‘Gue gak tenang dari kemarin. Are you really ok, sis?’ Suara penuh kecemasan itu terdengar begitu nyaring di telinga Aliya.
“Iya, Hana. Aku alhamdulillah baik-baik aja,” jawab Aliya.
‘Kamu dimana sis?’ tanya Hana. ‘Baiknya jangan sendirian dulu ya.’
“Aku di… emm…” Aliya terhenti. Otaknya berpikir cepat untuk memberikan kalimat yang tidak membuat Hana lebih cemas lagi. Namun dalam hatinya, Aliya paham. Ia tidak bisa berbohong pada seorang Hana. Kebohongan apapun akan percuma.
Entah berapa kali, Hana selalu tahu jika Aliya berbohong padanya.
“Aku… di hotel, Han,” jawab Aliya pelan.
‘What? Di hotel? Sama siapa? Dari kapan?’
“Sudah dua malam aku di hotel. Aku tidur sendiri di satu kamar. Kamar lainnya diisi oleh satu orang yang bantu-bantu aku di sini.”
‘Kamu di family room atau apaan nih? Ada apa sis? Tell me,
“Dean…” Aliya tak kuasa berkata lebih lanjut. Ia tengah berusaha menenteramkan debaran dadanya yang menyerang tiba-tiba dan juga rasa kaget yang gagal ia sembunyikan.“Maaf jika mengejutkanmu. Aku hanya ingin mengembalikan ini,” Dean yang memang berdiri di hadapan Aliya itu, mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan ransel milik Aliya.“Ah… I-iya..” Aliya mengambil tas miliknya dari tangan Dean. “Terima kasih.”“Maaf baru kukembalikan. Baru tadi pagi aku mengecek kembali bagian dalam mobil. Tas itu ada di bawah jok belakang,” jelas dean.“Tidak apa-apa Dean. Lagi pula tidak ada barang penting yang aku butuhkan segera dari dalam tas ini. Hanya dompet berisi SIM motor dan SIM mobil dan tanda pengenal lainnya. Yah… lagi pula aku tidak bisa kemana-mana dulu saat ini, kan?”Dean tidak menjawabnya. Alih-alih, ia memandang dengan sorot yang begitu kompleks, se
“Aaaahhh!!” Aliya mengacak-acak rambutnya. “Apa yang kukatakan!” Ia menjatuhkan diri di atas kasur miliknya.Sejak sejam lalu, ia telah kembali berada di rumahnya. Namun sedari tadi, yang ia lakukan hanyalah berguling dan mengacak-acak rambutnya.Sementara itu, kedua pipinya memerah.Berkali-kali pula ia menutup wajahnya dengan bantal dan mengayun-ayunkan kedua kakinya dengan kesal.“Aku maluuuu!” pekiknya dengan suara yang teredam oleh bantal di wajahnya.“Dia tuh tadi ngga nanya soal cinta, Aliya! Dia nanya soal boleh atau ngga jagain seterusnya! Kenapa kamu malah jawab ‘aku mencintaimu juga’!” Aliya mengoceh frustrasi.Ia betul-betul merasa telah mempermalukan dirinya sendiri.Apalagi setelah ia mengatakan kalimat itu, Elang memperlihatkan wajah bengong terkejutnya, meskipun kemudian memberinya senyuman yang teramat manis.Belum lagi tingkah Ridwan yang menyebalkan
Deg!Keheningan jatuh seketika di antara keduanya.Aliya menahan napasnya yang mulai terasa memburu. Debaran jantungnya meningkat namun ia segera mengaturnya agar tidak sampai lepas kendali.‘Aliya…’Suara yang mengalun lembut itu terdengar seperti genderang yang ditabuh tepat di samping telinga Aliya. Membuatnya terhenyak, tanpa sempat mengatur kegugupannya agar tidak terlalu nyata tertangkap dan terdengar oleh Elang.“E-Elang.. soal itu…”‘Apa kau bersedia?’“A-aku…” Aliya menelan ludah susah payah. Detak jantungnya semakin sulit ia kendalikan. Napasnya kian berlomba membuat dirinya tanpa daya.Lagi-lagi keheningan menjelma untuk beberapa jenak.‘Baiklah, kita bicarakan lagi itu nanti,’ ujar Elang akhirnya. Ia menghembuskan perlahan napasnya.“I-iya… Kita bicarakan lagi nanti…” Aliya mengamini kalimat
‘Jika benar, maka…..’ Elang menutup mata sesaat. Tak kuasa, ia mendesah dalam hati. Ini bukan saja hanya harum. Tapi aroma ini begitu kuat dan menggugah sel-sel dalam tubuhnya bekerja lebih cepat. Membuat darahnya terasa mengalir panas dan… sangat gerah. Nadinya berdenyut lebih keras, bulu halus di seluruh tubuhnya meremang. Elang menghembus napas dengan sangat berat. Desakan suatu keinginan yang begitu kuat mulai menjajah setiap penjuru sel dalam tubuhnya. Ini lebih menyulitkannya lagi. Sesuatu di bawah sana terasa menggembung dan membuatnya sesak. Aliya dihadapannya hanya mampu mengerutkan kening, semakin tak mengerti. Menatap wajah Elang yang tampak begitu terlihat sengsara. “Kau… baik-baik saja?” giliran Aliya bertanya khawatir. Elang mengeratkan rahang dan mengatupkan gigi dengan rapat. ‘Damn!’ Bahkan pertanyaan dengan nada datar Aliya, kini terdengar begitu merdu dan sensual. “Elang… Kau kenapa?” Kepala Elang yang terasa mulai berat, perlahan menggeleng. “Al, sebaiknya
“This is insane. Kalo gue nyium aroma model gitu lagi, gue gak yakin bisa bertahan,” Agni menghempas tubuhnya di atas sofa di tempat tinggal Dean. “Watch your saying,” tegur Dean tanpa ekspresi. Ia lalu mengembalikan arah pandangan pada layar ponselnya kembali. Jarinya bergerak cepat, tampak membalas beberapa pesan masuk yang sedari malam tadi terpaksa terabaikan. “Emang lu bisa santai, Om?” dengkus Agni. “Kagak kan? Ia membuang napas kasar lalu mengoceh lagi. “Untung aja aroma itu hanya merebak sekitar tiga puluh menitan. Tapi efeknya lumayan menguras energi kita buat ngontrol diri. Kagak kebayang sama gue, kalo aroma itu merebak lebih dari sejam.” Mereka baru saja kembali dari melakukan ‘pelapisan’ tambahan untuk menutupi aroma Aliya yang sempat merebak tadi. Jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun tak satupun dari keduanya yang terlihat mengantuk dan menyerah untuk beristirahat. Alih-alih kembali ke tempatnya sendiri, Agni
Aliya melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Jam ini baru. Strap terbuat dari kulit berwarna hitam yang berkualitas tinggi. Dengan angka-angka romawi dalam bingkai emas persegi. Sementara di bawah angka XII terukir sebuah brand ternama berawalan huruf ‘C’. Jam tangan itu pemberian dari Elang beberapa hari lalu, saat ia bermalam di hotel paska kejadian penyerangan. Elang mengatakan, jam tersebut dipesan khusus dengan dipasangkan sistem GPS yang canggih, yang langsung terkoneksi pada jam tangan milik Elang. Pandangan Aliya kini beralih pada isi tas selempang yang ia pakai hari ini. Semprotan merica dan bahkan taser gun ada di dalam tas nya. “Aliya.” Sebuah suara dalam memanggil Aliya dari belakang. Ia pun menoleh cepat, lalu seutas senyum canggung terbit di wajah ovalnya. “Dean.” “Lengkap sekali bawaannya,” goda Dean setelah melirik sekilas barang yang terlihat dari dalam tas Aliya yang terbuka lebar. “Ah, iya. Ini untuk jaga-jaga…” Aliya tersipu. Ia segera menarik ri
Sore sepulang dari kegiatannya bersama Dean, Aliya duduk bersila di lantai. Ia terpekur cukup lama. Hippocampus-nya --bagian otak yang berfungsi mengolah memori-- bekerja menyuguhkan potongan kejadian serta rekaman kata demi kata yang dilontarkan Dean. Entah bagaimana menjelaskannya, hatinya kini diliputi rasa gelisah yang tak berkesudahan. Lalu menit selanjutnya, Aliya mengeluarkan ponsel dari tas selempang miliknya yang masih tergeletak di sampingnya. Tangannya membuka aplikasi pesan instan berwarna hijau. Lalu mencari satu nama kontak dan mulai mengetik di sana. [Hana] [Aku gak enak perasaan. Entah kenapa. Hari ini aku habis pulang dari jadwal terakhir sama cowok Bumi. Saif. Biar adil dan merata. Tapi…] Aliya terhenti sesaat. [Aku merasa ada ganjalan. Sedikit bingung. Entah mungkin galau. Einhard dan Saif. Aku memang memiliki perasaan pada Einhard. Tapi jika disebut ‘cinta’, apakah terlalu dangkal? Karena saat ini aku bahkan
“A-apa?? Papa mau apa??” Dada Aliya melewati satu detakan. Telapak tangannya benar-benar telah menjadi dingin.Apa ia salah dengar?‘Papa akan menikahkanmu dengan seseorang,’ ulang papa Aliya.Keheningan seketika jatuh antara mereka.Kedua mata Aliya memanas. Sungguh ia kaget. Sungguh ia tak pernah menduga papanya akan mengatakan hal seperti ini padanya, di saat begini.‘Karena itu, papa mengawali dengan pertanyaan, apakah Aliya masih mempercayai papa?’Aliya tergugu. Suaranya tercekat di tenggorokan.‘Apakah Aliya berpikir bahwa papa akan menjerumuskanmu, Nak?’“Ti-tidak, Pa… Tentu tidak…” jawab Aliya pasrah.‘Bisakah Aliya menyerahkan dan mempercayakan ini, kali ini, pada papa?’Keheningan kembali menjeda percakapan ayah-anak tersebut.‘Aliya…’ Suara papa Aliya memecah keheningan mereka. ‘Apa Ali