Suasana padang rumput yang semula begitu tenang dan menyejukkan karena semilir angin sepoi-sepoi, telah berubah menjadi medan pertempuran antara Elang, Dean dan Agni melawan enam belas elemen api berbaju merah.
Enam belas elemen api penyerang Elang dan kawan-kawan, terus menyerang tanpa henti, dengan kekuatan penuh. Namun Elang, Dean juga Agni tampak tidak kesulitan menghempas semua serangan mereka lalu menghantam balik mereka.
“Ah sialan! Kalian bikin malu harkat martabat elemen api!”
Agni menyerang musuhnya dengan beberapa kali umpatan. Meski terlihat tidak sekuat Dean dan Elang, namun Agni tidak bisa dikatakan berada pada level rendah.
Ia bergerak lincah seolah tak terhentikan.
Sementara Elang dan Dean sama-sama mematikan.
Lima menit berikutnya.
BRUUUAAGG!!
Enam belas musuh mereka, para penyerang elemen api berbaju merah itu, terkapar seluruhnya.
“Hah!” dengkus Agni. “Ga ada apa-apanya ka
Entah sudah berapa lama Aliya menunggu dalam lubang yang dibuat oleh Dean untuk persembunyiannya itu. Ia dalam posisi duduk menekuk dan memeluk lututnya erat.Meskipun tubuhnya terasa hangat di dalam sini, rasa takut masih menderanya. Namun ia juga teringat pesan dari Dean yang memintanya untuk tetap tenang dan mengatur pernapasannya.Dalam segala ketidaktahuan diri Aliya tentang dunia ini --dunia elemen-- yang dapat ia lakukan hanyalah menuruti apa yang dikatakan oleh Dean. Seseorang yang ia anggap jauh lebih paham dan berpengalaman tentang ini semua.Semua doa ia panjatkan kuat-kuat dalam hati.Bayangan kedua orangtua dan ketiga adik-adiknya melintas cepat. Memohon agar semua baik-baik saja, karena ia masih belum menemui kedua orangtuanya untuk bersimpuh memohon maaf.“Mama.. Papa… Maafkan Aliya…” bisiknya lirih dengan mata yang telah bergenang. Ia tidak tahu, apakah ia akan masih bisa melihat kedua orangtuanya lagi deng
Lounge sebuah hotel bintang lima. Seorang pemuda berjaket merah dan seorang pria muda yang mengenakan kemeja flanel dan kaos berwarna putih, tampak duduk di tengah ruang yang di dominasi warna cokelat, jingga, hitam dan emas. Mereka duduk di sofa vintage yang saling berhadapan. Sang pemuda tampak gelisah dan beberapa kali menengok ke arah pintu, sementara sang pria muda tampak lebih tenang dan duduk dengan sabar. Tak lama berselang, seorang pria muda lain datang dengan tangan menggenggam ponsel. Ia tampaknya baru mengakhiri sebuah panggilan. “Akhirnya lu dateng juga,” pemuda berjaket merah berkata. “Maaf, saya sedikit telat,” ujar pria yang baru datang. Ia lalu mengambil tempat di sofa kosong di antara kedua pria yang telah duduk sebelumnya. “Aliya?” Dean, pria muda yang mengenakan kemeja flanel itu bertanya pada pria yang baru saja datang. “Di kamar. Saya tidak membawanya kesini,” jawab pria itu, yang adalah Elang. “Kau akan memberitahunya setelah kita selesai di sini?” Dean
“Oh God…” lirihnya, lalu tangan kanan mengacak rambutnya. “Sama… gue juga mimpi Moony di usia empat belas tahun…” Baik Dean dan Elang saling melempar pandang. Sesaat kening mereka berdua tampak berkerut, menunjukkan pikiran -pikiran yang tengah singgah di kepala mereka, bukanlah merupakan hal yang simpel. “Oke. Kita bertiga di sini sekarang. Kita bertiga, dengan elemen berbeda, memiliki mimpi yang sama di usia yang sama,” Dean melanjutkan setelah menarik napas panjang. “Apa saya boleh tahu, sejak kapan kalian menyadari memiliki kekuatan elemen?” “Setelah mimpi bertemu Aliya itu,” jawab Elang. “Ya, sama. Gue juga,” sahut Agni. Dean terdiam sesaat. “Bagaimana denganmu?” Elang bertanya. “Saya sedikit lebih awal. Sebelum mimpi itu,” jawab Dean pelan. “Baiklah. Kita lanjut.” Elang menatap dalam ke arah Dean. Ia menyadari kilatan suram yang tampak olehnya dari sorot mata Dean. Dan Dean tampak bergegas mengganti topik, seolah menghindari melanjutkan pembahasan tentang awal dia memili
KRAAAAKKK!!“A-ampun Tuan! Ampuni kamii!!”Jeritan demi jeritan kesakitan terdengar memenuhi ruang serba hitam tersebut. Tak ada cahaya masuk dari manapun, karena tidak ada jendela ataupun ventilasi yang tampak di sekeliling.Penerangan hanya berasal dari beberapa obor yang di gantungkan di setiap sudut ruang, hingga menghasilkan cahaya yang terlihat temaram namun cukup bagi orang-orang yang berada di sana.Satu sosok ada di atas kursi yang berada di atas lantai yang setengah meter lebih tinggi dari permukaan seluruh lantai.Ia mengenakan jubah merah panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Sementara wajahnya tertutup oleh topeng berwarna emas, sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk memperlihatkan rupa dibalik topeng itu.Namun demikian, sosok itu menebarkan aura mencekam serta mengintimidasi seluruh yang berada di ruangan itu.Di samping kirinya berdiri satu sosok lain berjubah hitam panjang yang juga menutupi seluruh t
‘Gue gak tenang dari kemarin. Are you really ok, sis?’ Suara penuh kecemasan itu terdengar begitu nyaring di telinga Aliya.“Iya, Hana. Aku alhamdulillah baik-baik aja,” jawab Aliya.‘Kamu dimana sis?’ tanya Hana. ‘Baiknya jangan sendirian dulu ya.’“Aku di… emm…” Aliya terhenti. Otaknya berpikir cepat untuk memberikan kalimat yang tidak membuat Hana lebih cemas lagi. Namun dalam hatinya, Aliya paham. Ia tidak bisa berbohong pada seorang Hana. Kebohongan apapun akan percuma.Entah berapa kali, Hana selalu tahu jika Aliya berbohong padanya.“Aku… di hotel, Han,” jawab Aliya pelan.‘What? Di hotel? Sama siapa? Dari kapan?’“Sudah dua malam aku di hotel. Aku tidur sendiri di satu kamar. Kamar lainnya diisi oleh satu orang yang bantu-bantu aku di sini.”‘Kamu di family room atau apaan nih? Ada apa sis? Tell me,
“Dean…” Aliya tak kuasa berkata lebih lanjut. Ia tengah berusaha menenteramkan debaran dadanya yang menyerang tiba-tiba dan juga rasa kaget yang gagal ia sembunyikan.“Maaf jika mengejutkanmu. Aku hanya ingin mengembalikan ini,” Dean yang memang berdiri di hadapan Aliya itu, mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan ransel milik Aliya.“Ah… I-iya..” Aliya mengambil tas miliknya dari tangan Dean. “Terima kasih.”“Maaf baru kukembalikan. Baru tadi pagi aku mengecek kembali bagian dalam mobil. Tas itu ada di bawah jok belakang,” jelas dean.“Tidak apa-apa Dean. Lagi pula tidak ada barang penting yang aku butuhkan segera dari dalam tas ini. Hanya dompet berisi SIM motor dan SIM mobil dan tanda pengenal lainnya. Yah… lagi pula aku tidak bisa kemana-mana dulu saat ini, kan?”Dean tidak menjawabnya. Alih-alih, ia memandang dengan sorot yang begitu kompleks, se
“Aaaahhh!!” Aliya mengacak-acak rambutnya. “Apa yang kukatakan!” Ia menjatuhkan diri di atas kasur miliknya.Sejak sejam lalu, ia telah kembali berada di rumahnya. Namun sedari tadi, yang ia lakukan hanyalah berguling dan mengacak-acak rambutnya.Sementara itu, kedua pipinya memerah.Berkali-kali pula ia menutup wajahnya dengan bantal dan mengayun-ayunkan kedua kakinya dengan kesal.“Aku maluuuu!” pekiknya dengan suara yang teredam oleh bantal di wajahnya.“Dia tuh tadi ngga nanya soal cinta, Aliya! Dia nanya soal boleh atau ngga jagain seterusnya! Kenapa kamu malah jawab ‘aku mencintaimu juga’!” Aliya mengoceh frustrasi.Ia betul-betul merasa telah mempermalukan dirinya sendiri.Apalagi setelah ia mengatakan kalimat itu, Elang memperlihatkan wajah bengong terkejutnya, meskipun kemudian memberinya senyuman yang teramat manis.Belum lagi tingkah Ridwan yang menyebalkan
Deg!Keheningan jatuh seketika di antara keduanya.Aliya menahan napasnya yang mulai terasa memburu. Debaran jantungnya meningkat namun ia segera mengaturnya agar tidak sampai lepas kendali.‘Aliya…’Suara yang mengalun lembut itu terdengar seperti genderang yang ditabuh tepat di samping telinga Aliya. Membuatnya terhenyak, tanpa sempat mengatur kegugupannya agar tidak terlalu nyata tertangkap dan terdengar oleh Elang.“E-Elang.. soal itu…”‘Apa kau bersedia?’“A-aku…” Aliya menelan ludah susah payah. Detak jantungnya semakin sulit ia kendalikan. Napasnya kian berlomba membuat dirinya tanpa daya.Lagi-lagi keheningan menjelma untuk beberapa jenak.‘Baiklah, kita bicarakan lagi itu nanti,’ ujar Elang akhirnya. Ia menghembuskan perlahan napasnya.“I-iya… Kita bicarakan lagi nanti…” Aliya mengamini kalimat