Sore sepulang dari kegiatannya bersama Dean, Aliya duduk bersila di lantai. Ia terpekur cukup lama. Hippocampus-nya --bagian otak yang berfungsi mengolah memori-- bekerja menyuguhkan potongan kejadian serta rekaman kata demi kata yang dilontarkan Dean.
Entah bagaimana menjelaskannya, hatinya kini diliputi rasa gelisah yang tak berkesudahan.
Lalu menit selanjutnya, Aliya mengeluarkan ponsel dari tas selempang miliknya yang masih tergeletak di sampingnya.
Tangannya membuka aplikasi pesan instan berwarna hijau. Lalu mencari satu nama kontak dan mulai mengetik di sana.
[Hana]
[Aku gak enak perasaan. Entah kenapa. Hari ini aku habis pulang dari jadwal terakhir sama cowok Bumi. Saif. Biar adil dan merata. Tapi…]
Aliya terhenti sesaat.
[Aku merasa ada ganjalan. Sedikit bingung. Entah mungkin galau. Einhard dan Saif. Aku memang memiliki perasaan pada Einhard. Tapi jika disebut ‘cinta’, apakah terlalu dangkal? Karena saat ini aku bahkan
“A-apa?? Papa mau apa??” Dada Aliya melewati satu detakan. Telapak tangannya benar-benar telah menjadi dingin.Apa ia salah dengar?‘Papa akan menikahkanmu dengan seseorang,’ ulang papa Aliya.Keheningan seketika jatuh antara mereka.Kedua mata Aliya memanas. Sungguh ia kaget. Sungguh ia tak pernah menduga papanya akan mengatakan hal seperti ini padanya, di saat begini.‘Karena itu, papa mengawali dengan pertanyaan, apakah Aliya masih mempercayai papa?’Aliya tergugu. Suaranya tercekat di tenggorokan.‘Apakah Aliya berpikir bahwa papa akan menjerumuskanmu, Nak?’“Ti-tidak, Pa… Tentu tidak…” jawab Aliya pasrah.‘Bisakah Aliya menyerahkan dan mempercayakan ini, kali ini, pada papa?’Keheningan kembali menjeda percakapan ayah-anak tersebut.‘Aliya…’ Suara papa Aliya memecah keheningan mereka. ‘Apa Ali
Pagi telah tiba. Tak seperti biasa, suara kicau burung terdengar samar namun cukup menarik perhatian Aliya. Sementara di Timur sana, kilau cahaya mentari menyapa perlahan tapi pasti. Meninggalkan kesan hangat sebelum ia akan menyengat di pertengahan hari nanti.Sejak tadi Aliya telah terbangun. Meski ia tidak melalui malam yang panjang dalam istirahatnya, ia merasakan tubuhnya yang cukup segar pagi ini.Berbanding terbalik dengan dugaan awal, bahwa ia akan merasa buruk dan kehilangan mood hari ini, Aliya cukup terkejut dengan dirinya yang merasakan seolah seluruh peredaran darahnya mengalir lancar dan napas yang ringan serta segar.Apakah karena beban tentang pilih memilih telah terangkat dari pundaknya?Mungkin saja.Aliya lalu melirik jam di dinding. Sekarang pukul delapan lebih dua puluh sembilan menit. Sudah cukup siang, baginya.Ia lalu bergegas ke dapur untuk memasak air dan membuat sekadar teh manis hangat untuk dirinya sendiri. Menga
“Aliya…” “I’m alright. Duduklah, Elang,” ulang Aliya. Elang mengangguk dan menarik kursi lalu duduk di atasnya setelah menyampirkan jas pada sandaran kursi. “Ada apa? Apa yang ingin kau bicarakan?” tanyanya. Aliya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya melalui mulut. Kedua matanya terpejam sekian detik, kemudian membuka untuk menatap ketiga pria yang kini duduk lengkap di hadapannya. “Soal sayembara…” Aliya memulai. “Sudah final. Aku tidak akan terlibat lebih jauh lagi dengan salah satu dari kalian bertiga,” ujar Aliya sedikit tersendat. “Maksud Moony?!” Suara keras Agni memantul dalam ruangan yang hanya dihuni oleh empat orang itu. Aliya menatap satu persatu pria di depannya. Raut wajah Agni paling terlihat kaget dan gusar, sementara kedua pria lainnya begitu tenang, bak air tanpa riak berarti. Entah apa yang kedua pria itu pikirkan atau entah apa yang bergejolak di dalam sana, di balik tatapan tenang mereka i
“Lu mau minum, Om?” “Saya ngga haus,” jawab Dean datar. “Lagipula saya bisa ambil sendiri kalau mau.” “Maksud gue bukan minum air putih. Minum-minum. Ngerayain kekalahan kita berdua. Gimana?” Agni memiringkan kepalanya dan tersenyum miring. “Kita ngga seputus asa itu untuk jadi mabuk, Agni.” “Ah lu bener-bener kagak asyik, Om. Ngerokok kagak, minum kagak. Lu kagak tau cara nikmatin dunia, Om,” dengkus Agni. Ia lalu menyalakan rokok dan menghisapnya perlahan. “Sempit sekali caramu menikmati dunia,” seulas senyum samar terukir di bibir Dean. Ia lalu meraih kacang rebus yang ada di atas meja, membuka, lalu melempar ringan isinya ke dalam mulut. “Ah,” Agni mematikan rokoknya. “Sialan.” Dean hanya melirik Agni sekilas tanpa ingin repot bertanya. “Sejak ketemu Moony, gue kok ngerasain ga enak ngerokok, ya. Rasanya hambar dan ya ga enak aja. Kenapa sih gue,” keluh Agni tanpa menyembunyikan kekesalannya. “Hm.” “Gue curiga kena virus aneh neh. Jelas-jelas nongkrong sama lu kagak asik.
Gerakan Elang terhenti. Matanya menatap dalam ke kedua iris mata obsidian milik Aliya. “Kau istri orang…” gumam Elang pelan. “Ya. Aku istri orang. Jangan berbuat sesuatu yang nekad dan gila, Elang,” timpal Aliya, masih dengan suara yang bergetar. “Ya. Aku rasa aku akan benar-benar menjadi gila…” Elang bergumam lagi. “Please, don’t.” Aliya mendorong dada Elang kuat-kuat. “Jangan lakukan hal gila apapun. Kendalikan dirimu. Jika kau sakit hati, aku minta maaf. Tapi tak ada jalan lain, selain menerima ini…” “Tak ada jalan lain selain menerima ini…” Lagi-lagi Elang bergumam, mengulang kalimat Aliya. Seketika, perasaan takut kian merasuki Aliya. Ia teringat, bahwa Elang pernah dinyatakan ‘sakit’, karena itulah Ridwan hadir dalam hidup Elang. Ah, benar! Ridwan! Aliya melirik tasnya yang terjatuh tak jauh dari ia berdiri. Andai tadi ia menyimpan ponselnya di saku celana, akan lebih mudah baginya untuk mencoba menghubungi Ridwan. “Aliya…” Suara magnetis Elang terdengar lagi di telinga
“Nak Elang,” Adnan membuka suara, tatkala ia dan Elang telah duduk bersila kembali di atas karpet di ruang tamu itu. “Ya Pa,” Elang menjawab pelan. “Pesan saya hanya satu, tapi bercabang,” guyon Adnan memulai percakapan dengan pria yang telah menjadi menantunya itu. “Tidak apa Pa, beberapa cabang sekaligus juga,” ujar Elang mengimbangi gurauan Adnan. Adnan tertawa kecil. Namun sejurus kemudian wajahnya kembali serius meski dengan sikap tubuh yang terbilang santai. “Saya harap kamu betul-betul menjadi imam bagi Aliya. Saya percaya kamu bisa melaksanakan kewajibanmu dengan baik. Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa selama ini, Aliya dibesarkan oleh saya tidak saja dengan kasih sayang dan cinta. Tapi juga dengan segala hal baik dan bersih untuk masuk ke dalam tubuhnya,” ujar Adnan. Ia lalu menarik napas. “Dengan kata lain, Aliya senantiasa terjaga. Karena papa pun selalu berusaha menjaga segala hal yang baik untuknya.” “Papa lebih ridha kamu memberikan yang cukup pada Aliya, diband
Siang, keesokan harinya. Dramaga.Dalam sebuah ruang gym yang luas dengan berbagai peralatan lengkap, dua orang tampak berdiri di tengah.Satu pria mengenakan sarung tinju berwarna biru dan melayangkan tinju bergantian pada pria di depannya yang memegang bantalan target.“Kau butuh sparring partner?” suara cukup lantang terdengar dari arah pintu ruang gym Elang.Elang menghentikan gerakan dan mengalihkan pandangannya ke asal suara dan mendapati Dean yang melangkah tenang mendekati dirinya dan Ridwan.“Little brother, mungkin saatnya kau istirahat sekarang. Saya akan gantikan sementara,” ujar Dean saat ia telah berdiri di dekat Ridwan.“Ide bagus,” Elang menyahut lalu berjalan untuk mengambil sepasang sarung tinju berwarna merah yang tergantung di dekatnya dan melemparkannya pada Dean.Dean menangkap dengan cepat lalu memakai sarung tinju itu.“Gan…” Ridwan beralih pada Elang dengan pandangan ragu.“Untuk latihan yang benar-benar berkualitas, saya memang butuh lawan yang seimbang, Wan,
Elang tampak menguasai jenis beladiri karate, taekwondo, juga dari seni beladiri k****u dengan beberapa gerakan cantik wushu. Sementara Dean menguasai judo, jiu jitsu dan pencak silat yang dilakukannya dengan indah dan berbahaya. Tubuh jangkung keduanya bergerak luar biasa cepat dengan gerakan mematikan namun dapat di halau dengan cepat pula oleh masing-masing. Bisa dikatakan, mereka berdua memiliki keahlian bela diri yang luar biasa mumpuni dengan keindahan gerakan dari jenis bela diri yang mereka kuasai. Hingga lima belas menit kemudian, ketika kedua tendangan kanan mereka mengenai dada masing-masing, hingga mereka berdua terjengkang mundur lalu jatuh terduduk. Elang dan Dean dengan sempoyongan berusaha bangun, namun baru mendekat selangkah, mereka berdua jatuh terduduk lagi, dengan posisi bersisian. Sekian detik berlalu, namun tak satu pun kembali berdiri. Dean menekuk lutut, melepas sarung tinju lalu melemparnya ke samping. Ia lalu menjatuhkan dahinya di atas lutut. Bahu leba