Mata Aliya membelalak. Tangannya mencengkeram kuat pada pegangan tangan di kiri atasnya. Meski ia sempat terhentak ke depan, tubuhnya tertahan oleh seat belt serta tangan kiri Dean yang menahan bahu Aliya.
Begitu nyaris!
Andai tadi Dean tidak membanting setir dan berbelok ke kanan, mungkin hantaman bola-bola api itu akan menghancurkan mobil yang mereka kendarai.
Baru saja mulut Aliya terbuka hendak berkata, tiga bola api kembali menghantam jalur jalan mereka.
“Aahh!!” Aliya menutup matanya kuat-kuat.
Dean kembali membanting setir untuk menghindar. Pedal gas yang ia injak kian dalam, menyentak tubuh Aliya hingga punggungnya merapat erat dengan jok yang ia duduki.
Kedua mata Aliya masih terpejam rapat. Jantungnya berdentam sangat kuat. Butiran keringat mulai membasahi keningnya.
Sama sekali ia tidak berani membuka matanya untuk melihat apakah bola api tadi mengenai mobil ini atau tidak.
‘Ya Tuhan! Ada apa in
Di tengah padang rumput, empat ratus meter dari tempat Aliya disembunyikan, Dean berdiri tegap. Wajahnya yang tenang tidak bisa menyembunyikan sorot dingin yang terpancar dari tatapannya yang begitu tajam.Angin berhembus pelan, biji dandelion beterbangan di udara. Sayapnya yang selembut kapas, membuat biji dandelion itu terbang begitu jauh. Namun bertentangan dengan kelembutan itu, tampak kelebatan cepat muncul satu demi satu dengan membawa aura yang terasa berat.Kaki-kaki mereka menapak dan menjejak kuat rerumputan di bawahnya.Satu, dua, tiga hingga akhirnya tampak tujuh belas orang berdiri melingkari, mengepung Dean yang tetap berdiri dengan tenang. Desau angin meniup ringan kemeja flanel Dean yang tidak terkancing. Pun demikian dengan ke tujuh belas orang-orang itu. Dengan warna serupa, ujung pakaian mereka terayun.“Siapa kalian dan apa tujuan kalian menyerang saya?” Dean berkata pelan, namun getarannya sampai ke seluruh p
“Kau datang, Einhard,” respon dari Dean yang tetap santai namun seluruh tubuh yang siaga.“Bagaimana Aliya? Di mana dia?” tanya sosok itu yang ternyata adalah Elang, dengan sedikit memiringkan kepalanya ke kiri.“Ada di tempat yang aman. Mereka tidak akan mendeteksinya, kecuali Aliya tanpa sadar mengeluarkan energinya,” sahut Dean pelan. “Saya sudah meminta ia tetap mengendalikan dirinya. Semoga saja ia tetap tenang,” lanjut Dean lagi.Selintas teringat oleh Dean yang meminta Aliya untuk mengatur pernapasannya. Hal yang sengaja Dean tekankan untuk dilakukan oleh Aliya, semata agar Aliya terfokus pada pengendalian dirinya dan tidak mengeluarkan energi miliknya tanpa sengaja.Sekali energi itu terpancar dari Aliya, maka orang-orang yang mengejar mereka akan tahu bahwa wanita yang mereka buru, ada di sini. Sembilan penyerang yang semula bergeletakan dan sebagian batuk darah, mulai bangkit perlahan
Suasana padang rumput yang semula begitu tenang dan menyejukkan karena semilir angin sepoi-sepoi, telah berubah menjadi medan pertempuran antara Elang, Dean dan Agni melawan enam belas elemen api berbaju merah.Enam belas elemen api penyerang Elang dan kawan-kawan, terus menyerang tanpa henti, dengan kekuatan penuh. Namun Elang, Dean juga Agni tampak tidak kesulitan menghempas semua serangan mereka lalu menghantam balik mereka.“Ah sialan! Kalian bikin malu harkat martabat elemen api!”Agni menyerang musuhnya dengan beberapa kali umpatan. Meski terlihat tidak sekuat Dean dan Elang, namun Agni tidak bisa dikatakan berada pada level rendah.Ia bergerak lincah seolah tak terhentikan.Sementara Elang dan Dean sama-sama mematikan.Lima menit berikutnya.BRUUUAAGG!!Enam belas musuh mereka, para penyerang elemen api berbaju merah itu, terkapar seluruhnya.“Hah!” dengkus Agni. “Ga ada apa-apanya ka
Entah sudah berapa lama Aliya menunggu dalam lubang yang dibuat oleh Dean untuk persembunyiannya itu. Ia dalam posisi duduk menekuk dan memeluk lututnya erat.Meskipun tubuhnya terasa hangat di dalam sini, rasa takut masih menderanya. Namun ia juga teringat pesan dari Dean yang memintanya untuk tetap tenang dan mengatur pernapasannya.Dalam segala ketidaktahuan diri Aliya tentang dunia ini --dunia elemen-- yang dapat ia lakukan hanyalah menuruti apa yang dikatakan oleh Dean. Seseorang yang ia anggap jauh lebih paham dan berpengalaman tentang ini semua.Semua doa ia panjatkan kuat-kuat dalam hati.Bayangan kedua orangtua dan ketiga adik-adiknya melintas cepat. Memohon agar semua baik-baik saja, karena ia masih belum menemui kedua orangtuanya untuk bersimpuh memohon maaf.“Mama.. Papa… Maafkan Aliya…” bisiknya lirih dengan mata yang telah bergenang. Ia tidak tahu, apakah ia akan masih bisa melihat kedua orangtuanya lagi deng
Lounge sebuah hotel bintang lima. Seorang pemuda berjaket merah dan seorang pria muda yang mengenakan kemeja flanel dan kaos berwarna putih, tampak duduk di tengah ruang yang di dominasi warna cokelat, jingga, hitam dan emas. Mereka duduk di sofa vintage yang saling berhadapan. Sang pemuda tampak gelisah dan beberapa kali menengok ke arah pintu, sementara sang pria muda tampak lebih tenang dan duduk dengan sabar. Tak lama berselang, seorang pria muda lain datang dengan tangan menggenggam ponsel. Ia tampaknya baru mengakhiri sebuah panggilan. “Akhirnya lu dateng juga,” pemuda berjaket merah berkata. “Maaf, saya sedikit telat,” ujar pria yang baru datang. Ia lalu mengambil tempat di sofa kosong di antara kedua pria yang telah duduk sebelumnya. “Aliya?” Dean, pria muda yang mengenakan kemeja flanel itu bertanya pada pria yang baru saja datang. “Di kamar. Saya tidak membawanya kesini,” jawab pria itu, yang adalah Elang. “Kau akan memberitahunya setelah kita selesai di sini?” Dean
“Oh God…” lirihnya, lalu tangan kanan mengacak rambutnya. “Sama… gue juga mimpi Moony di usia empat belas tahun…” Baik Dean dan Elang saling melempar pandang. Sesaat kening mereka berdua tampak berkerut, menunjukkan pikiran -pikiran yang tengah singgah di kepala mereka, bukanlah merupakan hal yang simpel. “Oke. Kita bertiga di sini sekarang. Kita bertiga, dengan elemen berbeda, memiliki mimpi yang sama di usia yang sama,” Dean melanjutkan setelah menarik napas panjang. “Apa saya boleh tahu, sejak kapan kalian menyadari memiliki kekuatan elemen?” “Setelah mimpi bertemu Aliya itu,” jawab Elang. “Ya, sama. Gue juga,” sahut Agni. Dean terdiam sesaat. “Bagaimana denganmu?” Elang bertanya. “Saya sedikit lebih awal. Sebelum mimpi itu,” jawab Dean pelan. “Baiklah. Kita lanjut.” Elang menatap dalam ke arah Dean. Ia menyadari kilatan suram yang tampak olehnya dari sorot mata Dean. Dan Dean tampak bergegas mengganti topik, seolah menghindari melanjutkan pembahasan tentang awal dia memili
KRAAAAKKK!!“A-ampun Tuan! Ampuni kamii!!”Jeritan demi jeritan kesakitan terdengar memenuhi ruang serba hitam tersebut. Tak ada cahaya masuk dari manapun, karena tidak ada jendela ataupun ventilasi yang tampak di sekeliling.Penerangan hanya berasal dari beberapa obor yang di gantungkan di setiap sudut ruang, hingga menghasilkan cahaya yang terlihat temaram namun cukup bagi orang-orang yang berada di sana.Satu sosok ada di atas kursi yang berada di atas lantai yang setengah meter lebih tinggi dari permukaan seluruh lantai.Ia mengenakan jubah merah panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Sementara wajahnya tertutup oleh topeng berwarna emas, sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk memperlihatkan rupa dibalik topeng itu.Namun demikian, sosok itu menebarkan aura mencekam serta mengintimidasi seluruh yang berada di ruangan itu.Di samping kirinya berdiri satu sosok lain berjubah hitam panjang yang juga menutupi seluruh t
‘Gue gak tenang dari kemarin. Are you really ok, sis?’ Suara penuh kecemasan itu terdengar begitu nyaring di telinga Aliya.“Iya, Hana. Aku alhamdulillah baik-baik aja,” jawab Aliya.‘Kamu dimana sis?’ tanya Hana. ‘Baiknya jangan sendirian dulu ya.’“Aku di… emm…” Aliya terhenti. Otaknya berpikir cepat untuk memberikan kalimat yang tidak membuat Hana lebih cemas lagi. Namun dalam hatinya, Aliya paham. Ia tidak bisa berbohong pada seorang Hana. Kebohongan apapun akan percuma.Entah berapa kali, Hana selalu tahu jika Aliya berbohong padanya.“Aku… di hotel, Han,” jawab Aliya pelan.‘What? Di hotel? Sama siapa? Dari kapan?’“Sudah dua malam aku di hotel. Aku tidur sendiri di satu kamar. Kamar lainnya diisi oleh satu orang yang bantu-bantu aku di sini.”‘Kamu di family room atau apaan nih? Ada apa sis? Tell me,