“Oh God…” lirihnya, lalu tangan kanan mengacak rambutnya. “Sama… gue juga mimpi Moony di usia empat belas tahun…” Baik Dean dan Elang saling melempar pandang. Sesaat kening mereka berdua tampak berkerut, menunjukkan pikiran -pikiran yang tengah singgah di kepala mereka, bukanlah merupakan hal yang simpel. “Oke. Kita bertiga di sini sekarang. Kita bertiga, dengan elemen berbeda, memiliki mimpi yang sama di usia yang sama,” Dean melanjutkan setelah menarik napas panjang. “Apa saya boleh tahu, sejak kapan kalian menyadari memiliki kekuatan elemen?” “Setelah mimpi bertemu Aliya itu,” jawab Elang. “Ya, sama. Gue juga,” sahut Agni. Dean terdiam sesaat. “Bagaimana denganmu?” Elang bertanya. “Saya sedikit lebih awal. Sebelum mimpi itu,” jawab Dean pelan. “Baiklah. Kita lanjut.” Elang menatap dalam ke arah Dean. Ia menyadari kilatan suram yang tampak olehnya dari sorot mata Dean. Dan Dean tampak bergegas mengganti topik, seolah menghindari melanjutkan pembahasan tentang awal dia memili
KRAAAAKKK!!“A-ampun Tuan! Ampuni kamii!!”Jeritan demi jeritan kesakitan terdengar memenuhi ruang serba hitam tersebut. Tak ada cahaya masuk dari manapun, karena tidak ada jendela ataupun ventilasi yang tampak di sekeliling.Penerangan hanya berasal dari beberapa obor yang di gantungkan di setiap sudut ruang, hingga menghasilkan cahaya yang terlihat temaram namun cukup bagi orang-orang yang berada di sana.Satu sosok ada di atas kursi yang berada di atas lantai yang setengah meter lebih tinggi dari permukaan seluruh lantai.Ia mengenakan jubah merah panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Sementara wajahnya tertutup oleh topeng berwarna emas, sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk memperlihatkan rupa dibalik topeng itu.Namun demikian, sosok itu menebarkan aura mencekam serta mengintimidasi seluruh yang berada di ruangan itu.Di samping kirinya berdiri satu sosok lain berjubah hitam panjang yang juga menutupi seluruh t
‘Gue gak tenang dari kemarin. Are you really ok, sis?’ Suara penuh kecemasan itu terdengar begitu nyaring di telinga Aliya.“Iya, Hana. Aku alhamdulillah baik-baik aja,” jawab Aliya.‘Kamu dimana sis?’ tanya Hana. ‘Baiknya jangan sendirian dulu ya.’“Aku di… emm…” Aliya terhenti. Otaknya berpikir cepat untuk memberikan kalimat yang tidak membuat Hana lebih cemas lagi. Namun dalam hatinya, Aliya paham. Ia tidak bisa berbohong pada seorang Hana. Kebohongan apapun akan percuma.Entah berapa kali, Hana selalu tahu jika Aliya berbohong padanya.“Aku… di hotel, Han,” jawab Aliya pelan.‘What? Di hotel? Sama siapa? Dari kapan?’“Sudah dua malam aku di hotel. Aku tidur sendiri di satu kamar. Kamar lainnya diisi oleh satu orang yang bantu-bantu aku di sini.”‘Kamu di family room atau apaan nih? Ada apa sis? Tell me,
“Dean…” Aliya tak kuasa berkata lebih lanjut. Ia tengah berusaha menenteramkan debaran dadanya yang menyerang tiba-tiba dan juga rasa kaget yang gagal ia sembunyikan.“Maaf jika mengejutkanmu. Aku hanya ingin mengembalikan ini,” Dean yang memang berdiri di hadapan Aliya itu, mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan ransel milik Aliya.“Ah… I-iya..” Aliya mengambil tas miliknya dari tangan Dean. “Terima kasih.”“Maaf baru kukembalikan. Baru tadi pagi aku mengecek kembali bagian dalam mobil. Tas itu ada di bawah jok belakang,” jelas dean.“Tidak apa-apa Dean. Lagi pula tidak ada barang penting yang aku butuhkan segera dari dalam tas ini. Hanya dompet berisi SIM motor dan SIM mobil dan tanda pengenal lainnya. Yah… lagi pula aku tidak bisa kemana-mana dulu saat ini, kan?”Dean tidak menjawabnya. Alih-alih, ia memandang dengan sorot yang begitu kompleks, se
“Aaaahhh!!” Aliya mengacak-acak rambutnya. “Apa yang kukatakan!” Ia menjatuhkan diri di atas kasur miliknya.Sejak sejam lalu, ia telah kembali berada di rumahnya. Namun sedari tadi, yang ia lakukan hanyalah berguling dan mengacak-acak rambutnya.Sementara itu, kedua pipinya memerah.Berkali-kali pula ia menutup wajahnya dengan bantal dan mengayun-ayunkan kedua kakinya dengan kesal.“Aku maluuuu!” pekiknya dengan suara yang teredam oleh bantal di wajahnya.“Dia tuh tadi ngga nanya soal cinta, Aliya! Dia nanya soal boleh atau ngga jagain seterusnya! Kenapa kamu malah jawab ‘aku mencintaimu juga’!” Aliya mengoceh frustrasi.Ia betul-betul merasa telah mempermalukan dirinya sendiri.Apalagi setelah ia mengatakan kalimat itu, Elang memperlihatkan wajah bengong terkejutnya, meskipun kemudian memberinya senyuman yang teramat manis.Belum lagi tingkah Ridwan yang menyebalkan
Deg!Keheningan jatuh seketika di antara keduanya.Aliya menahan napasnya yang mulai terasa memburu. Debaran jantungnya meningkat namun ia segera mengaturnya agar tidak sampai lepas kendali.‘Aliya…’Suara yang mengalun lembut itu terdengar seperti genderang yang ditabuh tepat di samping telinga Aliya. Membuatnya terhenyak, tanpa sempat mengatur kegugupannya agar tidak terlalu nyata tertangkap dan terdengar oleh Elang.“E-Elang.. soal itu…”‘Apa kau bersedia?’“A-aku…” Aliya menelan ludah susah payah. Detak jantungnya semakin sulit ia kendalikan. Napasnya kian berlomba membuat dirinya tanpa daya.Lagi-lagi keheningan menjelma untuk beberapa jenak.‘Baiklah, kita bicarakan lagi itu nanti,’ ujar Elang akhirnya. Ia menghembuskan perlahan napasnya.“I-iya… Kita bicarakan lagi nanti…” Aliya mengamini kalimat
‘Jika benar, maka…..’ Elang menutup mata sesaat. Tak kuasa, ia mendesah dalam hati. Ini bukan saja hanya harum. Tapi aroma ini begitu kuat dan menggugah sel-sel dalam tubuhnya bekerja lebih cepat. Membuat darahnya terasa mengalir panas dan… sangat gerah. Nadinya berdenyut lebih keras, bulu halus di seluruh tubuhnya meremang. Elang menghembus napas dengan sangat berat. Desakan suatu keinginan yang begitu kuat mulai menjajah setiap penjuru sel dalam tubuhnya. Ini lebih menyulitkannya lagi. Sesuatu di bawah sana terasa menggembung dan membuatnya sesak. Aliya dihadapannya hanya mampu mengerutkan kening, semakin tak mengerti. Menatap wajah Elang yang tampak begitu terlihat sengsara. “Kau… baik-baik saja?” giliran Aliya bertanya khawatir. Elang mengeratkan rahang dan mengatupkan gigi dengan rapat. ‘Damn!’ Bahkan pertanyaan dengan nada datar Aliya, kini terdengar begitu merdu dan sensual. “Elang… Kau kenapa?” Kepala Elang yang terasa mulai berat, perlahan menggeleng. “Al, sebaiknya
“This is insane. Kalo gue nyium aroma model gitu lagi, gue gak yakin bisa bertahan,” Agni menghempas tubuhnya di atas sofa di tempat tinggal Dean. “Watch your saying,” tegur Dean tanpa ekspresi. Ia lalu mengembalikan arah pandangan pada layar ponselnya kembali. Jarinya bergerak cepat, tampak membalas beberapa pesan masuk yang sedari malam tadi terpaksa terabaikan. “Emang lu bisa santai, Om?” dengkus Agni. “Kagak kan? Ia membuang napas kasar lalu mengoceh lagi. “Untung aja aroma itu hanya merebak sekitar tiga puluh menitan. Tapi efeknya lumayan menguras energi kita buat ngontrol diri. Kagak kebayang sama gue, kalo aroma itu merebak lebih dari sejam.” Mereka baru saja kembali dari melakukan ‘pelapisan’ tambahan untuk menutupi aroma Aliya yang sempat merebak tadi. Jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun tak satupun dari keduanya yang terlihat mengantuk dan menyerah untuk beristirahat. Alih-alih kembali ke tempatnya sendiri, Agni