Gimana teman-teman? Lanjut? ;D
“This is insane. Kalo gue nyium aroma model gitu lagi, gue gak yakin bisa bertahan,” Agni menghempas tubuhnya di atas sofa di tempat tinggal Dean. “Watch your saying,” tegur Dean tanpa ekspresi. Ia lalu mengembalikan arah pandangan pada layar ponselnya kembali. Jarinya bergerak cepat, tampak membalas beberapa pesan masuk yang sedari malam tadi terpaksa terabaikan. “Emang lu bisa santai, Om?” dengkus Agni. “Kagak kan? Ia membuang napas kasar lalu mengoceh lagi. “Untung aja aroma itu hanya merebak sekitar tiga puluh menitan. Tapi efeknya lumayan menguras energi kita buat ngontrol diri. Kagak kebayang sama gue, kalo aroma itu merebak lebih dari sejam.” Mereka baru saja kembali dari melakukan ‘pelapisan’ tambahan untuk menutupi aroma Aliya yang sempat merebak tadi. Jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun tak satupun dari keduanya yang terlihat mengantuk dan menyerah untuk beristirahat. Alih-alih kembali ke tempatnya sendiri, Agni
Aliya melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Jam ini baru. Strap terbuat dari kulit berwarna hitam yang berkualitas tinggi. Dengan angka-angka romawi dalam bingkai emas persegi. Sementara di bawah angka XII terukir sebuah brand ternama berawalan huruf ‘C’. Jam tangan itu pemberian dari Elang beberapa hari lalu, saat ia bermalam di hotel paska kejadian penyerangan. Elang mengatakan, jam tersebut dipesan khusus dengan dipasangkan sistem GPS yang canggih, yang langsung terkoneksi pada jam tangan milik Elang. Pandangan Aliya kini beralih pada isi tas selempang yang ia pakai hari ini. Semprotan merica dan bahkan taser gun ada di dalam tas nya. “Aliya.” Sebuah suara dalam memanggil Aliya dari belakang. Ia pun menoleh cepat, lalu seutas senyum canggung terbit di wajah ovalnya. “Dean.” “Lengkap sekali bawaannya,” goda Dean setelah melirik sekilas barang yang terlihat dari dalam tas Aliya yang terbuka lebar. “Ah, iya. Ini untuk jaga-jaga…” Aliya tersipu. Ia segera menarik ri
Sore sepulang dari kegiatannya bersama Dean, Aliya duduk bersila di lantai. Ia terpekur cukup lama. Hippocampus-nya --bagian otak yang berfungsi mengolah memori-- bekerja menyuguhkan potongan kejadian serta rekaman kata demi kata yang dilontarkan Dean. Entah bagaimana menjelaskannya, hatinya kini diliputi rasa gelisah yang tak berkesudahan. Lalu menit selanjutnya, Aliya mengeluarkan ponsel dari tas selempang miliknya yang masih tergeletak di sampingnya. Tangannya membuka aplikasi pesan instan berwarna hijau. Lalu mencari satu nama kontak dan mulai mengetik di sana. [Hana] [Aku gak enak perasaan. Entah kenapa. Hari ini aku habis pulang dari jadwal terakhir sama cowok Bumi. Saif. Biar adil dan merata. Tapi…] Aliya terhenti sesaat. [Aku merasa ada ganjalan. Sedikit bingung. Entah mungkin galau. Einhard dan Saif. Aku memang memiliki perasaan pada Einhard. Tapi jika disebut ‘cinta’, apakah terlalu dangkal? Karena saat ini aku bahkan
“A-apa?? Papa mau apa??” Dada Aliya melewati satu detakan. Telapak tangannya benar-benar telah menjadi dingin.Apa ia salah dengar?‘Papa akan menikahkanmu dengan seseorang,’ ulang papa Aliya.Keheningan seketika jatuh antara mereka.Kedua mata Aliya memanas. Sungguh ia kaget. Sungguh ia tak pernah menduga papanya akan mengatakan hal seperti ini padanya, di saat begini.‘Karena itu, papa mengawali dengan pertanyaan, apakah Aliya masih mempercayai papa?’Aliya tergugu. Suaranya tercekat di tenggorokan.‘Apakah Aliya berpikir bahwa papa akan menjerumuskanmu, Nak?’“Ti-tidak, Pa… Tentu tidak…” jawab Aliya pasrah.‘Bisakah Aliya menyerahkan dan mempercayakan ini, kali ini, pada papa?’Keheningan kembali menjeda percakapan ayah-anak tersebut.‘Aliya…’ Suara papa Aliya memecah keheningan mereka. ‘Apa Ali
Pagi telah tiba. Tak seperti biasa, suara kicau burung terdengar samar namun cukup menarik perhatian Aliya. Sementara di Timur sana, kilau cahaya mentari menyapa perlahan tapi pasti. Meninggalkan kesan hangat sebelum ia akan menyengat di pertengahan hari nanti.Sejak tadi Aliya telah terbangun. Meski ia tidak melalui malam yang panjang dalam istirahatnya, ia merasakan tubuhnya yang cukup segar pagi ini.Berbanding terbalik dengan dugaan awal, bahwa ia akan merasa buruk dan kehilangan mood hari ini, Aliya cukup terkejut dengan dirinya yang merasakan seolah seluruh peredaran darahnya mengalir lancar dan napas yang ringan serta segar.Apakah karena beban tentang pilih memilih telah terangkat dari pundaknya?Mungkin saja.Aliya lalu melirik jam di dinding. Sekarang pukul delapan lebih dua puluh sembilan menit. Sudah cukup siang, baginya.Ia lalu bergegas ke dapur untuk memasak air dan membuat sekadar teh manis hangat untuk dirinya sendiri. Menga
“Aliya…” “I’m alright. Duduklah, Elang,” ulang Aliya. Elang mengangguk dan menarik kursi lalu duduk di atasnya setelah menyampirkan jas pada sandaran kursi. “Ada apa? Apa yang ingin kau bicarakan?” tanyanya. Aliya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya melalui mulut. Kedua matanya terpejam sekian detik, kemudian membuka untuk menatap ketiga pria yang kini duduk lengkap di hadapannya. “Soal sayembara…” Aliya memulai. “Sudah final. Aku tidak akan terlibat lebih jauh lagi dengan salah satu dari kalian bertiga,” ujar Aliya sedikit tersendat. “Maksud Moony?!” Suara keras Agni memantul dalam ruangan yang hanya dihuni oleh empat orang itu. Aliya menatap satu persatu pria di depannya. Raut wajah Agni paling terlihat kaget dan gusar, sementara kedua pria lainnya begitu tenang, bak air tanpa riak berarti. Entah apa yang kedua pria itu pikirkan atau entah apa yang bergejolak di dalam sana, di balik tatapan tenang mereka i
“Lu mau minum, Om?” “Saya ngga haus,” jawab Dean datar. “Lagipula saya bisa ambil sendiri kalau mau.” “Maksud gue bukan minum air putih. Minum-minum. Ngerayain kekalahan kita berdua. Gimana?” Agni memiringkan kepalanya dan tersenyum miring. “Kita ngga seputus asa itu untuk jadi mabuk, Agni.” “Ah lu bener-bener kagak asyik, Om. Ngerokok kagak, minum kagak. Lu kagak tau cara nikmatin dunia, Om,” dengkus Agni. Ia lalu menyalakan rokok dan menghisapnya perlahan. “Sempit sekali caramu menikmati dunia,” seulas senyum samar terukir di bibir Dean. Ia lalu meraih kacang rebus yang ada di atas meja, membuka, lalu melempar ringan isinya ke dalam mulut. “Ah,” Agni mematikan rokoknya. “Sialan.” Dean hanya melirik Agni sekilas tanpa ingin repot bertanya. “Sejak ketemu Moony, gue kok ngerasain ga enak ngerokok, ya. Rasanya hambar dan ya ga enak aja. Kenapa sih gue,” keluh Agni tanpa menyembunyikan kekesalannya. “Hm.” “Gue curiga kena virus aneh neh. Jelas-jelas nongkrong sama lu kagak asik.
Gerakan Elang terhenti. Matanya menatap dalam ke kedua iris mata obsidian milik Aliya. “Kau istri orang…” gumam Elang pelan. “Ya. Aku istri orang. Jangan berbuat sesuatu yang nekad dan gila, Elang,” timpal Aliya, masih dengan suara yang bergetar. “Ya. Aku rasa aku akan benar-benar menjadi gila…” Elang bergumam lagi. “Please, don’t.” Aliya mendorong dada Elang kuat-kuat. “Jangan lakukan hal gila apapun. Kendalikan dirimu. Jika kau sakit hati, aku minta maaf. Tapi tak ada jalan lain, selain menerima ini…” “Tak ada jalan lain selain menerima ini…” Lagi-lagi Elang bergumam, mengulang kalimat Aliya. Seketika, perasaan takut kian merasuki Aliya. Ia teringat, bahwa Elang pernah dinyatakan ‘sakit’, karena itulah Ridwan hadir dalam hidup Elang. Ah, benar! Ridwan! Aliya melirik tasnya yang terjatuh tak jauh dari ia berdiri. Andai tadi ia menyimpan ponselnya di saku celana, akan lebih mudah baginya untuk mencoba menghubungi Ridwan. “Aliya…” Suara magnetis Elang terdengar lagi di telinga