Dad? Jika Anda meminta saya kembali, itu tidak akan saya lakukan. Dan saya tidak peduli Anda akan memberikan ancaman apapun. Saya akan siap menyambut Anda.” Tawa itu terhenti sekian detik. ‘Kau pikir dengan memiliki kekuatan elemen kau akan bisa menghadapi ayahmu?’ Terhenti sejenak. ‘Ayah tidak ingat mengajarmu menjadi begitu naif, Einhard.’ “Katakan saja apa keperluanmu, Dad,” Elang mengulang tanpa perubahan intonasi suara.
Hari berikutnya telah berlalu, membawa Aliya pada pertemuan selanjutnya dengan Agni. Lima jam yang ditetapkan untuk pertemuan hari ini. Aliya pada akhirnya memberikan syarat tambahan pada Agni agar tidak memaksakan Aliya untuk menerima barang-barang pemberiannya lagi.Aliya dan Agni berada di sebuah cafe yang terkenal di kalangan anak muda di Bogor. Cafe itu spesialisasi pada cheese cake dan croissant yang cantik dan lezat.Awalnya Agni memesankan strawberry cheese cake untuk Aliya, tanpa tahu bahwa Aliya tidak menyukai susu dan turunannya, termasuk keju.“Kenapa Moony?” Kedua mata Agni menatap Aliya yang duduk di hadapannya dan hanya memandangi sepotong cheese cake yang begitu tampak terhias cantik dan menggugah selera.Namun sayangnya, Aliya tidak bisa memakannya.“Aku… tidak bisa makan keju,” jawab Aliya sedikit meringis.“Moony ga suka keju? Yang bener? Enak lho padahal…”“I
Me Saifa : [ Untuk pak Bumi, aku tunggu besok jam 9 pagi di depan CCP ] Saif : [ Ok ] Aliya membaca sekali lagi postingan yang ia unggah kemarin sore sesaat setelah pulang dari pertemuan dengan Agni. Dirinya kini berada di dalam angkutan umum menuju tempat yang ia tentukan untuk titik pertemuan dengan Dean hari ini. “Kiri, Mang!” seru Aliya saat angkutan yang ia tumpangi berbelok di persimpangan Cibinong. Dengan hati-hati ia turun lalu mengulurkan ongkos pada sang supir melalui jendela kiri depan. “Nuhun Mang,” tutur Aliya setelah menerima kembalian dari sang supir angkutan itu. Ia berjalan sambil memasukkan kembalian tersebut ke dalam saku celana jeans abu-abu yang ia pakai. Kaos panjang setengah paha berwarna paduan putih dan abu gelap dengan cappucon, menjadi pilihannya hari ini. Sementara rambutnya yang panjang ia ikatkan menjadi satu ke belakang, ala ekor kuda. Di pundak kanannya tersampir ransel kecil yang hanya bisa menampung ponsel, dompet dan buku catatan berukuran maks
Mobil pun melaju dan berkendara selama hampir dua puluh menit. Setelah melewati stasiun kereta, perkampungan dan bahkan kebun-kebun luas yang tak terawat, mereka kini tiba di satu kampung yang tidak terlalu padat.Ford Ranger yang Aliya dan Dean tumpangi berhenti di depan sebuah rumah panggung yang tidak terlalu besar. Tingginya hanya sekitar enam puluh senti dari permukaan tanah. Rumah panggung itu terlihat sangat sederhana, namun beraneka tanaman hias tertata cantik di samping kanan kiri kaki tangga.“Kita ke siapa?” Aliya menoleh ke kanannya dan mendapati Dean yang mencabut kunci lalu membuka seat belt yang ia kenakan.“Kita mampir ke orang-orang yang cukup penting untukku…”“Oh..” Kening Aliya berkerut samar. ‘Ngga mungkin kan, Dean membawaku ke keluarganya?’ pikirnya sedikit cemas.“Sebenarnya hari ini memang jadwalku mengunjungi mereka. Semula aku hendak minta ganti hari pa
“Duh punten pisan Kang Saip. Punten abdi nembe dongkap. Pun biang nuju teu damang,” (Maaf sekali Kang Saif. Maaf saya baru datang. Ibu saya lagi sakit) ujar seorang wanita berkerudung putih berusia sekitar tiga puluhan, ketika Dean telah selesai bersama anak-anak itu.“Teu sawios Teh. Abdi ge kaleresan aya priyogi deui, janten teu tiasa lami di dieu. Hapunten pisan janten ngawagel waktos teh Ani…” (Tidak apa-apa Teh. Saya juga kebetulan ada perlu lagi, jadi tidak bisa lama disini. Maaf sekali jadi mengganggu waktu Teh Ani) kata Dean pada wanita itu.Setelah Dean menyerahkan sebuah amplop dan menyampaikan beberapa hal pada wanita bernama Ani itu, ia lalu berpamitan. Anak-anak berhamburan keluar hanya untuk melambaikan tangan mereka pada Dean dan Aliya.Beberapa saat kemudian Dean dan Aliya telah berada dalam mobil mereka yang perlahan mulai menjauh dari rumah panggung tempat anak-anak itu berada.“Kenapa kau tidak bilan
Mata Aliya membelalak. Tangannya mencengkeram kuat pada pegangan tangan di kiri atasnya. Meski ia sempat terhentak ke depan, tubuhnya tertahan oleh seat belt serta tangan kiri Dean yang menahan bahu Aliya.Begitu nyaris!Andai tadi Dean tidak membanting setir dan berbelok ke kanan, mungkin hantaman bola-bola api itu akan menghancurkan mobil yang mereka kendarai.Baru saja mulut Aliya terbuka hendak berkata, tiga bola api kembali menghantam jalur jalan mereka.“Aahh!!” Aliya menutup matanya kuat-kuat.Dean kembali membanting setir untuk menghindar. Pedal gas yang ia injak kian dalam, menyentak tubuh Aliya hingga punggungnya merapat erat dengan jok yang ia duduki.Kedua mata Aliya masih terpejam rapat. Jantungnya berdentam sangat kuat. Butiran keringat mulai membasahi keningnya.Sama sekali ia tidak berani membuka matanya untuk melihat apakah bola api tadi mengenai mobil ini atau tidak.‘Ya Tuhan! Ada apa in
Di tengah padang rumput, empat ratus meter dari tempat Aliya disembunyikan, Dean berdiri tegap. Wajahnya yang tenang tidak bisa menyembunyikan sorot dingin yang terpancar dari tatapannya yang begitu tajam.Angin berhembus pelan, biji dandelion beterbangan di udara. Sayapnya yang selembut kapas, membuat biji dandelion itu terbang begitu jauh. Namun bertentangan dengan kelembutan itu, tampak kelebatan cepat muncul satu demi satu dengan membawa aura yang terasa berat.Kaki-kaki mereka menapak dan menjejak kuat rerumputan di bawahnya.Satu, dua, tiga hingga akhirnya tampak tujuh belas orang berdiri melingkari, mengepung Dean yang tetap berdiri dengan tenang. Desau angin meniup ringan kemeja flanel Dean yang tidak terkancing. Pun demikian dengan ke tujuh belas orang-orang itu. Dengan warna serupa, ujung pakaian mereka terayun.“Siapa kalian dan apa tujuan kalian menyerang saya?” Dean berkata pelan, namun getarannya sampai ke seluruh p