Siang, keesokan harinya. Dramaga.Dalam sebuah ruang gym yang luas dengan berbagai peralatan lengkap, dua orang tampak berdiri di tengah.Satu pria mengenakan sarung tinju berwarna biru dan melayangkan tinju bergantian pada pria di depannya yang memegang bantalan target.“Kau butuh sparring partner?” suara cukup lantang terdengar dari arah pintu ruang gym Elang.Elang menghentikan gerakan dan mengalihkan pandangannya ke asal suara dan mendapati Dean yang melangkah tenang mendekati dirinya dan Ridwan.“Little brother, mungkin saatnya kau istirahat sekarang. Saya akan gantikan sementara,” ujar Dean saat ia telah berdiri di dekat Ridwan.“Ide bagus,” Elang menyahut lalu berjalan untuk mengambil sepasang sarung tinju berwarna merah yang tergantung di dekatnya dan melemparkannya pada Dean.Dean menangkap dengan cepat lalu memakai sarung tinju itu.“Gan…” Ridwan beralih pada Elang dengan pandangan ragu.“Untuk latihan yang benar-benar berkualitas, saya memang butuh lawan yang seimbang, Wan,
Elang tampak menguasai jenis beladiri karate, taekwondo, juga dari seni beladiri k****u dengan beberapa gerakan cantik wushu. Sementara Dean menguasai judo, jiu jitsu dan pencak silat yang dilakukannya dengan indah dan berbahaya. Tubuh jangkung keduanya bergerak luar biasa cepat dengan gerakan mematikan namun dapat di halau dengan cepat pula oleh masing-masing. Bisa dikatakan, mereka berdua memiliki keahlian bela diri yang luar biasa mumpuni dengan keindahan gerakan dari jenis bela diri yang mereka kuasai. Hingga lima belas menit kemudian, ketika kedua tendangan kanan mereka mengenai dada masing-masing, hingga mereka berdua terjengkang mundur lalu jatuh terduduk. Elang dan Dean dengan sempoyongan berusaha bangun, namun baru mendekat selangkah, mereka berdua jatuh terduduk lagi, dengan posisi bersisian. Sekian detik berlalu, namun tak satu pun kembali berdiri. Dean menekuk lutut, melepas sarung tinju lalu melemparnya ke samping. Ia lalu menjatuhkan dahinya di atas lutut. Bahu leba
Hari berikutnya. Elang membawa Aliya ke Bandung untuk menyelesaikan surat-surat KUA mereka. Tidak butuh lama, mereka mendapatkan buku nikah mereka. Wajah sumringah Aliya terus melekat hingga ketika Elang membawa mereka ke salah satu rumah di daerah Setrasari Bandung. Aliya berdiri tertegun dan menatap takjub rumah di depannya. Selayang ingatan memenuhi kepalanya. Perkataan Rosaline, yang telah menjadi ibu mertuanya, saat semalam ia dibawa Elang ke Dramaga. “Mam tidak bisa memberikan hadiah apapun untuk pernikahan kalian. Mam tahu, Elang akan bisa memenuhi apa yang Aliya butuhkan. Tapi ini hanya rumah sederhana yang Mam harap bisa Aliya terima dengan suka hati. Tolong jangan ditolak.” ‘Sederhana??’ Mata Aliya mengerjap. Rumah di hadapannya lima kali lebih besar dari rumah milik orangtua Aliya. Luas tanahnya bisa Aliya perkirakan sekitar enam atau tujuh ratus meter. Betul, ini akan menjadi ‘sederhana’ jika dibandingkan dengan kediaman milik Rosaline di Dramaga. Namun tetap saja,
{Bab ini mengandung pemaparan adegan dewasa. Harap bijak dalam membaca. Silahkan skip bagi yang di bawah umur dan bagi yang tidak berkenan. Terima kasih ;)} “Kenapa? Hm?” Elang mengendus leher Aliya. Napas Aliya tertahan. Serentak, bulu-bulu halus di tubuh Aliya, meremang. “Jadi kau benar akan memakainya? Malam ini?” bisik Elang dengan suara dalam dan magnetisnya. “A-apanya yang malam ini?” Aliya meneguk salivanya gugup. “Entahlah. You tell me, Liebling,” Elang mengangkat sebelah tangannya lalu dengan ujung jari telunjuk, ia membawa helaian rambut yang menjuntai di samping pipi kanan Aliya, ke belakang telinga. Jari itu lalu menyentuh ringan permukaan kulit leher Aliya hingga sampai ke ujung rambut hitam Aliya. Namun sentuhan ringan itu, membuat Aliya bergidik lalu tanpa sadar menggelinjang. Seluruh tubuh merespon bak tersengat aliran listrik atas sentuhan ringan yang dilakukan Elang dengan ujung jari telunjuknya itu. Demi apapun, ini adalah pertama kali bagi Aliya menerima sen
Udara pagi yang dingin di kota Bandung menghembus pelan. Sinar mentari telah mengiringi sebagian warga untuk memulai aktivitasnya. Sementara di dalam kamar utama sebuah rumah, sepasang insan tampak terlelap di atas ranjang besar mereka. Selusin bantal dengan beberapa ukuran, yang seharusnya tersusun rapi di atas ranjang, tampak bergeletakan di beberapa titik di lantai. Pun dengan setelan kemeja dan set pakaian wanita, bernasib sama. Menggeletak acak di sana. Sementara itu, sang wanita tampak lelap tertidur di atas lengan sang pria. Rambut panjangnya terlihat begitu kusut dan acak-acakan, namun sama sekali tidak mengurangi kecantikan si pemiliknya. Kedua pipinya tampak segar memerah dadu. Sesaat kemudian. Mata Aliya terbuka dan mengerjap perlahan. Tubuhnya terasa sangat nyaman dan hangat. Bukan saja karena selimut halus dan tebal yang menutupi dirinya. Namun juga karena lengan kokoh yang melingkari pinggang dan mendekap erat tubuhnya. Ia menggeser posisi kepalanya dan terkejut
“Papa melihat kesungguhan dari mata Einhard saat mengatakannya. Papa juga tahu, Einhard berasal dari keluarga dengan strata tinggi, tanpa harus bertanya padanya,” lanjut Adnan. “Namun ketika papa tantang dia untuk menggunakan kemampuan dia sendiri untuk menghidupi rumah tangganya bersamamu, tanpa ragu sedikitpun ia menyanggupi dengan tegas.” Adnan memandang mata putrinya. “Papa meminta hal itu, karena papa tidak mau seorang pria pemalas dan manja yang akan mendampingi hidupmu lagi. Papa tidak akan menyerahkan putri papa pada pria yang hanya tahu bergantung pada kekayaan keluarganya. Yang utama, dia bersedia memulai dari bawah untuk menafkahimu bersumber dengan dan dari yang baik.” Aliya tertegun mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan papanya. Sungguh hatinya tersentuh, betapa papa betul-betul ingin menjaga putrinya. Tidak silau dengan harta dan status sosial keluarga Elang, bahkan menantang Elang untuk tidak bergantung pada keluarganya. “Ya Pa. Elang juga bilang padaku, mah
Elang menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya ke atas nakas di samping ranjang besar kamarnya di Dramaga.Hari ini ia memang pergi ke Bogor untuk menyelesaikan urusan kepindahan Aliya, dan tentu saja, menemui Dean dan Agni.Aliya tidak ikut dengannya dan memilih tinggal di rumah orangtuanya untuk melepas rindu. Tentu saja Elang mengizinkannya.Setelah ia melakukan pelapisan yang cukup untuk Aliya, ia pun meninggalkan Bandung menuju Bogor tadi pagi.Urusan dengan Dean dan Agni telah dianggapnya clear.Seperti yang ia perkirakan dan harapkan, Dean dan Agni menyatakan akan ikut pindah dan tinggal di Bandung.Elang tahu, mereka berdua akan mengesampingkan semua rasa sakit hati mereka, demi melindungi Aliya.Urusan mereka dengan kaum Jure, belum lah selesai. Elang tidak ingin tinggi hati berpikir bahwa ia akan bisa sendiri saja menyelesaikan urusan itu.Bagaimanapun, pengetahuannya tentang kaum Jure, sangat jauh diban
Elang menghela napas panjang kembali. Kini ia merebahkan dirinya ke atas tumpukan bantal. Ia melihat sekilas jam yang melingkar di tangannya.Ridwan masih di luar mengurus beberapa hal yang ia minta tadi. Sementara Rosaline, ibu kandung Elang, masih berada di rumah yang berada di Jakarta. Hingga Elang hanya sendiri dalam rumah ini, selain para pelayan yang ada.Tangan kanan Elang mengusap wajahnya. Ia merindukan Aliya. Rasa rindu pada istrinya menjalar cepat ke seluruh pikirannya kini.“Aliya…” bisiknya sebelum akhirnya kedua kelopak matanya menutup. * * *Ruang hampa yang hitam pekat di sekeliling.Elang berdiri menanti di sana. Hingga tak lama, muncul dengan perlahan sosok wanita yang sangat ia cintai itu di hadapannya.Aliya mengenakan dress panjang dengan cardigan biru muda yang melilit tubuh indahnya, memamerkan semua lekuk tubuhnya dan menyerahkan sisanya pada imajinasi mata yang memandang.